Jumat, 3 Nopember 2023

Eddy Abdurrachman, Dirut BPDPKS: “No Palm Oil, No Life”

Eddy Abdurrachman, Dirut BPDPKS:  “No Palm Oil, No Life”

Foto: Peni Sari Palupi
Aika Yuri Winata, sangat diperlukan kebijakan pemerintah yang trintegrasi untuk bioavtur

Nusa Dua, Bali (AGRINA-ONLINE) - “No Palm Oil, No Life” menjadi slogan baru yang digaungkan Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Eddy Abdurrachman dalam salah satu sesi Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2023 & 2024 Price Outlook di BICC, Nusa Dua, Bali (2/11).
 
Slogan ini sangat relevan dengan fakta, minyak kelapa sawit merupakan minyak nabati paling serbaguna di dunia dan paling produktif dengan penggunaan lahan paling sedikit pada setiap ton yang dihasilkannya. Produk berbasis minyak sawit diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduk dunia mulai dari bahan makanan, kosmetik, perawatan tubuh lainnya serta energi yang ramah lingkungan.
 
Bioenergi termasuk bahan bakar nabati yangmemainkan peran penting dalam usaha Indonesia mencapai target transisi energi untuk mencapai Net Zero Emissionpada 2050. Saat ini target emisi sudah mencapai 30% dan bioenergi merupakan kontributor utama dalam mencapai target tersebut.
 
“Program Mandatori Biodiesel merupakan salah satu kunci dalam mencapai penurunan emisi gas rumah kaca di Indonesia,” tegas Dirjen Energi Baru dan Terbarukan (EBTKE),Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Yudo Dwiananda Priaadi juga dalam ajang IPOC 2023, Kamis (2/11).
 
Untuk mencapai target zero emissiontersebut Indonesia membutuhkan lebih banyak pasokan kelapa sawit. “Sebagai program mandatori, implementasi biofuel melalui B35 pada tahun 2023 memiliki alokasi dari domestik sebesar 13,15 juta kilo liter dan diharapkan dapat mencapai 13,9 juta kilo liter pada 2025. Hingga September 2023, kontribusi domestik dalam B35 sudah mencapai 8,9 juta kilo liter (68%) serta yang diekspor telah mencapai 121ribukilo liter,” papar Yudo.
 
Tidak hanya biodiesel, Indonesia kini tengah mengembangkan penggunaan energi terbarukan lainnya yang berbahan sawit. Baru-baru ini, pemerintah melalui maskapai plat merah telah menguji coba bahan bakar pesawat terbang atau bioavtur yang merupakan hasil dari penelitian Pertamina dan Institut Teknologi Bandung (ITB).
 
“Tes sudah mulai dilakukan dengan pencampuran 2,4% bioavtur dalam komposisi bahan bakar pesawat CN-235-220 FTB dan berhasil. Produksi biovatur secara masif akan dilaksanakan pada tahun 2026,” ungkap Yudo.
 
Para pelaku usaha menyambut baik upaya pemerintah mengembangkan energi berbasis kelapa sawit. General Manager Green Energy Apical Group Aika Yuri Winata menyatakan pentingnya peran perusahaan dalam memperkenalkan pengembangan minyak nabati kepada dunia. Selain itu,Sustainable Aviation Fuel (SAF) bukan hanya masa depan energi terbarukan pada masa yang akan datang, tetapi juga mempertegas posisi sawit sebagai minyak nabati paling berkelanjutan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dunia padamasa mendatang.
 
“Sektor penerbangan global adalah kontributor penting terhadap emisi CO2, mencakup 3% dari emisi pada 2019. Ini juga menjadi salah satu sektor yang paling sulit untuk didekarbonisasi, dengan komitmen untuk mencapai emisi net-zero pada 2050. SAF muncul sebagai alternatif yang paling menjanjikan dan layak untuk bahan bakar pesawat konvensional, mampu mengurangi emisi CO2 hingga 90%,” jelas Master of Financial Engineering lulusan National University of Singapore tersebut.
 
Lebih lanjut, Aika menjelaskan,untuk mempercepat adopsi SAF dan melakukan dekarbonisasi perjalanan udara, penting jugamemanfaatkan kekuatan wilayah ASEAN. Negara-negara ASEAN secara kolektif menawarkan lebih dari 16 juta ton minyak limbah dan sisa setiap tahun, dengan bahan baku potensial seperti minyak jelantah, limbah pabrik kelapa sawit, minyak tandan buah kosong, dan distilasi asam lemak kelapa sawit.
 
“Saat ini ada tiga hal yang masih menjadi tantangan bagi implementasi SAF di Indonesia dan juga di dunia. Indonesia sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia dituntut untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawit, biaya produksi bioavtur yang masih tinggi dibandingkan fosil serta kebijakan pemerintah yang saling terintegrasi dalam mendukung kebijakan bioenergi khususnya bioavtur sangat diperlukan,” jelas Aika.
 
Terkait ketersediaan bahan baku, Indonesia memang penghasil kelapa sawit terbesar di dunia tetapi masih menghadapi masalah produktivitas yang jauh dari ideal. Saat ini rata-rata produktivitas crude palm oil(CPO)Indonesia hanya 3-4 ton/ha per tahun.
 
“Untuk memenuhi kebutuhan global,maka pentingnya pelaksanaan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR)tidak boleh diabaikan. Tanpa program ini, produktivitas perkebunan kelapa sawit diproyeksikan akan menurun secara serius. Pada 2025, diperkirakan produksi CPO  hanya akan mencapai sekitar 44 juta ton. Ini menekankan peran penting PSRdalam menjaga keberlanjutan industri tersebut,” tegas Eddy.
 
 
 
Peni Sari Palupi

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain