Foto: - Dok. Ditjen Perkebunan
Kelapa sawit mampu menyerap gas karbon dioksida seperti tanaman hutan kayu
JAKARTA (AGRINA-ONLINE.COM). Kelapa sawit termasuk sektor industri komoditas agro yang mendukung penyerapan emisi karbon dan program Net Zero Emissions (NZE) yang ditargetkan tercapai pada 2060 atau lebih cepat.
“Kelapa sawit ini membantu penyerapan emisi karbon. Dalam berbagai literatur, tanaman ini menyerap karbon lebih besar dibandingkan tanaman lain,” ujar Dadan Kusdiana, Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM dalam sambutannya pada diskusi Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) bertema "Kontribusi Industri Sawit Terhadap Net Zero Emissions Indonesia" di Jakarta, Rabu (24/05).
Menurut Dadan, pohon kelapa sawit mampu menyerap 25 ton CO2 per tahun dibandingkan pohon lainnya yang hanya sebesar 6 ton CO2 per tahun. Karena itulah, tanaman kelapa sawit merupakan penyerap CO2 yang sama dengan tanaman lain seperti tanaman kayu hutan.
Dalam proses fotosintesis, mengutip data Henson (1999), kelapa sawit menyerap sekitar 161 ton CO2 per ha per tahun. Bila dikurangi CO2 proses respirasi, maka secara netto kelapa sawit mampu menyerap CO2 sebesar 64,5 ton CO2 per tahun.
Kontribusi sawit menekan emisi karbon sudah diwujudkan melalui implementasi program mandatori biodiesel yang dimulai sejak 2006. Dadan mengatakan, Indonesia saat ini menjadi negara terbesar dalam penggunaan biodiesel dibandingkan negara-negara lain seperti Malaysia.
"Kita akan terus tingkatkan pemanfaatan bahan bakar nabati ini baik dalam bentuk biodiesel maupun dalam bentuk bio yang lain, bahan bakar bio yang lain misalkan bioetanol itu juga bisa dibuat atau misalkan juga nanti bisa biogas," ucapnya.
Dadan menguraikan, penggantian bahan bakar mesin diesel dari minyak solar ke biodiesel dapat mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sekitar 50% – 60%. Berdasarkan kajian European Commissioning Joint Research Center, biodiesel yang dihasilkan dengan methane capture, POME dapat menurunkan emisi sampai dengan 62%.
Saat ini pemerintah tengah mendorong pendekatan teknologi untuk mengkonversi minyak nabati, misalkan sawit langsung menjadi bensin atau langsung menjadi solar.
"Jadi ke depan terkait dengan pemanfaatan bioenergi khususnya yang akan dimanfaatkan secara maksimal baik itu dalam bentuk bahan bakar nabati yang sifatnya cair maupun dalam bentuk biogas untuk mengolah limbah-limbah cairnya yang masih organik. Dapat pula dimanfaatkan juga yang bentuknya padat atau biomassa, misalkan pohon, tandan, dan fiber yang jumlahnya cukup besar," ujar Dadan.
Direktur Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC) IPB, Meika Syahbana Rusli menambahkan, sawit secara signifikan mampu menyerap CO2 yang ada di atmosfer. "Jadi kalau kita mensubtitusi solar yang semata-mata memproduksi gas rumah kaca atau CO2, subtitusi tersebut membuat pengurangan signifikan karena diserap oleh kebun-kebun sawit yang tumbuh," ulas Meika.
Seiring meningkatan konsumsi biodiesel pada 2016-2021, terjadi penurunan emisi pada tahun 2020 sebesar 22,48% dan di tahun 2021 diproyeksikan 25,43%. "Jika dibandingkan dengan diesel fuel maka angkanya sekitar 22% tahun 2021," kata dia.
Industri sawit mendukung program pemerintah untuk menekan emisi karbon dan mencapai target nol emisi karbon. Tunas Sawa Erma, perusahaan yang bergerak di bidang kelapa sawit yang beroperasi di Papua, belum lama ini menyampaikan komitmennya untuk menyumbang kontribusi dalam upaya global mencapai NZE sampai dengan tahun 2050.
Menurut Direktur Tunas Sawa Erma Group, Luwy Leunufna, pihaknya berkomitmen untuk mengikuti semua aturan dan ketentuan pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Sebagai perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam, TSE Group menyadari pentingnya berkontribusi dalam upaya untuk atau upaya global untuk mencapai NZE.
Sebagai wujud nyata komitmen tersebut, TSE Group menggunakan Science Based Targets initiative (SBTi) sebagai standar untuk menetapkan target NZE. SBTi adalah inisiatif untuk mengembangkan dan mempromosikan metodologi ilmiah dalam rangka menetapkan target emisi sesuai dengan Perjanjian Paris.
Dengan menggunakan SBTi, TSE Group akan menetapkan target emisi dan hal-hal yang dibutuhkan untuk membatasi pemanasan global di bawah 1,5°C. TSE Group kemudian akan melaporkan kemajuan secara transparan dan konsisten melalui platform SBTi maupun mekanisme lain yang relevan.
“Kami akan menyusun near-term dan long-term target emisi kami dalam waktu 2 tahun ke depan. Target-target ini akan mencakup seluruh aktivitas operasional dan rantai pasokan kami, serta memperhitungkan potensi penyerapan karbon dari lahan dan hutan yang kami kelola,” ucap Luwy.
Pada 23 September 2022 Pemerintah Indonesia mengumumkan ENDC (Enhanced Nationally Determined Contribution)-nya sebesar 31.89% dan 43.20% kepada UNFCC. Luwy menjelaskan, TSE Group mendukung upaya pemerintah mencapai NDC dan siap berkolaborasi untuk mendukung transisi menuju ekonomi rendah karbon.
TSE Group akan membangun pembangkit listrik tenaga biogas untuk berkontribusi pada pengurangan gas rumah kaca dengan mencegah pelepasan gas metana ke atmosfer. Kapasitas listrik pembangkit ini mencapai 8 MW yang dibangun sampai 2030.
“Kami berencana memanfaatkan listrik dan gas yang dihasilkan dapat digunakan penduduk setempat untuk meningkatkan kualitas hidup,” ujar Luwy.
Langkah berikutnya, mengurangi penggunaan pupuk kimia yang mengeluarkan nitrogen oksida selama proses produksi dan penggunaannya. TSE Group mencari cara untuk menggantikan pupuk kimia dengan pupuk organik dari tandan kosong dan cangkang sawit.
Windi Listianingsih