Foto: PPKS dan Dami Mas Sejahtera
Para produsen benih sawit kehilangan nilai bisnis yang fastastis akibat peredaran benih ilegal
Kemudahan menjadi salah pertimbangan yang cukup penting dalam keputusan memilih suatu produk. Kemudahan itu pula yang membuat ekonomi digital berkembang pesat dan semakin diminati masyarakat di masa yang menuntut serba cepat.
Tidak terkecuali sektor pertanian, kebutuhan sarana dan prasarana seperti benih, pupuk, pestisida, serta alat dan mesin pertanian (alsintan) dapat dengan mudah ditemukan di berbagai platform digital (marketplace) baik itu toko ‘hijau’, toko ‘oren’, toko ‘merah’, ataupun toko ‘biru’. Belum lagi toko digital berbasis website (e-commerce) atau memanfaatkan media sosial.
Para petani sawit salah satunya, sangat memanfaatkan lapak digital untuk membeli benih sawit. Kemudahan komunikasi serta jaminan dan kecepatan memperoleh benih sawit membuat mereka lebih cenderung menuju lapak digital daripada menghubungi produsen benih di lokasi terdekat. Itu pun jika benar-benar ada produsen benih di dekat lahan petani.
Pasalnya, menurut data Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian, jumlah produsen benih sawit pada tahun 2022sebanyak 19 perusahaan kecambah dan 216 penangkarnya masih terkonsentrasi di Pulau Sumatera, khususnya Sumbar 26, Jambi 22, Bengkulu 21, dan Sumsel 20pelaku. Keberadaan penangkar benih sawit berikutnya ada di Kalimantan dan sedikit di Sulawesi. Sementara, lahan sawit tersebar luas dari ujung Aceh hingga Papua.
Belum lagi, benih sawit yang dibutuhkan itu tidak selalu tersedia di produsen. Waktu untuk memperoleh benih tersebut juga cukup lama. Setidaknya perlu satu tahun atau minimal 11 bulan untuk menyiapkan benih sawit siap ditanam. Produsen benih sawit membutuhkan jaminan kepastian pembelian benih sebelum disiapkan agar tidak merugi di kemudian hari.
Di sisi lain, para petani tidak berani memesan benih sawit sebelum terbitnya rekomendasi teknis (rekomtek) dari Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian. Dengan keluarnya rekomtek, petani berarti akan mendapatkan dana Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang disalurkan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Melihat peluang, para pelaku usaha nakal memanfaatkan kesenjangan itu dengan menjual benih sawit ilegal, yaitu benih sawit yang tidak bersertifikat, di lapak digital. Berdasarkan penelusuran Dwi Asmono, Ketua Forum Kerjasama Produsen Benih Kelapa Sawit (FKPB-KS), di salah satu marketplace besar, jumlah benih sawit ilegal yang terjual mencapai 875.643 pak. Dwi mengasumsikan ada 100 benih/pak seharga Rp8.000/benih. Maka, omzet penjualan benih sawit ilegal itu mencapai Rp700,507 miliar.
Para produsen benih sawit resmi pun kehilangan nilai bisnis yang cukup fantastis tersebut. Petani yang membeli benih ilegal sudah dipastikan merugi dan kehilangan waktu 2-3 tahun karena menanam benih tanpa hasil. Yang lebih parah, kondisi ini berdampak besar pada penurunan produksi sawit nasional dan devisa sawit Indonesia yang mencapai Rp650 triliun/tahun.
Pemerintah dan penyedia lapak daring harus bertindak tegas menangani hal krusial ini. Pemerintah wajib membuat aturan main yang jelas dalam perdagangan barang dan jasa di lapak digital agar tercipta iklim berusaha e-commerce yang sehat, adil, bermanfaat, dan melindungi setiap pihak yang terlibat. Penindakan hukum kepada para penyedia dan penyalur benih ilegal perlu ditegakkan agar tercipta efek jera.
Penyedia lapak daring harus terus berbenah memperketat sistem pengamanan penjualan barang dan jasa dari tindakan pelanggaran hak cipta, pemalsuan, dan penipuan. Pun produsen benih terdaftar bekerja sama dan berkolaborasi dengan berbagai pihak demi memberantas peredaran benih sawit ilegal.
Yang tidak kalah penting, sosialisasi dan edukasi kepada para petani tentang peredaran dan dampak pemanfaatan benih sawit ilegal masih menjadi pekerjaan rumah para stakeholder terkait. Pasalnya di era digital dan komunikasi tanpa batas ini masih banyak petani yang tertipu membeli benih sawit ilegal karena tergiur harga murah dan mudah didapat.
Windi Listianingsih