Foto: Windi Listianingsih
Asosiasi hilir sawit meminta dukungan pemerintah untuk memperkuat industri hilir
JAKARTA (AGRINA-ONLINE.COM). Sebagai dampak resesi global dan kondisi perekonomian masyarakat, industri hilir sawit bakal menghadapi tantangan berat baik di dalam dan luar negeri. Pemerintah diharapkan mampu menciptakan kebijakan dan dukungan, terutama mengantisipasi dampak hambatan dagang di negara tujuan ekspor.
Kondisi perkembangan bisnis hilir sawit ini disampaikan dalam buka puasa bersama antara Forum Wartawan Pertanian dengan Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (APOLIN), dan Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) di Jakarta, Senin, (27/03).
Menurut Paulus Tjakrawan, Ketua Harian APROBI, program biodiesel telah mencapai bauran 35% (B35) yang diharapkan akan terus meningkat di tahun-tahun mendatang. Pada 2023, target penggunaan biodiesel akan mencapai 13,15 Juta Kiloliter yang mampu mengurangi impor minyak solar hingga Rp140 triliun.
“Program biodiesel merupakan bagian dari upaya mencapai target nol emisi pada 2060. Karena itulah, perlu didorong program bioenergi lainnya seperti bioavtur, bioethanol, dan bensin sawit,” ujarnya.
Paulus menambahkan, program B35 yang dijalankan sejak Februari ini memang agak sedikit di bawah target dan menjelang lebaran permintaan juga sedikit turun. ”Dalam kenyataannya permintaan solar agak menurun. Ada beberapa tempat masih ada penyesuaian-penyesuaian tapi B35 sudah berjalan,” terangnya.
Meski begitu, ia optimis target konsumsi biodiesel akan tercapai di akhir tahun.
Rapolo Hutabarat, Ketua Umum APOLIN, mengapresiasi sikap pemerintah Indonesia yang penuh kehati-hatian dalam penetapan kebijakan tatkala mengantisipasi pandemi. Keberpihakan pemerintah mendukung hilirisasi sawit, khususnya oleokimia juga konsisten dilakukan sejak tahun 2012.
“Indonesia telah menjadi produsen terbesar dari produk oleokimia di dunia. Saat ini, kapasitas produksi oleokimia Indonesia mencapai 11,38 juta ton di mana lebih tinggi dari Malaysia sebesar 2,5 juta sampai 3 juta ton yang berbasis minyak sawit,” ujarnya.
Rapolo menilai, Indonesia sangat beruntung memiliki sentra produksi oleokimia di dalam negeri karena sangat bermanfaat di masa pandemi, terutama bagi produk disinfektan dan kebersihan tubuh seperti sabun. Seiring pemulihan ekonomi, volume ekspor oleokimia mencapai 4,2 juta ton pada 2022. Negara tujuan utama ekspor adalah India, Tiongkok, dan Eropa.
“Tahun lalu nilai ekspor oleokimia mencapai 5,4 miliar dolar atau rerata Rp83 triliun lebih. Ini sebuah pencapaian bersama terutama keberpihakan pemerintah yang mendukung hilirisasi di Indonesia,” ujarnya.
Kinerja positif oleokimia, diakui Rapolo, juga ditopang keberpihakan pemerintah melalui kebijakan gas murah. Jadi, industri oleokimia mendapatkan insentif gas murah sampai 2024. ”Semoga kebijakan ini terus bergulir dan kami lihat Kementerian ESDM, Perindustrian sangat mendukung implementasi harga gas 6 dolar per mmbtu bagi oleokimia. Hingga sekarang, tidak ada PHK di sektor oleokimia bahkan terus bertambah penyerapan tenaga kerja,” jelasnya.
Sementara, Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif GIMNI menjelaskan, di kuartal pertama tahun ini tren masih di bawah tren periode sama tahun lalu. Di pasar global, terjadi penurunan tren produksi 17 minyak nabati sebesar 2% menjadi sekitar 58 juta ton dari target awal 61 juta ton. Begitupula di dalam negeri, harga sawit tidak seperti tahun lalu di atas US$1.000/ton.
“Saat ini ekspor sawit menurun akibat dampak resesi global. Imbasnya, target Domestic Market Obligation (DMO) sulit dicapai. Lemahnya ekspor ini mulai terjadi di akhir 2022 di mana hak ekspor sawit sebesar 6,1 juta ton tidak sepenuhnya terealisasi. Dampak berikutnya, pasokan Minyakita berkurang lantaran dana subsidi Minyakita itu dari ekspor,” ujarnya.
Sahat mengusulkan, DMO tidak lagi tepat menggerakkan pemenuhan kebutuhan minyak goreng. Sebaiknya pemerintah fokus membantu masyarakat kurang mampu sekitar 33 juta orang dengan kebutuhan minyak goreng murah sekitar 42 juta kiloliter. Syaratnya, pemerintah melalui Perum BULOG memegang distribusi minyak goreng kepada masyarakat kurang mampu. Pasalnya, sambung sahat, ”Di beras Bulog berhasil memberikan harga tertentu ke masyarakat berpenghasilan rendah."
Untuk itulah, ia mengusulkan kebijakan penundaan BK CPO perlu dilakukan untuk menjaga daya saing industri sawit nasional di pasar global. Apabila bea keluar tetap dijalankan, maka stok minyak sawit di dalam bakalan over suplai dan tanki penuh.
“Kalau bea keluar tetap jalan, diperkirakan ekspor sawit akan macet total. Harga tahun ini lebih rendah daripada tahun lalu. Pasar ekspor juga lesu. Makanya, ekspor butuh insentif supaya daya saing kuat di pasar global,” ucap Sahat.
Hambatan
Ketiga asosiasi sawit tersebut mengakui masih ada hambatan dagang kepada produk hilir sawit. Paulus menguraikan, Indonesia masih menunggu hasil gugatan kebijakan RED II kepada Organisasi Perdagangan Internasional (WTO) yang ditangani oleh Dispute Settlement Body WTO melalui pendaftaran dengan kode WT/DS 593.
Proses penyelesaian sengketa DS 593 menghadapi sejumlah kendala, antara lain kekosongan hakim juri/arbitrator di appellate body atau badan banding. Minimnya hakim juri ini akibat blokade penunjukkan arbitrator oleh Amerika Serikat semenjak 2017.
Di sektor oleokimia, Rapolo membeberkan, produk oleokimia ke Uni Eropa dikenakan bea masuk antidumping dengan kisaran 15%-46%. Tarif ini sudah mulai diberlakukan pada Desember 2022 akibatnya anggota APOLIN kesulitan menembus pasar Eropa.
“Tahun lalu ekspor oleokimia ke Eropa sebesar 1 miliar dolar. Dari jumlah tadi, produk fatty acid menyumbang 330 juta dolar. Dengan hambatan tarif ini, kami sudah sampaikan kepada kementerian terkait memang saat ini langkah paling soft interim review. Untuk langkah ke WTO, ini harus dikaji bersama antara pelaku usaha dengan pemerintah,” pungkasnya.
Di sela pemaparan kondisi bisnis hilir sawit, ketiga asosiasi hilir sawit pun berkolaborasi dengan Forum Wartawan Pertanian untuk memberikan bantuan kepada anak yatim dan masyarakat kurang mampu melalui yayasan sosial di sekitar Jabodetabek.
Windi Listianingsih