Foto: Istimewa
Keuntungan bisnis penggemukan sapi potong semakin menipis
Bisnis penggemukan sapi potong saat ini tak lagi membuat kantong peternak “gemuk”. Apalagi di level industri, margin keuntungan makin kurus. Jumlah pelakunya berkurang. Ada sejumlah kebijakan yang menjadi disinsentifbagi para pelaku usaha.
Contoh yang paling terasa adalah membanjirnya daging kerbau impor beku dengan jumlah 100 ribuan ton setahun demi aspek ketersediaan dan keterjangkauan bagi masyarakat konsumen. Daging ruminansia dengan harga miring ini perlahan tapi pasti mampu menggerogoti pangsa pasar daging sapi segar produksi peternak lokal yang notabene menjadi bidikan utama. Diperkirakan pasar berkurang daging segar berkurang 30%-40%.
Sebelumnya, pemerintah memberlakukan aturan importasi 5:1 artinya 5 jantan : 1 betina (indukan) setiap kali perusahaan penggemukan mengimpor sapi bakalan. Pemerintah “memaksa” perusahaan untuk berpartisipasi dalam pembiakan (breeding). Hal ini mengurangi kapasitas kandang.
Bila impor sapi bakalan semua, dalam tiga-empat bulan kandang kosong karena sapi-sapi telah gemuk lalu dijual habis. Kemudian mereka kembali mendatangkan bakalan untuk digemukkan. Begitu seterusnya, perputaran modalnya cepat.
Dengan kewajiban mengimpor sapi betina indukan, kapasitas penggemukan mereka berkurang. Induk betina baru menghasilkan anakan paling cepat setahun berikutnya. Itu pun kalau betina langsung bisa bunting. Sapi betina juga lebih makan tempat.
Pada importasi berikutnya, jumlah betina bertambah lagi sehingga makin sedikit kapasitas kandang penggemukan. Berkuranglah omzet segmen penggemukan. Padahal selama ini, bisnis penggemukanlah mensubsidi bisnis pembiakan (breeding) agar tetap berjalan.
Keluh kesah para pelaku industri baru direspon sebelum pandemi. Beleidnya, jumlah betina indukan harus mencapai 3% dari total kapasitas kandang. Bukan setiap importasi. Jadi relatif lebih bisa diterima para pelaku usaha, tetapi pandemi Covid keburu datang sehingga belum diimplementasikan.
Hal lain yang membuat “cuan” berkurang adalah harga pokok produksi semakin tinggi. Harga bakalan semakin mahal. Harga bakalan dari Australia melambung karena populasi berkurang akibat faktor alam yang bertubi-tubi, seperti kebakaran, hujan, dan banjir.
Menurut Dayan Antoni P. Adiningrat, Dirut Santori, pada 2019 populasi anjlok menjadi terendah dalam 30 tahun terakhir dari 26 juta ekor tinggal 19 jutaan. Diprediksi 2024 populasi sapi akan normal kembali sehingga harga terkoreksi.
Harga pakan juga naik. Yang impor naik akibat disrupsi logistik. Yang bersumber lokal, lanjut Dayan, sebagian bahan baku pakan diolah menjadi pangan manusia. Di samping itu pasar ekspor juga menggiurkan sehingga bahan seperti bungkil sawit lebih banyak diekspor.
Hal senada juga dilontarkan para peternak di Lampung, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Mereka mengonfirmasi terjadinya kenaikan harga sehingga secara hitung-hitungan bisnis tidak masuk.
Bencana lainnya adalah merebaknya penyakit mulut dan kuku (PMK) mulai Mei 2022. Memang, kematian langsung akibat virus PMK tidak dahsyat seperti virus flu burung pada 2003-2004.
Tapi kerugian ekonominya sangat besar karena biaya pemeliharaan membengkak. Sapi yang terkena PMK di mulut, tak akan mampu makan konsentrat. Dia harus kembali makan hjauan sembari menunggu sembuh sehingga waktu penggemukan lebih lama.
Pun yang terserang di bagian kakitak bisa berdiri sehingga sulit menjangkau pakannya. Kalau pun mau diladeni pekerja kandang satu persatu, biayanya pasti naik. Apalagi pada skala besar, tentu tidak layak secara ekonomi.
Pengendalian PMK yang efektif adalah pemusnahan (stamping out). Biayanya jelas sangat besar tapi virus lebih cepat hilang. Karena pemerintah mengambil kebijakan vaksinasi, maka vaksinasi harus dijalankan terus. Dua kali dalam rentang tiga minggu, lalu enam bulan sekali. Pengalaman Brasil yang sudah 12 tahun mengendalikan PMK dengan vaksinasi, sampai hari ini belum bebas sepenuhnya.
Dengan berbagai masalah tersebut, bisnis penggemukan sapi potong hanya layak secara ekonomi untuk membidik pasar hewan kurban. Apakah pemerintah tega membiarkan peternak cuma meraih cuan setahun sekali?
Peni Sari Palupi