Foto: Istimewa
Telur ayam merupakan sumber protein hewani yang relatif murah
Tenggat Indonesia Emas 2045 tinggal 23 tahun lagi. Cita-cita yang dicanangkan pada 2019 ini bervisi mewujudkan Indonesia yang berdaulat, maju, adil, dan makmur.
“Kita ingin pada 2045 Indonesia menjadi negara maju dan salah satu dari lima besar kekuatan ekonomi dunia dengan kualitas manusia yang unggul serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, kesejahteraan rakyat yang jauh lebih baik dan merata, serta ketahanan nasional dan tata kelola kepemerintahan yang kuat dan berwibawa,” kata Presiden Joko Widodo.
Untuk mewujudkan visi itu, salah satu modalnya adalah sumber daya manusia (SDM) yang unggul. Kriterianya, memiliki kecerdasan yang komprehensif (produktif dan inovatif); sehat-menyehatkan dalam interaksi alamnya; damai dalam interaksi sosialnya dan berkarakter kuat; serta berperadaban unggul.
Salah satu masalah dalam membangun SDM adalah besarnya prevalensi stunting nasional (pendek) pada 2021 masih tergolong tinggi, 24,4%. Stunting yaitu gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang yang ditandai dengan panjang atau tinggi badan ada di bawah standar yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan kesehatan.
Prof. Drh. M. Rizal Martua Damanik, M.RepSc., Ph.D., Deputi Kepala Bidang Pelatihan, Penelitian & Pengembangan Badan Kependudukan & Keluarga Berencana Nasional dalam bincang-bincang “Hari Ayam dan Telur Nasional” di pameran ILDEX 2022 menjabarkan pentingnya konsumsi protein hewani untuk mencegah stunting.
Menurutnya, hanya 7 dari 35 provinsi yang prevalensinya di bawah 20%. Ini tentu memprihatinkan. Penyebabnya antara lain kurang pengetahuan tentang kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan, bayi tidak mendapat asupan ASI eksklusif sampai umur 6 bulan, tidak diberi makanan pendamping ASI pada usia 0-24 bulan, dan sang ibu menderita anemia saat hamil.
Intervensi yang paling tepat dilakukan untuk mencegah stunting pada 1.000 hari pertama kehidupan. Misalnya, dalam bentuk pemberian makanan bergizi seimbang bagi keluarga risiko stunting dengan optimalisasi bahan pangan lokal. Beberapa hasil penelitian menunjukkan asupan protein hewani dalam jumlah cukup dapat menurunkan tingkat stunting, misalnya di Nepal, Uganda, dan Bangladesh.
Sumber protein hewani paling mudah dan relatif murah adalah telur ayam. Menurut Rizal, di Pandeglang, Banten program pemberian telur sebutir sehari selama 6 bulan terhadap 298 bayi stunting menurunkan kasus 11,5%. Penelitian lain, konsumsi telur sebutir sehari selama 6 bulan dalam periode MPASI 6-9 bulan terbukti menurunkan prevalensi stunting 47% dan bobot kurang 74%.
Betapa bagus khasiat telur dalam penanganan stunting. Dalam satu telur terkandung 75 kalori, 7 g protein kualitas tinggi, 5 g lemak, 1,6 g lemak jenuh, vitamin, mineral, karotenoid, dan 30 mg DHA. Telur juga tinggi kolin yang dibutuhkan dalam pembelahan sel dan pertumbuhan.
Ada baiknya melengkapi bantuan pemerintah dan para pemangku kepentingan dengan mengintensifkan pemberian makanan sumber protein hewani melalui posyandu, paling tidak berupa telur. Tentu juga dibarengi edukasi pentingnya konsumsi telur bagi para balita selepas ASI eksklusif, ibu hamil, bahkan 6 bulan prakehamilan.
Selama ini solusi oversuplai telur dan daging broiler hampir selalu dengan pengurangan induk ayam. Padahal semestinya, menurut Arief Prasetyo Adi, Kepala Badan Pangan Nasional, kelebihan suplai diatasi dengan kegiatan kampanye konsumsi yang masif di daerah-daerah dengan kejadian stunting tinggi dan mengembangkan hilirisasi.
Kelebihan produksi juga mesti diserap Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pangan. Tentunya tidak sekadar diberi penugasan penyerapan tanpa ongkos.
Berita baiknya, telah terbit Peraturan Menteri Keuangan No. 153/PMK.05/2022 tentang Tata Cara Pemberian Subsidi Bunga Pinjaman Dalam Rangka Penyelenggaraan Cadangan Pangan Pemerintah. Semoga ke depan oversuplai produk protein hewani bisa untuk membangun SDM berkualitas “emas” dan sekaligus mengembangkan pasar di dalam negeri.
Peni Sari Palupi