Pemerintah punya cita-cita besar mengangkat nilai ekspor udang menjadi 250% dalam 2 tahun ke depan. Target ini membutuhkan dukungan seluruh stakeholder hulu-hilir.
Pembuatan Crash Program untuk mempercepat capaian tersebut patut diapresiasi. Sesuai namanya, program ini diharapkan menjadi leverage peningkatan produksi dan ekspor udang dalam waktu cepat, 2-3 tahun.
Tetapi, banyak catatan yang perlu diperhatikan agar target itu mewujud dengan membanggakan, khususnya infrastruktur hulu-hilir. Mohamad Rahmat Mulianda, Asdep Pengembangan Perikanan Budidaya, Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim, Kemenko Bidang Maritim dan Investasi mengingatkan, irigasi tambak menjadi hal krusial yang harus difasilitasi dan dikelola dengan baik karena merupakan urat nadi pengairan tambak rakyat.
PR pemerintah lainnya ialah akses jalan menuju sentra produksi udang. Bukan rahasia umum jika jalan di pedesaan masih amburadul, berlumpur sehingga menyulitkan distribusi input produksi dan hasil panen. Yang tidak kalah vital yaitu keberadaan listrik PLN di area tambak. Jika hanya mengandalkan genset sebagai sumber utama energi, biaya produksi udang akan sangat bengkak.
Tugas wajib berikutnya di tahun ini yakni segera menuntaskan penyederhanaan izin dalam wadah online single submission (OSS) sehingga investor makin bergairah masuk indusri perudangan. Di sisi lebih hulu lagi, penguatan riset tentang genetika dan budidaya udang.
Pada Musyawarah Nasional Shrimp Club Indonesia (Munas SCI) ke-5, Gunawan Mulyono, Manager Pengembangan Bisnis Istana Cipta Sembada Group mengungkap, Ekuador sukses budidaya karena memperhatikan genetik udang. Mereka memang menggunakan sistem tradisional plus dalam budidaya.
Namun, si bongkok bisa cepat besar sehingga waktu budidayanya pendek. Ditambah lagi, kegagalan budidaya karena penyakit relatif sedikit. Kondisi ini cukup berbeda dengan negara-negara di Asia, termasuk Indonesia yang masih kewalahan menghadapi serangan penyakit. Kita juga belum punya induk udang yang cukup mumpuni secara genetik.
Agar semakin berdaya saing, saatnya pula kita melakukan revolusi Shrimp Farming 4.0. Yaitu, budidaya udang berkelanjutan terintegrasi mengandalkan internet of things (IoT). Tidak hanya memudahkan kontrol aktivitas budidaya, pencatatan dan pengumpulan data seluruh kegiatan budidaya hingga panen akan tersimpan dengan baik. Teknologi digital ini pun dapat dimanfaatkan untuk pemetaan penyakit sehingga mitigasi dan adaptasi serangan penyakit udang bisa dilakukan lebih dini.
Di saat bersamaan, sisi hilir perlu dipersiapkan agar tidak tergagap memasarkan ketika produksi telah membludak. Pasar ekspor masih banyak yang bisa digarap. Jika ingin semakin kokoh di pasar tradisional Amerika, perkuatlah produk bernilai tambah (value added) dalam bentuk ready to cook (RTC) dan ready to eat (RTE), seperti breaded shrimp, garlic herb prawn, marinated shrimp.
Asosiasi Produsen Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Seluruh Indonesia (AP5I) sudah cukup mumpuni menghadirkan produk value added di pasar Amerika sehingga nilai ekspornya semakin besar meski volume kecil. Namun jika melihat beragama produk value added di pasar internasional, Budhi Wibowo, Ketua Umum AP5I mengaku, anggotanya cukup ketinggalan, khususnya dibanding Thailand.
Apalagi, permintaan produk value added di tiap negara juga berbeda. Tidak serta-merta produk RTC-RTE yang laris di Amerika bisa langsung diterima dengan baik di Jepang. Mereka memiliki preferensi beda. Karena itu, riset dan pengembangan produk value added harus terus ditingkatkan.
Pasar internasional lainnya yaitu Uni Eropa yang baru kita penuhi sekitar 1%-2% dan China yang volume impornya terus menanjak. Masih ada lagi pasar Timur Tengah dan Eropa Timur yang belum digarap optimal.
Jangan lupakan pasar lokal yang sangat besar potensinya, khususnya untuk produk RTC-RTE. Tidak seperti ayam, belum banyak pilihan produk udang RTC-RTE yang tersedia di gerai pasar modern dan tradisional. Tingkatkan pula saluran pasar online yang semakin marak sejak pandemi Covid-19. Tentu harus didukung jalur distribusi dan fasilitas cold chain yang lebih pendek dan efisien.
Windi Listianingsih