Foto: Dok. Yudi Guntara/Kadin
Mekanisme mitigasi daging buffer stock pemerintah
Peternak meyakini jumlah kasus PMK secara riil di lapangan lebih banyak. Mereka minta vaksinasi dipercepat.
Hingga Kamis (7/7), sebaran kasus penyakit mulut dan kuku (PMK) sudah mencapai 236 kabupaten atau kota di 21 provinsi. Berdasarkan data resmi pemerintah melalui laman siagapmk.id, terdapat 332.646 ekor ternak yang terjangkit dan 114.237 ekor di antaranya dinyatakan sembuh.
Kejadian di Lapangan Lebih Besar
Kendati begitu, peternak dan pelaku usaha menyangsikan akurasi data pemerintah tersebut. Nanang Purus Subendro, Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) meyakini, jumlah kasus di lapangan boleh jadi jauh lebih besar dibandingkan data resmi.
Paling tidak timnya mencatat jumlah hewan ternak yang terinfeksi PMK mencapai 10 kali lipat lebih banyak. Ia menilai, data yang dihimpun pemerintah ketinggalan. Alasannya, Kementan hanya mengambil data dari petugas resmi tetapi tidak mencatat data dari paramedis mandiri ataupun masyarakat secara swadaya.
Ketika gejala klinis sudah muncul, maka menurut Direktur Utama PT Indo Prima Beef di Lampung ini, sapi sudah dipastikan positif PMK tanpa perlu menunggu hasil lab untuk mencatat kejadian sebuah kasus.
Serupa, Yudi Guntara Noor, Wakil Ketua Komtap Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia berujar, pengumpulan data surveilans di lapangan bak puncak gunung es. Data yang paling kecil terjadi di koperasi persusuan. Namun kenyataannya, yang terserang justru jauh lebih besar.
Merunut data Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) per 22 Juni 2022, kematian sapi akibat PMK di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat sebesar 1.601 ekor. Kemudian sapi yang dipotong paksa (afkir) sebanyak 2.852 ekor. Sedangkan data Kementan per 22 Juni yakni hanya 2.460 ekor ternak dipotong paksa dan terdapat 1.499 ekor mati akibat PMK secara nasional di Indonesia.
Ketua Umum Himpunan Peternak Domba dan Kambing Indonesia (HPDKI) tersebut mengutarakan, perbedaan data yang dilaporkan terjadi lantaran tidak seluruh hewan ternak sakit akibat PMK dilaporkan ke dinas peternakan daerah oleh peternak. Alasannya mungkin atas dasar sosial ekonomi dan ruwetnya sistem birokrasi atau regulasi yang belum jelas mekanismenya.
“Dipotong di mana-mana, tetap dijual di mana-mana, lalu lintas ke mana-mana, peternaknya pun jalan ke mana-mana. Jadinya seperti hari ini, menyebar cukup cepat,” beber Yudi.
Menunggu Vaksinasi
Di sisi lain, peternak was-was menunggu kepastian ternaknya untuk divaksinasi. Suhadi, Ketua Kelompok Peternak Sapi Bumi Asih Sejahtera Lampung mengakui, peternakan sapi yang dijalankan anggotanya lebih rentan PMK. Saat ini mayoritas anggotanya bergerak di sektor pembiakan (breeding). Populasinya berjumlah 3.933 ekor yang dipelihara 38 kelompok peternak. Mereka menjalankan usaha pembiakandan penggemukan sapi jenis PO dan BX.
Sebagai langkah antisipasi dan pencegahan, Ketua Koperasi Produksi Ternak Maju Sejahtera (KPT MS) ini bersama anggota menyetop pembelian sapi bakalan dari luar Provinsi Lampung. Kemudian juga pemberian suplemen dan penyuntikan vitamin, membatasi kunjungan tamu/pembeli ke kandang, membatasi angon sapi ke padang gembalaan, dan meningkatkan kebersihan serta disinfeksi kandang secara rutin.
Untuk asuransi sapi, menurut Suhadi, Kecamatan Tanjungsari mendapat jatah 225 ekor sapi dan sudah habis. Sementara untuk asuransi mandiri, terkendala ketersediaan dana dari peternak. Persoalan lainnya, proses klaim asuransi tidak mudah lantaran juga membutuhkan biaya.
Sebagai peternak, selain meminta vaksinasi massal, ia berharap, petugas dari Puskeswan dan Disnak dan Keswan lebih sering melakukan pemantauan dan penyuluhan agar peternak segera melakukan langkah-langkah antisipasi dan pencegahan.
Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 337 terbit Juli 2022 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.