Sabtu, 4 Juni 2022

PMK dan Ekonomi Peternakan

Setelah pandemi Covid-19, datanglah wabah PMK. Dua hal ini memang tidak ada hubungan sebab-akibat. Kesamaannya hanya satu, dua-duanya penyakit akibat serangan virus yang butuhupaya masif dan biaya besar untuk mengendalikannya. Satu penyakit pada manusia, satunya lagi pada hewan berkuku belah seperti sapi, kambing, domba, dan babi.
 
Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) tetiba membetot perhatian publik, khususnya pemangku kepentingan peternakan, setelah 30 tahun lebih tidak ada di Indonesia. Pada 5 Mei 2022, Dinas Peternakan Jatimmengumumkan terjadinya wabah PMK yang menyerang 1.247 ekor ternak di Gresik, Sidoarjo, Lamongan, dan Mojokerto. Dalam waktu sebulan kurang sedikit, wabah ini telah meluas,menjangkau 127 kabupaten di 18 provinsidan menjangkiti puluhan ribu ekor ternak.
 
Di tataran global, Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) menggolongkan PMK dalam daftar A karena termasuk penyakit virus sangat menular dan menimbulkan dampak ekonomi yang besar. Penyakit ini juga mempengaruhi perdagangan antarnegara sehingga keberadaan kasusnya di negara anggota harus dilaporkan ke OIEsebagai wujud transparansi. 
 
Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda tidak bebas PMK. Dengan perjuangan selama seabad, kita menyatakan diri bebas PMK pada 1986. Namun,OIE baru mengakuisecara resmi pada 1990. Perjuangan membebaskan diri dari penyakit ini sangat tidak mudahdan biayanya sangat besar.
 
Virusnyaada di air liur, kelenjar pertahanan di kepala, sumsum tulang, jeroan, dan kaki di bagian bawah. Virus ini amat gampang tersebar melalui susu, ludah, semen, alat-alat dan bangunan yang terkontaminasi, kendaraan, manusia dan lain-lain.Yang lebih bahaya lagi lewat udara.
 
Jalur jebolnya virus PMK ke negara kita saat ini memang belum diketahui secara pasti, apakah melalui importasi tenak ilegal atau terbawa daging impor dari kawasan tidak bebas. Hal itu tentu perlu dipastikan agar bisa ditutup peluang masuknya kembali di kemudian hari. Yang lebih penting sekarang adalah mengatasi yang sudah masuk dan menyebar sangat cepat.
 
Bagi konsumen, PMK tidak berisiko terhadap kesehatan manusia alias tidak menular atau bukan zoonosis. Bahkan, mengonsumsi daging dan minum susu ternak yang sembuh dari PMK pun aman-aman saja sepanjang dimasak.
 
Namun bagi para peternak yang tengah mengangankan keuntungan jualan hewan kurban, PMK bikin mereka tergagap. Idul Adha tinggal hitungan hari. Ada pembatasan lalu lintas hewan ternak dari daerah wabah ke daerah aman. Demikian pula peternak anggota Asosiasi Peternak Sapi Perah Indonesia merasa sangat miris karena sapi perah termasuk yang sangat rentan PMK.
 
PMK umumnya tidak menimbulkan kematian ternak secara langsung kecuali pada ternak muda. Pada ternak dewasa, serangan virus ini mengakibatkan lepuh semacam sariawan sehingga tak mau makan. Puting susu bisa terserang. Kuku yang melepuh mengakibatkan tak mampu berdiri. Tak pelak, ternak menjadi kurus dan produksi susunya anjlok. Sapi yang tak lagi produktif ini terpaksa dilarikan ke rumah potong agar tak menulari yang lain. Jelaslah ekonomi peternak terganggu. Secara nasional, populasi sapi perah dan produksi susu akan berkurang.
 
Asosiasi peternak memandang pemerintah perlu meningkatkan status wabah lebih tinggi agar bisa mengerahkan sumber daya dan dana yang lebih besar sehingga wabah lebih cepat tertanggulangi. Vaksinasi jadi opsi yang baik saat ini. Apa daya, Kementan hanya punya dana buat memvaksinasi satu juta ekor. Padahal jumlah sapi potong saja 18 juta ekor, sapi perah 570 ribuan, kambing 19 juta, domba hampir 18 juta, dan babi 8 juta ekor. Sungguh sangat tidak memadai.
 
Vaksin PMK lokal tidak ada stok karena sudah lama sekali tak ada wabah. Produksi lokal baru siap Agustus mendatang. Pilihannya, sementara menggunakan vaksin impor. Kementan sudah merencanakan impor tapi jumlahnya sangat tidak mencukupi. Alangkah baiknya bila pemerintah mengalokasikan dana lebih besar untuk penanggulangan wabah pengancam ekonomi industri peternakan nasional ini.
 
 
 
Peni Sari Palupi

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain