Bawang merah menjadi bumbu dapur yang banyak dicari pada bulan puasa Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri. Tak ayal, permintaan salah satu bumbu dapur favorit itu senantiasa meninggi di momen hari besar umat Islam.
Sayang, kebutuhan yang membesar tidak diiringi produksi yang sepadan. Kehadiran cuaca buruk di setiap awal tahun menyebabkan produktivitas bawang merah turun signifikan, menembus 50% di beberapa sentra produksi seperti Brebes-Jateng, Bima-NTB, Solok-Sumbar, serta Probolinggo dan Nganjuk-Jatim.
Stok yang menipis membuat harga bawang merah melonjak di pasar. Bahkan, keberadaannya disinyalir langka hingga berembus isu impor bawang merah untuk mengisi stok dan stabilisasi harga jelang puasa dan lebaran. Petani pun resah. Isu impor membentukpsikologis harga bawang merah lokal jatuh karena kemungkinan membanjirnya barang di pasaran.
Kabar burung mengenai impor tanaman asal negeri Persia ini bermula dari keinginan pemerintah melalui Kementerian Perdagangan untuk menstabilkan harga bawang merah di tingkat konsumen. Impor batal terlaksana lantaran Kementerian Pertanian (Kementan) tidak mengeluarkan rekomendasi izin impor karena produksi bawang merah ada dan mencukupi kebutuhan dalam negeri. Apalagi, beberapa sentra produksi juga panen pada April-Mei 2022.
Kementan mengklaim, sejak 2016 produksi tanaman bernama ilmiah Allium cepa L. var. aggregatum itu surplus setiap tahun. Menurut Dirjen Hortikultura, Kementan, Prihasto Setyanto, kebutuhan bawang merah tahun 2020 sebanyak 994.095 ton dengan produksi 1.815.445 ton. Tahun 2021 kebutuhannya 974.741 ton dan produksi 2.004.590 ton sedangkan pada2022 kebutuhannya 1.179.879 ton dan produksi 2.151.814 ton. “Meningkat signifikan, 10,24%. Meningkat dari segi produksi, cukup, jadi tidak perlu impor,” seru Dirjen.
Selain sentra produksi yang sudah ada, Kementan pun mengembangkan kawasan Food Estate hortikultura yang mencakup komoditas bawang merah di Humbahas, Sumut serta Temanggung dan Wonosobo, Jateng. Pengembangan food estate ditujukan bagi daerah yang defisit suplai bawang merah sehingga hasil panennya bisa langsung diserap pasar. Di samping itu, pemerintah menyiapkan pula offtaker-nya.
Melansir data Badan Pangan Nasional (National Food Agency, NFA), tahun ini produksi bawang merah nasional mencapai 1,42 juta ton dengan kebutuhan tahunan sebanyak 1,18 juta ton. Stok akhir 2022 diperkirakan mencapai 0,24 juta ton sehingga NFA pun tidak merencanakan impor bawang merah.
Bawang memang menjadi salah satu dari 9 komoditas pangan selain padi, jagung, kedelai, gula konsumsi, telur unggas, daging unggas, daging ruminansia, dan cabai yang dikelola oleh NFA berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2021. Lembaga ini bertugas menetapkan rencana kebutuhan pangan melalui Sistem Nasional Neraca Komoditas (SNANK) dengan operator Perum BULOG dan ID FOOD.
Dalam penyelenggaraan Cadangan Pangan Pemerintah (CPP) meliputi komoditas bawang, gula konsumsi, telur unggas, daging unggas, daging ruminansia, dan cabai, NFA menjalankan penugasan buffer stock (stok penyangga) dan pengadaan stok secara komersial atau business to business (B to B) yang dilakukan oleh ID FOOD dan BUMN lainnya, yaitu PT Perkebunan Nusantara, bahkan BULOG. Importasi tetap akan dilakukan jika pasokan dalam negeri tidak tersedia atau tidak mencukupi.
Peran aktif NFA benar-benar sangat diharapkan bisa menjaga stabilitas harga dan distribusi pangan nasionalsehingga tidak ada lagi istilah mengorbankan petani demi melindungi konsumen. Pasalnya, kebijakan impor begitu cepat diambil dengan alasan stabilitas harga dan “mengabaikan” penderitaan petani yang dirugikan dengan turunnya harga jual. Sementara saat harga di tingkat petani jatuh, pemerintah seolah tutup mata dan lamban mengambil tindakan.
Karena itu, NFA harus membuat kebijakan terintegrasi yang mampu menyelaraskan kebijakan pangan dari 18 kementerian/lembaga terkait untuk menepis ego sektoral. Diperlukan pula kesatuan data pangan agar tidak salah langkah mengambil keputusan yang pada ujungnya merugikan petani sebagai produsen pangan.
Windi Listianingsih