Foto: Dok. Kementerian Pertanian
Mengonsumsi daging ayam mencegah cegah stuntingdan mewujudkan generasi emas
Konsumsi protein hewani berperan mewujudkan generasi emas Indonesia.
Indonesia pada 2045 memasuki masa keemasan karena tepat di tahun tersebut mencapai usia ke-100. Pemerintah mengharapkan, saat itu sumber daya manusia (SDM) Indonesia unggul dan berkualitas agar mampu berdaya saing tinggi.
Menuju cita-cita indah itu, pemerintah memfokuskan tumbuh kembang balita atau anak usia dini dengan ‘mendesain’ mereka menjadi generasi unggul. Salah satunya,mengajak orang tua untuk peduli gizi anak dan mencegah stunting.
Pasalnya, stunting menjadi masalah utama bayi dan anak usia dini di Indonesia. Kondisi ini perlu dituntaskan karena dapat menghambat pertumbuhan generasi emas Indonesia.
Generasi Unggul
Dalam webinar "Peran Protein Hewani Mewujudkan Generasi Emas Indonesia", Sri Hartati, Ketua Asosiasi Kesehatan Masyarakat Veteriner (Askesmaveti)menjelaskan,sosialisasi pencegahan stunting sangatlahpenting.Karena, membentuk generasi emasatau unggul tidaklahmudahtapi harus upayakandan disiapkan dengan baik.
“Salah satunya,meningkatkan konsumsi gizi seperti protein hewani di fase pertumbuhan pada bayi usia 0–18 tahun. Mengingat,peran protein hewani sangat pentinguntuk pertumbuhan dan perkembangan serta perlu ditingkatkan asupan gizinya. Saat inilah waktu yang tepat untuk dipersiapkan dengan baik,” jelasnyapada acara yang diadakan Askesmaveti dan AGRINA, Jakarta (31/1).
Ditambah lagi, lanjut Tati, sapaannya, Indonesia memiliki bonus demografi.Artinya,masyarakat usia produktif jumlahnya lebih banyak dibandingkan masyarakat usia tidak produktif sehingga harus dimanfatkan dengan baik. Banyak negara berhasil memanfaatkan bonus demografi,seperti Malaysia, Korea Selatan,dari negara berkembang menjadi negara maju. Manfaatnya bisa mengubah tingkat perekonomian negara.
Senada dengan Tati, Fitri Nursanti, Pemimpin Umum AGRINA menerangkan, bonus demografi merupakan tantangan dan peluang. Peluangnya sangat bermanfaat mencetak generasi unggul di masa mendatang. Sedangkan tantangannya, tanpa persiapan matang akan jadi beban di masa depan.
“Salah satu caranya peduli akan gizi anak. Sosialisasi tentang konsumsi protein hewani bukan hanya tanggung jawab pemerintah tapi semua pihak untuk lebih mengampanyekan untuk membentuk generasi emas mendatang,” katanyapada acara yang dimoderatori drh. Ruri Astuti Wulandari itu.
Kasus Stunting Indonesia
Prof. Dr. drg. Sandra Fikawati, MPH, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia(UI) menjelaskan, masa 1.000 hari pertama kehidupan atau 270 hari kehamilan dan 730 hari pada dua tahun pertama kehidupan buah hati, menjadi sorotan paling penting untuk mencegah stunting.Periode emas ini merupakan masa pertumbuhan dan perkembangananakyang akan menentukan perkembangan kecerdasannya dalam jangka panjang.
“Bicara stunting seharusnya sejak masa kehamilan harus diperhatikankarena konsumsi protein hewani sangat kurang bagi wanita hamil. Proporsi kurang energi kronis pada wanita hamil diusia 15–19 tahun angkanya mencapai 33%, kemudian pada usia 20–24 tahun sekitar 23%,angka ini sangat tinggi. Kurang lebih 70%–80% ibu hamil di desa/kota dan miskin/kaya belum tercukupi konsumsienergi dan proteinnya,” urainya.
Sandra menjabarkan, dampak stunting ada beberapa hal.Pertama, kemampuan kognitif dan prestasi belajar rendah. Kedua, tinggi tidak optimal, kualitas kerja yang tidak kompetitif. Ketiga, kekebalan tubuh menurun atau mudah sakit. Saat dewasa akan muncul risiko produktivitas rendah. “Stunting dampak utamanya pada otak,akan menyebabkan kesulitan dalam bersaing dengan negara lain yang angka stunting-nya rendah. Stunting dapat menyebabkan kurang baik untuk jangka panjang,” ungkapnya.
Cegah Stunting
Menurut Sandra, selain ibu hamil,mencegah stunting juga dilakukan pada periode bayi. World Health Organization (WHO) dan United Nations Children’s Fund (Unicef) menyarankan,mempersiapkan makanan pertama bayi dengan menyusui atau program Air Susu Ibu (ASI) eksklusif. ASI eksklusif dilakukan selama 6 bulan pertama kehidupan.
Kemudian,dikenalkan dengan makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang bergizi.Pemberian ASI tetap dilakukan sampai bayi usia 2 tahundan ibu menyusui juga harus memenuhi konsumsi makanan cukup gizi.
Ahli giziitu melanjutkan,pemberian MP-ASI pada anak usia 6 bulanberupa ragam makanan sepertipadi-padian, umbi, pisang, kacang-kacangan, produk susu, daging sapi, ikan, dan telur, sertasayuran dan buah bervitamin A. Frekuensi hidangan untuk bayi usia 6–8bulan minimal 2–3 kali MP-ASI per hari, usia 9–12 bulan minimal 3-4 kali, dan usia 12–23 bulan kurang lebih 4-5 kali.
Sedangkan,anak yang tidak menyusui di usia 6–23 bulandapat diberikan produk susu dengan kandungan kalsium dan zat gizi. Kebutuhan susu pada anak yang mengonsumsi sumber lainnya minimal dua kali,sekitar 200-400 ml/hari. Anak yang tidak konsumsi makanan lainnya, kebutuhan susu minimal dua kali sekitar 300-500ml/hari.
“Namun,secara rasional WHO menyarankan, pemberian ASI atau non-ASI,anak dapat mengonsumsi daging dan telur sesering mungkin,” terang lulusan dokter gigi UI itu. Sandra menambahkan, konsumsi telur dapat meningkatkan asupan energi, protein, asam lemak esensial, vitamin B12, vitamin D, fosfor, dan selenium,serta panjang badan lebih tinggi. Pengenalan daging sebagai MP-ASI meningkatkan asupan protein dan seng.
Menuju Generasi Emas
Menurut Prof. drh. M. Rizal Martua Damanik, MRepSc, PhD, Deputi Bidang Pelatihan, Penelitian, Pengembangan Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), protein terdiri dari dua macam,yaitu nabati dan hewani. Keduaprotein ini berbeda.Protein hewani jauh lebih baik kualitasnya dibandingkan protein nabatikarena memiliki asam esensial lebih lengkap dan banyak.
“Tubuh kekurangan asupan protein hewani akan mengalami gangguan fungsi hormonal, gangguan regenerasi sel, sistem kekebalan tubuh,dan massaotot. Kekurangan protein secara berlanjut berdampak pada kesehatan dan tumbuh kembang seperti terhambatnya pertumbuhan fisik, menyebabkan stunting,dan gangguan kognitif,” paparnya.
Guru Besar FEMA IPB University itu merincikan,jumlah protein yang berasal dari hewan,seperti telur bebek sebanyak 13 g, daging sapi 24,9 g, daging ayam 26,9 g, ikan 21,3 g, udang 16,7 g, dan susu 14,3 g. Anak stunting berhubungan dengan tinggi-rendahnya konsumsi protein. Rizal mencontohkan, konsumsi telur di Kepulauan Bangka Belitung rata-rata hanya 0,81% yang artinya tidak sampai satu butir telur dalam sehari atau bahkan satu telur dibagi untuk 4 anak.
Sandra menambahkan, “Survei Konsumsi Makanan Individu pada 2014, bayi 0-6 bulan mendapatkan protein hewani dari ASI 73%, usia 7–11 bulan konsumsi protein hewani hanya 2%, lalu 1-3 tahun lebih rendah lagi,0,1%. Situasi ini konsumsi protein hewani sangat rendah.Harus ada perubahan dalam asupan anak.”
Rizal mengatakan, untuk meningkatkan mengonsumsi telur di daerah dapat mencontoh salah satu kabupaten di Sulawesi Tengah. “Warga setempat bermitra dengan peternak ayam petelur. Program Bupati tersebut didukung oleh rakyat agar masyarakat dapat mengonsumsi telur setiap hari. Ini sangat bagus sekali programnya. Kita tahu bahwa daging ayam, daging sapi mahal tapi telur dapat jadi solusi sumber protein hewani yang murah selain ikan,” terangnya.
Asupan Protein dan Jaminan ASUH
Berdasarkan data Studi Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) 2021,penurunan prevalensi stunting mencapai 24,4% di 2021ketimbang 2019 yang sebesar 27,7%. Angka ini masih dikatakan tinggi oleh WHOyang memiliki standar angka stunting tidak boleh lebih dari 20%. “Angka stunting ini akan memperburuk citra Indonesia di mata dunia. Tiga wilayah paling tinggi prevalensi stunting di Indonesia yaitu Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, dan Aceh,” jelas Rizal.
Ia menambahkan, Presiden Joko Widodo menargetkan akhir 2024 Indonesia mencapaiangka stunting14%. Hanya tinggal 2 tahun untuk mencapai angka tersebut. Perlu upaya kuat dan konsisten untuk menurunkan angka stunting 2,7% per tahun. “Pertumbuhan linier terbukti ditentukan oleh asupan protein hewani yang cukup. Sosialisasi konsumsi pangan hewani, deteksi dini gangguan pertumbuhan linier pada bayi dan balita diperlukan untuk mewujudkan generasi emas Indonesia,” tandasnya.
Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Syamsul Ma’arifmenguraikan, ibu rumah tangga memiliki peran penting dalam pencegahan stunting melalui asupan protein hewani. “Ibu rumah tangga harus memperhatikan protein hewani yang diberikan kepada anaknya,” katanya.
Sementara itu, ulasnya, produk hewani yang beredar di pasar juga harus memiliki jaminan ASUH (Aman, Sehat, Utuh, dan Halal). Pasalnya, nutrisi atau kandungan protein hewani diterima masyarakat harus berkualitas dan terjamin mutunya. "Para peternak menyajikan produk hewan dan dijual harus memenuhi persyaratan ASUH agar produk mendapatkan kandungan gizi yang bagus dan dapat mengurangi stuntingsehingga bisa mencapai generasi emas," tegasnya.
Sabrina Yuniawati