Foto: Try Surya Anditya
Produktivitas susu nasional masih rendah, Indonesia terpaksa masih bergantung pada bahan baku impor
Meskipun produksi meningkat tiap tahun, industri susu nasional masih bergantung pada bahan baku impor.
Industri persusuan lokal masih berkutat di kerumitan yang hampir sama setiap tahun. Mulai dari populasi sapi perah yang rendah, produktivitas stagnan, pemeliharaan sapi perah di bawah skala ekonomis, hingga neraca susu segar dalam negeri (SSDN) yang tak kunjung berimbang. Padahal dari segi permintaan, peluang pasar industri susu di dalam negeri masih sangat terbuka lebar.
Datangnya pandemi tak bisa dipungkiri turut membuat permintaan SSDN mengalami pasang surut. Pelaku peternakan mengakui, pasar sempat turun akibat pembatasan namun kembali menanjak setelah kegiatan bergerak lagi. Berdasarkan catatan Kementerian Perindustrian (Kemenperin), dalam 3 tahun terakhir terjadi peningkatan pelaku industri pengolahan susu (IPS). Yakni, sebanyak 76 IPS pada 2019, 80 IPS pada 2020, dan 84 IPS pada 2021.
Putu Juli Ardika, Plt. Dirjen Industri Agro, Kemenperin mengungkapkan, penambahan jumlah industri ini sejalan dengan investasi sebesar Rp9,6 triliun sepanjang 2021. Data Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) menunjukkan, peningkatan investasi asing senilai 75,93% atau sebesar US$2.018 juta pada Januari-September tahun lalu didominasi oleh IPS.
Untuk mencukupi kebutuhan bahan baku susu di dalam negeri sebanyak 4,3 juta ton/tahun, IPS masih sangat bergantung pada impor yang mencapai 79%. Sebab, produksi di dalam negeri baru mampu mencukupi 21% kebutuhan.
“Salah satu tantangan dalam pengembangan SSDN yaitu produktivitas sapi perah rakyat hanya 8-12 liter/ekor/hari. Secara best practice-nya, yang ideal bisa mencapai 30 liter/ekor/hari,” ucap Putu.
Pada kesempatan berbeda, Agung Suganda, Direktur Perbibitan dan Produksi Ternak, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian (Kementan) mengatakan, selain populasi sapi perah di dalam negeri, masih kurangnya regenerasi peternak juga menjadi tantangan. Peternak masih terbatas di skala kepemilikan dan didominasi usia 45 tahun ke atas.
Genjot Produksi
Lebih lanjut Agung menuturkan, berdasarkan data statistik, dalam 3 tahun terakhir terjadi peningkatan populasi sapi perah. Pada tahun lalu tercatat populasi sapi perah mencapai 578.579 ekor dengan produksi susu 962,68 ribu ton. Meski begitu, populasi dan jumlah susu segar ini masih sangat jauh dari kebutuhan yang ada.
Berdasarkan Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan 2021, Jawa Timur menjadi penyumbang utama susu segar, sebanyak 556 ribu ton dengan populasi sapi perah 301 ribu ekor. Menyusul, Jawa Barat sebanyak 283 ribu ton susu dengan populasi 119 ribu ekor, dan Jawa Tengah 102 ribu ton dari populasi 142 ribu ekor.
Kementan, ulasnya, berupaya meningkatkan produksi dan populasi sapi perah nasional. Program Sapi Kerbau Komoditas Andalan Negeri (Sikomandan) telah menghasilkan 387.702 ekor pedet (anak sapi).
Selain itu, Agung menjabarkan, Kementan juga menetapkan 7 kawasan pertanian utama khusus sapi perah. Yaitu, di Sumatera Utara (Karo), Sumatera Barat (Tanah Datar, Padang Panjang, dan Bukittinggi), Jawa Barat (Bogor, Bandung, Bandung Barat), Jawa Tengah (Boyolali dan Semarang), Yogyakarta (Sleman), Jawa Timur (Nongkojajar, Tulungagung, Batu, Malang, Pasuruan, dan Blitar), dan Sulawesi Selatan (Enrekang).
Pasar Masih Tinggi
Sementara itu, Ketua GAPMMI, Adhi S. Lukman menuturkan, selama masa pandemi konsumsi produk susu mengalami kenaikan signifikan. Hal inilah yang mendorong investasi baru di industri makanan dan minuman (mamin).
Ia memperkirakan, investasi-investasi baru tersebut mulai beroperasi pada 2022. Kebutuhan bahan baku akan lebih meningkat dibanding 2021. Kontribusinya, perkiraan dia, bisa mencapai 80% dari kebutuhan bahan baku. Terbatasnya pasokan bahan baku lokal akan tetap menjadi kendala, terlepas ada upaya pemerintah dan pelaku usaha dalam meningkatkan produksi.
Selama pandemi, marak masyarakat mencari produk bergizi termasuk susu. Adhi membenarkan, meningkatnya konsumsi mendorong pabrik beroperasi dengan kapasitas penuh.
Kemitraan dan pendampingan memang menjadi senjata dalam meningkatkan produksi. Namun, hingga sekarang dampaknya belum signifikan lantaran banyak perusahaan yang fokus di hilir. Adhi memprediksi, industri mamin berpotensi tumbuh 7% pada 2022. Sedangkan, khusus industri susu diperkirakan pertumbuhannya mencapai dua digit.
Bagusnya prospek pasar susu selama pandemi diamini Rizal Fauzi, Strategic Sourcing & Project Management PT Global Dairi Alami. Menurut Rizal, naiknya permintaan pasar karena timbul kesadaran masyarakat akan gaya hidup sehat. Hal ini tentu mendorong pola konsumsi protein hewani, khususnya susu.
Ia menuturkan, saat ini Global Dairi Alami memiliki kapasitas peternakan sebesar 6.000 ekor. Peternakan susu terintegrasi bermerek MilkLife ini mampu memproduksi susu 15-20 liter/ekor/hari. Tahun ini target produksinya menyentuh 25 liter/ekor/hari.
Perusahaan yang baru berjalan 5 tahun ini, ulas Rizal, mulai memberdayakan peternak lokal dalam setahun terakhir. Tentunya dengan kriteria penerimaan susu sesuai SNI. Untuk menggaet pasar lebih luas, pihaknya memproduksi susu bebas laktosa (lactose free). Konsumsi susu ini ditujukan bagi konsumen yang memiliki intoleransi laktosa.
Lain lagi pengakuan peternakan sapi perah mandiri. Umar Said, Staf Pengelola Cibugary Farm, salah satu peternakan sapi perah terbesar di kawasan Jakarta berujar, awal pembatasan saat pandemi membuat pasar susu anjlok drastis. Penjualan terjun bebas dari yang awalnya bisa di atas Rp10 juta.
Dalam sehari Cibugary Farm bisa menghasilkan susu kurang lebih 430 liter. Pemasarannya langsung ke end user, baik berupa susu segar maupun olahan. Umar mengakui, pihaknya sudah bekerja sama dengan pesantren di Bogor untuk memasok susu. Selain itu, langganan dengan perusahaan juga sudah mulai berjalan kembali.
Selain menjual produk susu, Cibugary Farm membuka agrowisata edukasi untuk melebarkan pasar. Dalam paket kunjungan tersebut, peserta berkesempatan bersentuhan langsung dengan sapi perah dan pastinya mendapatkan paket susu.
Namun, Rachmat Al-Baghory, pemilik Cibugary Farm menandaskan, hingga saat ini kegiatan agrowisata belum bisa bergerak normal lantaran sekolah-sekolah masih menerapkan pembatasan. Ia mengakui, peningkatan pemasaran susu mulai bergairah setelah susu beruang ramai jadi perbincangan. Dampak positifnya, banyak masyarakat yang kembali mencari susu segar karena percaya dapat meningkatkan imunitas.
“Penurunan hampir 70% sama seperti lini usaha lain. Saat ini alhamdulillah ada peningkatan, naik mendekati 50%. Habis lebaran insyaallah sepertinya mulai ada gairah lagi,” Rachmat optimis.
Kemitraan Mendorong Kesejahteraan
Dalam pengembangan industri susu lokal, kemitraan merupakan keniscayaan. Bagi peternak, kemitraan menjamin produksi susunya terserap. Sementara, perusahaan mendapatkan pasokan susu segar dari dalam negeri secara kontinu. Kemenperin mencatat, sejauh ini terdapat 84 perusahan IPS dan turunannya. Namun, baru 14 perusahaan yang bermitra dengan koperasi atau peternakan sapi perah lokal.
Meningkatnya permintaan bahan baku susu bak angin segar bagi pelaku usaha atau peternak lokal. Sebaliknya, kekurangan bahan baku malah akan membuat angka impor semakin besar ketika kebutuhan tidak terpenuhi.
Dedi Setiadi, Ketua Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) mengemukakan, peternak sapi perah lokal sudah memasok kebutuhan SSDN selama 50 tahun. Hingga 2021 terdaftar sebanyak 76.685 anggota dari 59 koperasi dengan populasi 238.865 ekor sapi perah dan produksinya mencapai 1,7 juta ton/hari.
Peternak sapi perah membutuhkan koperasi sebab membuat mereka terhimpun dalam kelembagaan atau korporasi. Sehingga, peternak mendapatkan akses pemasaran dan peningkatan produksi yang lebih baik.
GKSI merupakan korporasi milik petani yang sudah tertata dari hulu hingga hilir. Bentuk kemitraan koperasi dengan IPS selain sebagai penerimaan susu, juga peningkatan kualitas peternak serta manajemen dan bantuan pusat pengumpulan susu (milk collection point,MCP).
Ia mengulas, lahirnya Permentan No. 26/2017 tentang Penyediaan dan Peredaran Susu merupakan fenomenal sebab sejak 1987 belum ada aturan terkait persusuan nasional. Ini merupakan angin segar bagi peternak lokal. Akan tetapi karena Indonesia terikat perjanjian dagang dunia (WTO), Permentan ini kemudian direvisi. Lalu, lahir Permentan No. 30/2018 yang kemudian diubah lagi menjadi Permentan No. 33/2018.
“Tapi ini saya lihat tetap bisa dilakukan kemitraan dan saling mengikat untuk melakukan perbaikan-perbaikan di hulunya. Seperti penambahan populasi, peningkatan kualitas, dan bantuan peralatan masih tetap dilakukan,” ulasnya.
Dalam mengatasi berbagai persoalan pengembangan SSDN, Putu mengungkap, perlu dukungan fasilitas dan kebijakan pemerintah yang berpihak kepada koperasi susu dan peternak sapi perah di sisi hulu. Tahun ini, lanjut dia, Kemenperin akan membangun MCP lanjutan dan membantu program digitalisasi tempat penampungan susu sebagai persiapan diterapkannya neraca komoditas.
Bantuan tersebut dinilai Dedi sangat tepat. “Susu itu harus ABCD (Asli, Bersih, Cepat, Dingin). Kemenperin memberikan cooling unit kepada GKSI. Ini untuk menjaga susu ABCD sebab di tempat terbuka susu paling kuat bertahan 1-2 jam sehingga kualitasnya tetap bagus dan tidak terjadi peningkatan bakteri,” bebernya.
Perbaikan Produksi
Panji Aryo Tegar, Marketing Specialist PT Nutricell Indonesia mengatakan, yang mesti dipenuhi untuk meningkatkan produktivitas susu yakni kebutuhan pakan hijauan. Sapi perah membutuhkan pakan hijauan 30-50 kg/ekor atau 10% dari bobot tubuh.
Pada umumnya peternak memberikan pakan sebanyak 2 kali/hari di pagi dan sore hari dengan frekuensi 4 kali. Dalam program sapi perah, jelas Panji, konsentrat diberikan sebelum pemerahan sedangkan pakan hijauan diberikan setelah pemerahan.
Yang kini menjadi persoalan, ada 70% peternak tidak punya lahan, 20% memiliki lahan, dan 10% memiliki lahan dan cukup. Selain bibit berkualitas, ketersediaan rumput akan menjadi pengungkit meningkatnya produksi dan kualitas susu di tingkat peternak.
Selanjutnya, asupan kebutuhan air juga perlu dipenuhi. Ia menjelaskan, sapi tersusun oleh lebih dari 85% air. Agar bisa menghasilkan 1 kg susu, sapi membutuhkan 4-5 kg air. Oleh karena itu, sebaiknya bak minum dibuat terpisah dengan bak makan.
Panji menyarankan, penggunaan Nutrifat Ca-84 sebagai sumber lemak by pass ruminansia. Gunanya meningkatkan nutrien susu, terutama lemak dan mendongkrak produksi susu sapi perah. “Ini bisa meningkatkan fertilitas, energi kepadatan pakan, dan komponen dalam susu sapi perah,” tuturnya berpromosi.
Ahmad Hofit, peternak muda asal Nongkojajar, Pasuruan berpendapat serupa. Bagi dia, manajemen pakan hijuan, konsentrat, dan air tidak bisa disepelekan. Saat ini ia tengah mengembangkan hijauan pakan ternak yang semula rumput odot menjadi rumput pakchong.
Ke depan Duta Peternak Milenial ini juga menyiapkan sorgum untuk pembuatan silase. Untuk kebutuhan air, diberikan secara ad libitum yaitu air tak terbatas tersedia di dalam kandang.
Lebih jauh, ia mengatakan, khusus pedet pemberian pakan usia 0-3 bulan tidak memakai rumput. Akan tetapi, memanfaatkan calf starter dan tambahan biji jagung. Tujunnya, mengecek kesiapan pedet untuk mengonsumsi rumput. Kesiapan ini ditandai dengan adanya biji jagung tak tercerna di feses. “Peternak mesti tahu ini. Saya dapat ketika berkesempatan magang di New Zealand. Ini menentukan kualitas ke depan,” bahasnya.
Kemudian, ia menekankan, hal sepele yang menunjang keberhasilan peternak adalah manajemen pencatatan. Program ini, ungkap lulusan peternakan Universitas Islam Malang tersebut, sering kali terlewati oleh peternak.
Padahal, ini sangat penting terutama dalam hal reproduksi. Siklus birahi jadi terpantau sehingga bisa terjadwal masa inseminasi buatan (IB), kode straw pejantan, tanggal lahir, hingga catatan kesehatan.
“Dari situ produktivitas saya di rata-rata 15-16 liter/ekor/hari. Pernah juga puncaknya 20 liter/ekor/hari,” tandas pemilik Peternakan Kandang Arumi ini.
Try Surya Anditya