Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan, produksi padi pada Januari – April 2022 akan naik 7,7% atau setara 14,63 juta ton dari periode yang sama 2021. Peningkatan produksi karena kenaikan potensi luas panen sebesar 0,38 juta ha menjadi 4,81 juta ha.
Menurut BPS, tahun lalu produksi beras turun 0,45% dari produksi 2020 yang mencapai 31,5 juta ton. Penurunan ini karena faktor bencana alam, kekeringan yang cukup panjang, serta serangan hama dan penyakit.
Seluruh perhitungan tersebut dilakukan melalui metode kerangka sampel area (KSA) yang pengamatannya telah menerapkan teknologi sistem informasi geografi (SIG).
SIG merupakan salah satu bentuk teknologi informasi spasial yang digunakan dalam pertanian presisi (precision farming). Sistem ini berperan untuk menentukan lokasi yang spesifik. Dari sini terlihat, pemerintah melalui BPS telah menerapkan pertanian presisi dalam menganalisis data spasial pertanian.
Pada pertanian presisi, teknologi informasi dan komunikasi menjadi kunci utama untuk mengumpulkan hingga menganalisis data spasial pertanian. Pertanian presisi adalah pertanian berbasis sistem dengan pemasukan yang rendah (low input), efisiensi tinggi, dan berkelanjutan.
H. Winarno Tohir, Ketua Umum Kelompok KTNA Nasional 2010-2020 mengusung konsep “Pertanian Presisi ala Indonesia”. Menurut Winarno, aplikasi pertanian presisi pada agribisnis padi harus bertahap menyesuaikan karakter petani. Pasalnya, mayoritas petani padi adalah petani gurem, sisanya skala menengah dan sedikit pemodal besar. Tingkat pengetahuan, keterampilan, dan penguasaan teknologinya pun berbeda.
Ini senada dengan pendapat Prof. Lilik Soetiarso. Guru Besar Fateta UGM itu menilai, pertanian presisi harus dilihat dari berbagai sudut pandang untuk memperoleh pemahaman yang luas dan menyeluruh. Di antaranya, perspektif manajerial, tingkat teknologi, serta aspek ekonomi dan lingkungan sosial budaya petani.
Umumnya, pertanian presisi memakai teknologi canggih sarat modal. Sebaliknya, tahap awal penerapan “Pertanian Presisi ala Indonesia” cukup memanfaatkan teknologi yang ada. Sebab, semangat pertanian presisi ialah memberi input yang akurat untuk meningkatkan efisiensi, menghasilkan produktivitas tinggi, dan berkelanjutan sehingga meningkatkan daya saing.
Dalam menentukan waktu tanam misalnya, cukup berpedoman pada Kalender Tanam (Katam). Bisa pula mengakses kondisi cuaca dan iklim lokal di laman Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
Untuk pengendalian hama penyakit, ahli hama UGM, Alan Soffantelah menciptakan sistem pemantauan hama‘pintar’ berharga terjangkau. Sistem ini bisa menghitung hama, memantau iklim, dan memonitor data secara seketika. Mengaksesnya cukup dari smartphone. Ada pula aplikasi pemantauan hama dari perusahaan pestisida yang membantu petani mengamati hama tanpa perlu ke lapang.
Petani juga lebih dulu mengadopsi alat panen dan pascapanen padi yang mengurangi kehilangan hasil saat panen. Dari yang sederhana seperti paddy reaper (alat penuai padi) dan thresher (mesin perontok), perlahan digantikan combine harvester (mesin pemotong padi dan perontok gabah) yang penerapannya menyesuaikan kondisi lahan juga akses jalan.
Dilanjutkan penggunaan alat pengering sederhana tipe batch dryer beralih ke continous dryer. Lalu, mengolah gabah menjadi beras dengan mesin giling padi sederhana hingga rice milling plant (RMP) yang menghasilkan produk bernilai tambah seperti beras premium, bekatul, dan tepung beras.
Sejatinya, esensi penerapan pertanian presisi yaitu meningkatkan kesejahteraan petani padi dan meningkatkan daya saing agribisnis padi Indonesia di level dunia. Memanfaatkan pertanian presisi, hambatan produksi padi seperti perubahan iklim, serangan hama penyakit, dan potensi kehilangan hasil panen bisa diminimalisir. Produktivitas petani meningkat, nilai tambah juga bakal didapat.
Pemerintah perlu menyiapkan SDM agar siap mengadopsi pertanian presisi serta fasilitasi pembiayaan dan sarana-prasarana pendukung guna memudahkan petani mengakses teknologi berbasis internet ini.
Windi Listianingsih