Struktur industri ayam ras di negara produsen dan eksportir utama dunia, Amerika dan Brasil, hampir semuanya berupa industri terintegrasi vertikal. Mulai dari hulu penyediaan sarana produksi, budidaya, hingga ke hilir pengolahan ayam. Kalau pun ada sebagian kecil pelaku individual, skalanya cukup besar sehingga mumpuni menangani produknya sampai ke pasar.
Di Indonesia,integrasinyabaru sebagian yang vertikal.Sekadar menyebut beberapa contoh adalah Japfa Comfeed Indonesia, Charoen Pokphand Indonesia, Sreeya Sewu Indonesia, dan Mabar Group. Yang lainnya penyedia bibit ayam, pakan, obat-obatan dan vaksin, kandang, pelaku budidaya, dan pengolah daging dan telur ayam yang beroperasi secara terpisah.
Level efisiensi antara industri terintegrasi dan yang beroperasi sendiri tentu tak sama sehingga menghasilkan harga pokok produksi berbeda.Efisiensi dua raksasa ayam dunia makin ditunjang dengan melimpahnya sumber pakan, seperti jagung, bungkil-bungkil sumber protein, yaitu bungkil kedelai (soybean meal-SBM), bungkil jagung (corn distillers dried grain with soluble), corn gluten meal– CGM juga tepung daging dan tulang (meat & bone meal-MBM).
Sementara,Industri pakan Indonesia masih mengandalkan bahan baku impor, khususnya sumber protein seperti SBM, CGM, dan MBM.Kita memang tidak punya pengilangan minyak kedelai, minyak jagung, dan pengolahan daging sapi yang masifjadi tidak ada bungkil produksi domestik, kecuali bungkil sawit dengan porsi pemakaian 4%-6% dalam pakan ayam.
Menurut Desianto B.Utomo, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT), porsi bahan baku impor mencapai 36%pada ransum pakan broiler sedangkan dalam pakan layer sebesar 29,5%. Sedangkan, porsi bahan baku lokal mencapai 64% pada broiler dan 70,5% dalam pakan petelur. Jagung, komponen paling utama bahan baku lokal, menyumbang 40%-45%.
Dimasa pandemi Covid-19 yang mendisrupsi semua bidang, industri pakan ketiban pulung. Harga bahan baku impor terkerek lantaran langkanya peti kemas untuk mengapalkan ke Indonesia. Tambahan lagi, suplai bahan baku dunia diserap China gila-gilaan karena raksasa ekonomi dunia ini terbilang cepat pulih dari dampak pandemi. Apalagi, masih ada pengenaan PPN untuk beberapa bahan baku impor.
Harga jagung domestik pun naik maksimal di Oktober 2021. Petani jagung gembira dengan harga tinggi hingga Rp6.000-an/kg. Di sisi peternak layer, khususnya yang meramu pakan sendiri kelabakan karena harga segitu mahalnya. Sampai-sampai mereka minta bantuan Presiden Jokowi untuk mendapatkan jagung dengan harga wajar.
Dari produksi, Dean Novel, salah satu pelaku usaha jagung yang bermitra dengan banyak petani di NTB mengakui, saat itu banyak pertanaman jagung diserang hama relatif baru, ulat grayak jagung juga digasak tikus. Dan memang, tiga bulan terakhir setiap tahun, pasokan relatif rendah.
Parahnya, pandemi menggerogoti daya beli masyarakat sehingga harga ayam hidup dan telur di peternak sempat murah, Rp15 ribu/kg, di bawah harga acuan Kementerian Perdagangan, Rp19 ribu-Rp21 ribu/kg. Minggu pertama Januari 2022, harga ayam dan telur lebih baik. Bahkan, telur di tingkat konsumen sempat melambung mencapai Rp30 ribuan/kg.
Dari semua bahan baku pakan lokal, semestinya ada solusi yang lumayan mapan terhadap jagung. Selama ini ada yang tidak nyambung. Sentra produksi jagung jauh dari pabrik pakan. Pola penyerapan jagung oleh pabrik pakan merata sepanjang tahun sedangkan pola produksi berfluktuasi. Ada usulan minta Bulog memiliki cadangan jagung pemerintah seperti halnya beras. Cadangan dilepas saat harga melambung. Selain itu, harga referensi yang tak sama di setiap sentra. Biaya transportasi pun perlu perlakuan khusus agar lebih terjangkau sehingga harga pakan makin kompetitif.
Kalau mau cukup drastis menguatkan daya saing industri ayam, integrasi vertikal penuh sepertinya keniscayaan. Bahkan, integrasinya multisektor mulai dari pengembangan biji-bijian penghasil minyak, pabrik pakan, pembibitan, budidaya, pengolahan produk untuk menghadapi goyangan Samba ayam Brasil yang mengincar pasar kita.
Peni Sari Palupi