Selasa, 4 Januari 2022

Agenda Penting Menuju 2045

Agenda Penting Menuju 2045

Foto: Windi Listianingsih
Sebanyak 3,4 juta ha kebun sawit diklaim berada di kawasan hutan

Mau mencapai 60 juta ton CPO pada 2045? Barengkan pelaksanaan strategi peningkatan produksi parsial dan total.
 
 
Ketika Indonesia merayakan kemerdekaan ke-100 pada 2045, pemerintah, dalam hal ini Kementan, menargetkan produksi minyak sawit mentah (crude palm oil - CPO) sebesar 60 juta-70 juta ton. Sawit sudah terbukti berperan sangat penting dalam perekonomian negara, terlebih pada masa pandemi Covid-19. Tanpa ekspor sawit dan program biodiesel B30, neraca dagang kita defisit.
 
Tentu kita ingin produksi dan produktivitas tanaman penghasil “emas cair” tersebut berkelanjutan. Namun,masih banyak masalah terkait perkebunan sawit yang perlu segera dicarikan solusinya. Beberapa pilihan solusi mengemuka dalam webinar “Upaya Mempercepat Peningkatan Produksi & Produktivitas Sawit Berkelanjutan Menuju Indonesia Emas” yang digelar AGRINA dan Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) 22 Desember silam.
 
 
Strategi Parsial dan Total
 
Prof. Dr. Bungaran Saragih, M.Ec., Ketua Dewan Redaksi AGRINA dan pakar agribisnis dalam sambutan mengawali webinar itu menyoroti perkembangan perkebunan sawit yang luar biasa di Indonesia. Sejak sawit ditanam sebagai koleksi di Kebun Raya Bogor pada 1848hingga berkembang menjadi perkebunan yang sangat massif, kini luas lahan sawit mencapai 16,38 juta ha berdasarkan Kepmentan No. 833/2019.
 
Kebun yangtersebar di 25 provinsi 235 kabupatenitu, menurutdata Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI),menghasilkan 51,58 juta ton minyak sawit dan inti sawit (CPO dan PKO)pada 2020. “Indonesia menyandang predikat sebagai ‘Raja CPO Dunia’ sejak 2006 hingga saat ini. Pangsa Indonesia dalam pasar minyak sawit dunia mencapai 60% pada 2020,” tuturnya.
 
Di pasar minyak nabati dunia2020, minyak sawit masih mendominasi dan menjadi Top 4 bersama minyak kedelai, minyak rapeseed, dan minyak biji bunga matahari. Pangsa produksinya mencapai 43%. Sawit juga terbilang sebagai minyak paling banyak dikonsumsi dengan pangsa 47%.
 
“Tahun 2045 memiliki arti spesial bagi Indonesia. Tidak hanya merayakan ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia ke-100, namun juga diharapkan menjadi periode keemasan bagi industri kelapa sawit nasional,” tutur Bungaran.
 
Populasi dunia pada 2045 yang diperkirakan mencapai 9,5 miliar juta jiwa,membutuhkan minyak nabati utama termasuk minyak sawit hampir dua kali lipat, yakni 324 juta ton. Struktur konsumsi masih didominasi minyak sawit sebesar 141 juta ton (44%). Prospek minyak sawit juga diperkirakan semakin cemerlang menuju 2045.Karena itu Indonesia harus memanfaatkan peluang tersebut dengan menjaga keberlanjutan produksi sawitnya.
 
Dengan keterbatasan lahan dan masih berlakunya Inpres No. 8/2018 tentang Moratorium Perkebunan Sawit, maka peningkatan produksi dilakukan melalui intensifikasi. Strateginya, lanjut Bungaran, adalah peningkatan produktivitas parsial melalui perbaikan kultur teknis/manajerial pada kebun yang sudah ada dan peningkatan produktivitas total dengan perubahan varietas dan kultur teknis-manajerial (replanting).
 
Strategi produktivitas parsialditujukan pada kebun berisi Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) dan kebun Tanaman Menghasilkan (TM). Sedangkan,strategi produktivitas total ditujukan untuk kebun tua dan renta.Dua strategi itu harus dilaksanakan secara simultan agar mampu menaikkan produktivitas kebun dari rata-rata 3,6 ton mendekati potensi genetiknya, 6 ton minyak/ha.
 
 
Produktivitas Turun, Biaya Naik
 
Tungkot Sipayung, Direktur Eksekutif PASPI menyajikan data yang gamblang tentang betapa krusialnya peran sawit dalam perekonomian nasional. Nilai ekspor produk sawit periode Januari–Oktober 2021 sudah US$30,044 miliar melebihi prestasi 100 tahun sawit. Jumlah devisanyamenjadi US$33,8 miliar karena ada penghematan dari penggunaan biodiesel berbahan sawit B30 sebesar US$3,772 miliar.
 
“Tanpa sawit dan kebijakan B30, neraca perdagangan Indonesia itu minus US$2,95 miliar. Adanya ekspor sawit dan kebijakan B30, Indonesia menikmati surplus terbesar sepanjang sejarah, yaitu US$30,8 miliar. Jadi, yang membuat neraca perdagangan Indonesia itu surplus terus sampai hari ini adalah industri sawit. Bukan migas!” tandas Tungkot.
 
Menuju 2045, ada 10 isu utamayang perlu segera dicarikan solusinya. Antara lain, “Produktivitas TBS cenderung turun sekitar 1,9%/tahun, jauh di bawah pertumbuhan produktivitas alamiah yang berkisar 5%/tahun. Gap (kesenjangan) produktivitas antara potensi dan realisasi masih besar. Realisasi produktivitas varietas di kebun pembibitan dengan produktivitas di kebun juga masih beda jauh,” ulas Doktor bidang Ilmu Ekonomi Pertanian alumnus IPB University itu.
 
Tambahan lagi,ada permasalahan di kebun rakyat seluas6,7 juta hayangmenyumbang 37% ke produksi CPO nasional. “Sekitar 50% kebun rakyat diklaim berada di kawasan hutan dan 80% kebun rakyat masih bermasalah legalitasnya. Kapan ini mau diselesaikan? Yang bisa menyelesaikan ini adalah pemerintah,” seru Tungkot.
 
Percepatan peningkatan produksi dan produktivitas, menurut pandangan dia, sebaiknya dilakukan dengan kombinasi perbaikan cara budidaya yang baik (GAP) di kebun existing (yang sudah ada) dan peningkatan volume CPO yang bersertifikasi berkelanjutan (ISPO dan RSPO). Efisiensi biaya produksiterus diupayakan. Produktivitas dan efisiensi dijadikan leading indicator sustainability secara ekonomi, sosial, dan ekologis.
 
 
Kebun Rakyat Tunggu Pemerintah
 
Gulat ME Manurung, Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO)menekankan perlunya pemerintah mempercepat penyelesaian masalah perkebunan rakyat di kawasan hutan dan macetnya pelaksanaan Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Memang, ia mengakui, petani saat ini menikmati harga TBS sangat bagus, di kisaran Rp3.000-Rp3.500/kg. Namun pada saat yang sama mereka jugamenghadapi lonjakan harga saprodi, seperti pupuk dan herbisidasehingga biaya produksi membengkak.
 
“Tapi kami masih beruntung dibandingkan petani lain. Pendapatan petani rata-rata Rp2,5 juta/ha/bulan. Sebelumnya ketika harga TBS Rp1.500-Rp1.700/kg, pendapatan kami Rp1,1 juta/ha/bulan,” ungkapnya.
Tantangan bagi petani cukup banyak. “Dari 10 masalah, yang paling utama saat ini adalah regulasi pemerintah dan kawasan hutan. Dari 3.379.453 ha kebun sawit yang diklaim di kawasan hutan, 3.126.421 ha di antaranya ada di hutan produksi. Hanya sedikit di hutan lindung dan konservasi. Yang punya petani paling banyak, 78%atau2,6 juta ha. Kenapa? Kami memang nggak ngerti mana yang kawasan. Padahal ada juga yang lama di APL(Areal Penggunaan Lain), bahkan kuburan nenek moyang kami di sana. Pas kami mau ikut PSR, eh nggak bisa karena di kawasan hutan!” tukas Gulat.
 
Selain tidak bisa ikut PSR, persoalan tersebut juga menghambat petani mengikuti sertifikasi keberlanjutan (ISPO) yang diwajibkanpada2025. Untuk mengikuti sertifikasi ISPO, petani butuh dokumen legal berupa surat kepemilikan lahan, Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan untuk Budidaya (STD-B), Surat Pengelolaan Lingkungan (SPPL), dan bukti terbentuknya kelompok. Tenggat 2025 sudah dekat tapi sampai Maret 2020, baru 0,21% dari 5,8 juta ha kebun rakyat yang sudah mengantongi sertifikat ISPO.
 
Karena itu, Gulat mengusulkan solusi, yaitu “Clear-kan sawit existing di kawasan hutan, tolak jangka benah karena ini cara halus untuk menyingkirkansawit kami, percepat penerbitan STD-B, tanggung biaya penerbitan STD-B, bantu kami untuk bisa ikut ISPO.”
 
Sawit di kawasan hutan dan macetnya PSR juga menjadi catatan Agam Fatchurrohman, Wakil Sekjen GAPKI. “Sesuai Permen LHK No. 359 dan 531, terdapat sekitar 800 ribu ha kebun sawit milik perusahaan teridentifikasi masuk kawasan hutan. Sawit kawasan hutan ini sudah lama sekali perjuangannya sejak judicial review di Mahkamah Konstitusi yang menghasilkan putusan No.45/2011. Dikatakan masuk kawasan hutan melalui empat tahap. Jadi, indikasi 3,4 juta ha di kawasan hutan itu baru penunjukan, masih sepihak, belum penetapan,” terangnya.
 
Penyelesaian masalah itu sudah ada dalam UU Cipta Kerja Pasal 110 A dan Pasal 110B, PP24/2021, dan Permen LHK 7/2021. Namun, kata Agam, untuk kebun rakyat yang bisa diputihkan hanya seluas maksimal 5 ha dan domisili pekebun di lokasi tersebut minimal 5 tahun. Sementara kebun milik perusahaan yang sudah beralas hak, tetap masih harus mengurus pelepasan dari kawasan hutan dan membayar denda.
 
Deputi Head of Corporate Sustainability & CSR PT Bumitama Gunajaya Agro tersebut sempat menceritakan pengalaman perusahaan tentang sulitnya mengikutkan petani PIR-Trans di sekitar perusahaan mengikuti PSR.
 
“Dari 17.900 ha yang berhasil kami ajak untuk mitra replanting baru 950 ha. Yang 815 ha kami ajukan ke BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit). Tapi karena terlalu sulit persyaratannya sehingga kami bersama koperasi melakukan replanting secara mandiri.  Kami dapat pendanaan bank yang murah dengan bunga kurang dari 10%. Tahun lalu kami ajak lagi koperasi lain 125 ha yang berhasil dapat dana BPDPKS. Total sudah empat tahun mengajak tapi persyaratannya memang luar biasa, bukan petani nggak mau,” ulas alumnus Nottingham University, Inggris, itu.
 
Di samping masalah kawasan dan legalitas, menurut Agam, ada juga tantangan dari para pengepul TBS setempat yang tidak mau kehilangan pasokan. Mereka membujuk petani untuk jangan ikut peremajaan. Pihak perusahaan juga membuat demplot alternatif pendapatan selama kebun belum berproduksi agar petani tertarik berpartisipasi dalam PSR.
 
Sementara Mula Putera, Koordinator Kelapa Sawit, Direktorat Tanaman Tahunan dan Penyegar, Ditjen Perkebunan, Kementan menjabarkan kemajuan pelaksanaan PSR. Realisasi PSR sampai 22 Desember 2021 seluas 249 ribu ha dengan pembiayaan dari BPDPKS sebanyak Rp6,4 triliun. PSR ini membidik target produktivitas TBS 30-40 ton/ha/tahun, bebas ganoderma, kelembagaan petani menguat melalui korporasi, dan kepemilikan saham pabrik kelapa sawit (PKS).
 
Terkait berlarutnya persoalan legalitas dan sawit di kawasan hutan, Mula mengungkap, “Di bawah koordinasi Kemenko Perekonomian, kita telah diminta membentuk satu Task Force (gugus tugas) terintegrasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mencari penyelesaian ini, tentu dengan mengedepankan prinsip pembangunan berkelanjutan tapi juga tidak mengurangi hal yang menyangkut konservasi.”
 
 
 
 
Peni Sari Palupi

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain