Foto: DOK. STP
Ardi Budiono (kiri) menandatangai kerja sama dengan Kindai University untuk membangun SDM perikanan Indonesia
Stakeholder indusrti udang perlu duduk bersama melakukan pemetaan, berkomitmen, dan sevisi.
Sebagai pemeran utama industri udang, kalangan swasta optimis target pemerintah meningkatkan nilai ekspor udang 250% pada 2024 bisa tercapai. Namun, banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan agar program itu bukan cuma mimpi di siang bolong. Ardi Budiono, Presiden Direktur PT Suri Tani Pemuka (STP), produsen akuakultur terintegrasi memberi catatan penting dalam upaya mencapai program yang digadang Kementerian Kelautan dan Perikanan itu. Berikut perbincangannya bersama AGRINA.
Menurut pandangan Bapak, apa yang harus dipenuhi untuk mencapai target kenaikan nilai ekspor udang 250% pada 2024?
Target 250% itu masuk akal, achieveable (bisa dicapai). Untuk mencapai kenaikan itu sangat memungkinkan tapi kita masih banyak PR. Nggak bisa cuma sekarang cetak tambak dan produksi lebih banyak 250%, ‘kan nggak bisa begitu.
Dalam proses, total output produksi itu bagian akhirnya. Kita perlu broodstock (indukan). Sejak pandemi ini kedatangan broodstock dari Hawai banyak kendala. Ada beberapa airport yang lockdown (karantina wilayah) sehingga ketersediaan broodstock di Indonesia itu harus dijamin dan dijaga.
Kedua, keberadaan hatchery (pembenihan). Nggak bisa sembarang hatchery, asal ada, nggak ditata. Akhirnya lingkungan akan rusak, benur yang dihasilkan nggak berkualitas. Sehingga, bagaimana mau udang Indonesia bersaing kalau benurnya sendiri nggak berkualitas, traceable (dapat ditelusur). Karena, diminta ada traceability di beberapa negara, ada GAP-nya. Hatchery GAP (Good Aquaculture Practice), pakan GAP. Kalau kita mau bersaing, ya harus bersaing secara strategi maupun kualitas. Kualitas harus dijaga sehingga beberapa negara kita bisa masuk (ekspor).
Kemudian, kebijakan pembukaan izin tambak juga ada campur tangan pemerintah daerah (pemda). Apakah sudah selaras, pemda juga memiliki visi menaikkan 250%? Nanti ada daerah yang sesuai tapi nggak diizinkan karena peruntukannya tidak untuk budidaya tapi untuk pariwisata. Jadi, dalam meningkatkan 250% harus dibuat Road Map (peta jalan)-nya.
Misal, ada tempat bagus di Sulawesi Tengah untuk budidaya tapi infrastruktur nggak ada, listrik nggak tersedia, cold storage (gudang berpendingin) jauh ada di Jawa. Nah, gimana itu logistiknya. Stakeholder duduk bersama buat memetakan budidaya ini mau dilakukan di mana, infrastrukturnya tersedia nggak.
Jangankan 250%, itu bisa lebih malah kalau semua tertata baik dan terlindungi oleh undang-undang. Jangan sampai kita bikin tambak di suatu wilayah tapi 2 tahun sudah digusur, nggak bisa diperpanjang. Jadi, harus seirama semua stakeholder, sevisi.
Dari sisi STP, (penyediaan) broodstock, benur, maupun pakan siap banget. Kebutuhan benur, kita tinggal bangun hatcery, induk sudah ada. Pabrik pakan tinggal tambah mesin. Jadi, untuk mencapai target di tahun 2024 sangat memungkinkan tapi harus dibicarakan sekarang. Kalau bangun pabrik, bangun hathcery untuk 2024 ‘kan butuh waktu. Belum lagi cetak man power (tenaga SDM)-nya. Harus dibicarakan sesegera mungkin.
Semua harus in-line (dalam barisan). Nggak ada mana yang lebih penting. Kalau upstream sudah tersedia, tinggal midstream-nya. Budidaya udangnya di mana? Jangan sampai pabrik bikin gede di Jawa, ternyata mau pembesaran di Sumatera atau Sulawesi tambaknya. Itu ‘kan nggak seirama. Yang paling penting, semua harus duduk buat komitmen, mapping. Kalau kami, pelaku usaha ‘kan komitmen siap.
Naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 329 terbit November 2021 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.