Foto: PRESENTASI SEKJEN KLHK
Pola umum penyelesaian kebun sawit di kawasan hutan
Persoalan kebun sawit berada di kawasan hutan telah lama jadi ganjalan. Kini ada solusi yang menjanjikan. Apa saja opsinya?
Peran industri sawit semakin penting dalam perekonomian Indonesia. Nilai devisa yang dihasilkannya kian membesar. Pada 2014 devisa dari sawit mencapai US$19,56 miliar setara Rp250 triliun lebih. Pun semasa pandemi Covid-19 2020, kucuran dolar dari sawit semakin deras, US$22,972 miliar atau Rp300 triliun. Dan tahun ini, menurut prediksi Joko Supriyono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), bakal melejit hingga US$29 miliar setara Rp400 triliun.
Terganjal Legalitas
Di balik perannya menopang ekonomi negara, masih banyak tantangan yang menghadang komoditas andalan ini. Isu kerusakan lingkungan acapkali mengiringi ekspansi perkebunan sawit, baik milik korporasi maupun masyarakat. Selain itu, sebagian kebun ternyata berada ke kawasan hutan yang notabene terlarang bagi pembangunan kebun sawit kalau tidak dilepas Menteri LHK terlebih dahulu.
Nyelonongnya kebun sawit ke daerah terlarang itu, menurut Bambang Hendroyono, Sekjen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), bisa terjadi lantaran tiga hal. Pertama, di lingkup korporasi, pembangunan kebun tidak didahului dengan SK pelepasan kawasan hutan oleh Menteri LHK. Kedua, tumpang tindih hak atas tanah/HGU yang menyebabkan penerbitan izin perkebunan di dalam kawasan hutan. Tiga, penguasaan lahan oleh masyarakat.
“Kenapa bisa berada di kawasan hutan? Salah satunya karena ketidaksesuaian tata ruang dengan kawasan hutan sebelum berlakunya UU 26/2007 tentang Tata Ruang, yaitu antara Perda RTRWP dari UU No.26/2007 dan SK Menteri Kawasan Hutan Provinsi dari UU 41/1999. Saat ini SK Menteri tentang Kawasan Hutan Provinsi sudah terintegrasi dengan Perda RTRWP,” ujar Bambang dalam webinar “Menyelesaikan Sawit di Kawasan Hutan” (28/8).
Ketelanjuran masuk kawasan hutan akibat perubahan peraturan itu misalnya dialami beberapa anggota GAPKI di Kalteng. Persentase luas Area Penggunaan Lain (APL) di Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi yang halal bagi pengembangan sawit menciut. Walhasil, perkebunan yang tadinya masuk APL jadi terkesan merambah kawasan hutan, statusnya pun berubah dari legal menjadi ilegal. Ilegalitas status lahan ini mengganjal perusahaan dalam proses sertifikasi sawit berkelanjutan, baik Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) maupun Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
Titik Terang dengan UUCK
Diah Y. Suradiredja, Penasihat Senior SPOS Indonesia Yayasan KEHATI, mengatakan, berdasarkan rekonsiliasi data Kementerian LHK, Kementerian Pertanian, dan Kementerian ATR/Badan Pertanahan Nasional 2019, jumlah total tutupan kebun sawit Indonesia seluas 16,4 juta ha. “Sebanyak 3,4 juta ha berada di kawasan hutan yang terbagi Hutan Konservasi (HK) 97.913 ha, Hutan Lindung (HL) 155.847 ha, Hutan Produksi (HP) 1.502.255 ha, HP Terbatas 501.576 ha, dan HP yang Dapat Dikonversi (HPK) 1.151.048 ha,” paparnya dalam webinar yang digelar Tropenbos Indonesia itu.
Setelah sekian lama persoalan sawit di kawasan hutan terkesan dibiarkan pemerintah, Diah melihat titik terang penyelesaiannya berdasarkan Undang-undang Cipta Kerja (UUCK) No.11/2020. Rinciannya ada di peraturan pemerintah (PP) turunannya, yaitu PP 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan dan PP 24/2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Denda Administratif di Bidang Kehutanan.
Naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 329 terbit November 2021 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.