Foto: Syafnijal
Puluhan karyawan tambak menggelar unjuk rasa menolak penutupan paksa
Lampung (AGRINA-ONLINE.COM). Petambak udang di Kabupaten Pesisir Barat (Pesibar), Provinsi Lampung menolak pengegelan tambak yang dilakukan Pemkab setempat, Selasa (19/10). Hal ini karena mereka sudah berizin sebelum Perda Perubahan RTRW terbit. Bahkan puluhan karyawan tambak yang sebagian besar kaum wanita menggelar unjuk rasa menolak penutupan paksa tempat mereka bekerja.
Sekitar 50—an anggota Satpol Pamongpraja Kabupaten Pesibar beserta instansi terkait melakukan penyegelan terhadap tambak udang PT Sumatra Seafood Indonesia yang berada di Pekon (desa-red) Tanjungjati, Kec. Lemong yang memiliki 14 kolam dengan 25 karyawan. Selanjutnya penyegelan kedua terhadap tambak udang PT Andi Riza Farm di Pekon Way Batang milik Andi Reza yang mempunyai 18 kolam dengan 60 karyawan. Kemudian, terhadap tambak PT Arci Ferdian milik Hermantono di Pekon Pardahaga yang mempunyai 9 kolam dengan 25 pekerja.
Keseluruhannya terdapat, tujuh tambak udang vanname yang disegel Pemkab, karena dinilai melanggar Perda Nomor 8 Tahun 2017 tentang RTRW 2017-2037. Ketujuh farm tersebut sudah disegel Pemkab Pesibar, akhir November tahun lalu, yakni PT Sumatera Seafood Indonesia; Lemong Farm di Pekon Way Batang; Andi Riza Farm; Archie Ferdiani; Johan Farm di Pekon Wayjambu; L. Hendra Raharja di Pekon Marang dan Andi Handoyo Farm di Pekon Biha.
Dalam Perda ini, dari 6 kecamatan di kabupaten tersebut, 4 di antaranya alih fungsi menjadi zona pengembangan wisata yakni: Lemong, Pesisir Utara, Ngambur dan Pesisir Selatan. Hanya 2 kecamatan yang disisakan untuk budidaya air payau yakni Bengkunat dan Ngaras. Itu pun Bengkunat kurang cocok untuk dikembangkan menjadi tambak udang karena topografinya berbukit-bukit dan banyak muara sungai sehingga air lautnya kotor.
Penyegelan ditandai dengan penyerahan surat dan penandatanganan berita acara penyegelan oleh pemilik/pengelola tambak, pemasangan plank berisikan dasar penyegelan dan konsekwensi dari penyegelan serta pemasangan segel di pintu masuk tambak.
Di tambak udang PT Andi Riza Farm, rombongan Satpol PP yang dipimpin PLT Kepala Satpol PP Kab Pesibar Cahyadi Muis dihadang puluhan karyawan warga setempat yang sebagian kaum wanita sambil membentangkan aneka poster penolakan. Di antara, poster tersebut bertuliskan: “Jangan Tutup Periuk Nasi Kami, Sejak Ada Tambak Anak Kami Bisa Sekolah, Tambak Tutup Rakyat Lapar, Kami Minta Makan Bapak Bupati, Bapak Satpol PP Kasihanlah Kami, dan lain-lain.
Kepada pers Nenek Astina (63) tahun—pekerja paling tua yang berdemo-- mengaku sudah enam tahun bekerja di tambak tersebut dengan gaji Rp1,8 juta/bulan. Pekerjaannya membersihkan klekap di permukaan tambak bersama 47 wanita lainnya. “Dengan gaji dari tambak ini saya memenuhi biaya hidup dan membantu anak menyekolahkan cucu. Suami sudah tidak ada. Jika tambak ditutup apa Bupati mau memberi makan kami,” keluh sang nenek dengan wajah bermandikan keringat di tengah terik matahari dan mata berkaca-kaca.
Dedeh (45 tahun), pekerja lainnya juga mengungkapkan keluhan serupa. Dengan bekerja di tambak, ia bisa menyekolahkan anak, karena jika hanya mengharapkan suaminya sebagai nelayan pendapatannya tidak menentu. “Kadang-kadang dapat ikan, jika gelombang tinggi tidak bisa melaut,” ungkapnya lirih sambil meneriakan, “Jangan Tutup Tambak...Jangan Tutup Tambak!” Sebelum adanya tambak udang, sebagian besar kaum wanita di daerah ini bekerja mencari rumput laut yang dihempaskan ombak ke pinggir pantai, selanjutnya dikeringkan baru dijual.
Ketiga pemilik/pengelola tambak menolak penyegelan yang dilakukan Satpol PP dengan alasan tambak mereka sudang mengantongi izin sejak tahun 2014, dua tahun sebelum Perda Perubahan Tata Ruang terbit. Andi pemilik PT Andi Riza Farm dan M Imdadarahman, pengelola tambak udang PT Sumatra Seafood Indonesia mengaku, ketika tahun 2019 mereka mengajukan perpanjangan izin tidak dikeluatkan Pemkab.
“Jadi jika tambak mau ditutup karena izin tidak diperpanjang kami tidak keberatan, tetapi tolong ganti rugi sebagaimana tertuang dalam pasal 53 Perda RTRW yang baru atas investasi yang telah kami lakukan,” Andi menawarkan.
Namun PLT Kepala Satpol PP Kab Pesibar Cahyadi Muis berkilah, ganti rugi belum bisa dilakukan karena Perpres yang mengaturnya belum ada. Oleh sebab itu, baik Andi maupun Baim—panggilan M Imdadarahman akan tetap melanjutkan budidaya, sebab tidak ada solusi kongkret yang bisa diberikan Pemkab atas kerugian yang mereka derita jika menyetop budidaya.
Demikian pula Sheni, pengelola PT Arci Ferdian Farm, menolak tambaknya disegel dengan alasan ia dan 6 petambak lainnya diadukan Pemkab ke Mabes Polri dengan tuduhan tambak ilegal. “Kita tunggu dulu keputusan pengadilan, apakah kami bersalah atau tidak,” tegasnya dengan suara keras.
Lalu ia sendiri juga mengadukan Satpol PP ke Polda Lampung yang pada penyegelan pertama tahun lalu merusak pipa saluran air masuk di tambaknya. Bahkan kini kasusnya P-19 guna melengkapi berkas perkara. “Lalu penyegelan ini bertentangan dengan program Bapak Presiden Jokowi yang menargetkan peningkatan produksi dan ekspor udang 250% hingga tahun 2024. Berarti jika tambak ini disegel maka Bupati Pesibar tidak mendukung program pemerintah pusat,” tambahnya.
Ia juga sudah menyurati Menko Marinves Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono guna minta perlindungan hukum agar tetap bisa melanjutkan budidaya sebagai bentuk dukungan mensukseskan program Presiden dalam sektor perikanan.
Mediasi Ombudsman
Sementara Ketua Ikatan Petambak Pesisir Barat Sumatera (IPPBS)—yang menaungi 7 petambak yang terkena dampak perubahan RTRW-- Agusri Syarief yang ditemui di lokasi mengaku, petambak tidak pernah diajak berembuk oleh Pemkab terkait penutupan tambak dan ganti rugi sebagai dampak dari implementasi Perda RTRW. Bahkan ketika pihaknya menawarkan diri melakukan negosiasi ganti rugi kepada Sekda setempat, malah ditolak mentah-mentah.
“Ini kan namanya arogansi kekuasaan. Sementara dana yang kawan-kawan keluarkan untuk berinvestasi di sini mungkin hampir lebih satu triliun. Masak baru 2-3 tahun sudah mau ditutup dengan alasan RTRW-nya berubah, bagamana dengan kerugian kami,” jelas Agusri.
Lalu, ungkapnya, sengketa penutupan 7 tambak tersebut juga sedang dalam proses mediasi yang dilakukan Ombudsman RI dan hingga kini belum ada keputusan dan titik temu. “Rekomendasi terakhir dari Ombudsman adalah tidak ada tindakan apapun dari Pemkab sebelum ada keputusan dari Ombudsman RI,” lanjutnya.
Tetapi jika rekomendasi Ombudsman tidak diindahkan Pemkab, ia mengajak angotanya yang terkena dampak dari perubahan RTRW tersebut mengajukan judicial review ke MA atas Perda RTRW Kab Pesibar tersebut. Sebab jika Pemkab-pemkab lainnya bisa seenaknya mengubah RTRW dan menutup usaha yang bertentangan dengan RTRW meski usaha baru berjalan 2-3 tahun, tidak ada pengusaha yang mau berinvestasi di Indonesia karena tidak ada jaminan hukum dalam berinvestasi.
Ditambahkannya, sebetulnya perubahan Perda RTRW juga dilakukan Pemkab Lampung Selatan dan Pesawaran, Provinsi Lampung jauh sebelum Kab Pesibar melakukannya. Tetapi di kedua kabupaten tersebut, tambak yang sudah mengantongi izin dan eksisting sebelum perubahan RTRW terbit tetap diberi kesempatan melanjutkan usaha tetapi tidak boleh memperluas kolam dan Pemkab tidak menerbitkan izin baru.
Sebaliknya PLT Kepala Satpol PP Kab Pesibar Cahyadi Muis mengaku, petambak sudah diberi tenggang waktu 2 tahun untuk melakukan alih fungsi tambak sesuai RTRW yang baru, atau menutup usahanya, tetapi tidak dilakukam. “Jadi jika mereka keberatan dengan tindakan yang kami lakukan silakan ajukan gugatan ke PTUN,” katanya.
Sebab, lanjutnya, sebagai pejabat tata usaha negara, pihaknya menjalankan Perda yang sudah diuji kebenarannya di tingkat provinsi dan di Kemendagri dan tidak ada penolakan oleh instansi yang berada di atasnya.
Syafnijal Datuk Sinaro