Foto: Dok. Pinterest
Kemitraan solusi konkret percepatan PSR
Pelaksanaan PSR menghadapi banyak kendala. Kemitraan menjadi solusi konkret untuk percepatannya.
Kemitraan berperan penting dalam revolusi sawit Indonesia. Menurut Bungaran Saragih, Pengamat Agribisnis, kemitraan mendorong perluasan kebun sawit rakyat dari nol di 1980, awal mula dibangun kemitraan Perkebunan Inti Rakyat (PIR), menjadi 6,7 juta pada 2020 dengan total lahan sawit mencapai 16 juta ha.
“Tanpa kemitraan, kita belum tentu revolusi sawit rakyat ini. Tanpa kemitraan, Indonesia belum tentu punya industri sawit terbesar di dunia,” tegasnya. Lantas, bagaimana kemitraan mendukung Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang menyasar 540 ha lahan sawit itu?
Kemitraan
Mula Putera, Subkoordinator Pengembangan Kawasan Tanaman Kelapa Sawit, Ditjen Perkebunan (Ditjenbun) Kementerian Pertanian mengatakan, 2,8 juta ha lahan sawit rakyat perlu diremajakan. Lokasinya dominan di Sumatera dan Kalimantan.
Realisasi PSR hingga Agustus 2021 masih kecil bahkan tahun lalu belum sesuai target. Namun, ulas Mula, “Hasil tersebut patut diapresiasi, khususnya peremajaan karena ada tren kenaikan. Tentunya memberi manfaat kepada pekebun, memberikan pendanaan untuk melakukan penggantian tanaman yang lebih baik untuk meningkatkan produksi.”
Ia menyebut, kemitraan pekebun dan perusahaan menjadi keniscayaan. Kedua belah pihak harus berjalan dan bersinergi. Perusahaan perlu mengambil peran dalam PSR. Peran asosiasi petani sawit juga penting mendorong anggotanya hingga membantu melakukan perbaikan dokumen.
“Kita ingin pekebun swadaya dengan peremajaan sawit bisa meningkatkan produktivitasnya 30–40 ton tandan buah segar (TBS)/ha. Kelembagaan dengan korporasi pekebun, kemitraan korporasi pekebun bisa menjadi solusi untuk memperkuat petani dalam kemitraan. PSR merupakan pintu masuk dalam melakukan kemitraan dan perbaikan produktivitas,” ucapnya pada webinar Efektivitas Kemitraan Mendukung PSR, Rabu (25/8).
Setiyono, Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perkebunan Inti Rakyat (Aspekpir)sepakat, kemitraan merupakan kunci, saling ketergantungan, menguntungkan, dan membutuhkan. Karena, budidaya sawit tanpa kemitraan banyak kendala dan yang jadi korban pada akhirnya adalah petani. “Maka, kemitraan harus kita jalankan dan kita pupuk dengan sempurna. Perlu adanya kesetiaan dan komitmen,” tegasnya.
Setiap komponen kemitraan memiliki peran masing-masing. Dalam mendukung PSR, lanjutnya, Aspekpir menyambungkan informasi dari pemerintah ke anggota dan bekerja sama dengan instansi terkait mengadakan pelatihan peremajaan sawit. “Program Aspekpir meningkatkan kemitraan yang sedang berjalan dan mengikat kembali kemitraan yang sudah terputus. Bekerja sama dengan BPDKS melakukan road show pertemuan teknis percepatan PSR ke DPD di daerah,” ulasnya.
Gulat MEManurung, Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO)mengungkap, petani plasma yang bermitra hanya 4%, selebihnya swadaya. “Masalah PSR ada di kemitraan. Kemitraan solusi konkret untuk percepatan PSR. Tidak bisa sendiri, harus bersama,” katanya. Karena itu, APKASINDOpun bergandeng tangan untuk bermitra.
Dari sisi pengusaha, Herdrajat Natawidjaja, pengurus Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mengatakan, dukungan pengusaha dalam PSR lewat pembentukan satgas PSR GAPKI yang melibatkan semua cabang, menjadi anggota Pokja Penguatan Data dan Peningkatan Kapasitas Pekebun, aktif koordinasi kebijakan percepatan PSR, pembaharuan percepatan PSR dalam rapat pusat dan cabang GAPKI.
GAPKI juga mengikat perjanjian kemitraan dengan plasma disaksikan penyelenggara negara, seperti Kemenko Perekonomian, BPDKPS, Ditjenbun, dan APKASINDO; memberi masukan kepada pemerintah terkait kebijakan pengajuan dan pembiayaan PSR; serta bekerja sama dengan asosiasi petani dalam percepatan PSR.
GAPKI cabang melakukan penilaian potensi lahan PSR di sekitar kebun atau pabrik, melakukan FGD dan sosialisasi percepatan PSR bersama pemangku kepentingan di provinsi, memberikan data laporan progres PSR di tiap provinsi. “Contoh realisasi peran pusat dan cabang dalam percepatan PSR ada 18 koperasi melakukan MoU percepatan program PSR di 5 kabupaten, 4 provinsi yang melibatkan 8 perusahaan, sekitar 18.214 ha,” ucapnya.
Tantangan dan Evaluasi
Menurut Gulat, tantangan PSR dari sisi petani ialah lahan calon PSR terkendala dalam kawasan hutan meski berumur 25 tahun lebih. “84% PSR gagal di level paling rendah, kabupaten dan kota dengan alasan sawit dalam kawasan hutan,” serunya. Minimnya informasi bahwa dana PSR itu pinjaman dan konfirmasi administrasi akun yang cukup lama, khususnya dari Dinas Perkebunan Kabupaten/Kota.
Bank hanya mau sebagai penyalur dana sedang petani enggan berutang, pengembalian berkas verifikasi Dinas Kabupaten cukup lama, harga TBS yang bagus, peserta PSR cenderung ditakut-takuti aparat hingga mengurungkan niat mendaftar PSR, minim pendampingan, tidak melibatkan organisasi petani sebagai strategi percepatan PSR, dan lahan petani yang tidak satu hamparan.
Ia menyarankan dibentuk tim percepatan PSR setiap daerah di bawah BPDPKS yang terdiri dari dinas, asosiasi petani, perusahaan, dan bank; pemberian izin calon lahan PSR yang terindikasi masuk hutan produksi konversi dengan asas keberlanjutan; konfirmasi administrator akun oleh tim percepatan; pemberian masa tenggang waktu verifikasi setiap tahapan dinas.
Tidak kalah penting, edukasi penegak hukum tentang sumber dana PSR dan meletakkan perwakilannya di Dewan Pengawas BPDPKS. “Sosialisasi perlu ditingkatkan. Melibatkan asosiasi petani sawit tidak ada ruginya. Tolong di SK-kan untuk percepatan PSR,” pintanya.
Sunari, Direktur Penghimpunan Dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menyebut, sampai Agustus 2021 BPDPKS baru menyalurkan Rp6,232 triliun yang menjangkau 230.472 ha lahan dan 100.439 petani. “Ini memang masih jauh panggang dari api. Memang tidak semudah yang kita banyangkan karena melibatkan ribuan pekebun dan berbagai macam tata kelola yang perlu diperbaiki. Untuk mencapai target tersebut, perlu dilakukan upaya besar,” terangnya.
Evaluasi penyaluran dana BPDPKS, ungkap Sunari, kurangnya sumber daya dalam pembuatan profil kelembagaan petani, pendataan pekebun, pemetaan dan pendataan kebun, pemetaan unit, pengolahan hasil, serta target pasar pada tahap persiapan peremajaan. “Data petani, data spasial kebun by name by address tidak sengketa, tidak dalam kawasan. Ini salah satu yang harus disiapkan dengan baik untuk melaksanakan tata kelola yang baik dalam mempercepat PSR,” ujarnya.
Kedua, kurang verifikasi usulan PSR sehingga terjadi permasalah seperti lahan masuk kawasan hutan, beririsan dengan HGU, dan kemungkinan dobel pendanaan lahan yang sama. “Karena 4 ha itu satu KK by name by address. Satu orang petani dengan NIK yang sama didaftarkan di dua KK berbeda ini juga terjadi,” bukanya.
Lalu, duplikasi verifikasi dokumen di daerah sehingga proses lebih panjang; keengganan calon pekebun mengikuti program karena panggilan hukum dari aparat, seperti kejaksaan dan kepolisian; absensi keterlibatan kepala daerah mengurangi tingkat koordinasi antarsatuan kerja pendukung PSR di daerah; dan potensi lahan di atas 4 ha per KK tidak masuk target diremajakan. Terakhir, kurang optimalnya monitoring dan evaluasi antara progres fisik dan realisasi keuangan.
Windi Listianingsih, Sabrina Yuniawati