Para pelaku industri unggas nasional, terutama ayam ras pedaging dan ayam ras petelur, acapkali menghadapi pasang-surut yang cukup ekstrem, termasuk selama pandemi Covid-19. Memang sektor pertanian tumbuh positif tetapi harga ayam hidup dan telur melemah akibat pembatasan kegiatan masyarakat. Berkurangnya daya beli masyarakat ikut menurunkan permintaan sehingga harga meluncur di bawah harga acuan pemerintah.
Di sisi lain, biaya pakan membengkak lantaran banyak bahan bakunya yang diimpor sehingga harganya mengacu pasar internasional. Bahan baku pakan asal lokal pun seperti jagung, harganya tidak ramah di kantong pabrikan pakan dan peternak petelur skala kecil. Padahal porsi jagung dalam pakan unggas, menurut Gabungan Perusahaan Makanan Ternak, mencapai 40%-45%.
Kisruh jagung sering terjadi tapi baru kali ini menyeruak sampai ke RI-1. Pemicunya Suroto, peternak dari Blitar, Jatim membentangkan poster minta bantuan Presiden Jokowi untuk bisa membeli jagung dengan harga wajar.
Masalah jagung tidak mudah diselesaikankarenamenyangkut kesejahteraan petani jagung, peternak unggas, daya saing industri unggas, hingga pemenuhan gizi protein hewani bagi masyarakat. Belum lagi biaya logistik tinggi dan kurangnya fasilitas pascapanen, terutama padaOktober - Februari.
Jagung hanyalah salah satu dari sejumlah masalah di industri perunggasan kitayang menuntut kerja sama lintas kementerian/lembaga pemerintah dan semua pelaku usaha terkait. Semua harus bersepakat dan berkomitmen demi kemajuan industri yang produknya penting untuk membangun kualitas generasi mendatang.
Barangkali kita perlu belajar dari The National Chicken Council (NCC) yang berbasis di Washington, AS. NCC berdiri pada 1954 dengan nama National Broiler Council. Industri broiler di AS berkembang sejak 1920 sementara di Indonesia baru pada 1971-1972.
Mirip kejadian di Indonesia beberapa tahun terakhir, perkembangan awal industri broiler AS yang pesat juga tidak diimbangi pengembangan pasar. Akhirnya,oversuplai dan harga tinggal 22 sen dolar/pon atau setara Rp7.000/kg.
Setelah pembentukannya, NCC melakukan promosi konsumsi yang masif tanpa merek berskala nasional melalui berbagai program,termasuk kampanye di televisi. Ada gelaran Bulan Ayam Nasional.Ada pula kompetisi kuliner ayam dengan hadiah menggiurkan. Singkat kata, promosi besar-besaran itu sukses. Dan kini aktivitas promosi tetap berlanjut dengan merek-merek anggota.
Anggota NCC terdiri dari para produsen, termasuk peternak mitra, industri pakan, pembibit, dan industri pengolahan. Semua segmen ini mengantongi hak suara. Selain mereka, ada anggota rekanan, yaitu semua pemasok barang/jasa ke para produsen dan anggota distributor. Iuran anggota terbagi dua: iuran tetap dan iuran tambahan yang besarnya tergantung volume produksi masing-masing.
Sekitar 30 perusahaan terintegrasi vertikal yang diinspeksi pemerintah beroperasi di industri unggas AS. Sebanyak 25 ribu peternak menjalin kemitraan (contract growers) dengan perusahaan tersebut memproduksi 95% total volume broiler nasional. Peternak mitra ini juga memproduksi pullet dan telur tetas di bawah kontrak. Yang 5% diproduksi farm perusahaan dan peternak mandiri. Produksi broiler 2020 mencapai 9,25 miliar ekor setara 27 juta ton daging siap masak.
Agar bisnis selaras dengan kebijakan pemerintah, NCC membentuk Komisi Penghubung. Komisi ini juga bertugas melobi DPR terkait bujet pemerintah. Dalam kondisi khusus, misalnya harga anjlok akibat krisis ekonomi2011, pemerintah membeli produk unggas dari industri senilai US$40 juta lalu disalurkan ke program bantuan pangan masyarakat.
Terkait pandemi, NCC berhasil melobi DPR agar pemerintah mengucurkan bantuan untuk para peternak dan perusahaan yang terdampak. Besarannya disesuaikan dengan perhitungan dampak masing-masing.
Yang jelas, NCC mewakili satu suara industri unggas Amerika. Kita mungkin perlu membentuk Dewan Ayam Nasional. Pastinya, bukan sekadar Dewan, tapi yang dikelola secara profesional dan mampu menyatukan aspirasi semua elemen pelaku unggas secara kompak demi Indonesia.
Peni Sari Palupi