Kamis, 2 September 2021

UNGGAS : Disrupsi Teknologi Mendukung Transformasi

UNGGAS : Disrupsi Teknologi Mendukung Transformasi

Foto: Try Surya Anditya
Kandang dengan pemberian pakan secara otomatis, asupan pakan terukur

Industri perunggasan dituntut untuk selalu kompetitif di samping harganya yang kerap berfluktuatif.
 
Industri perunggasan di Tanah Air dituntut untuk bertransformasi. Demi menjaga persaingan usaha, kemajuan teknologi begitu diperlukan sejak awal berbudidaya hingga berproduksi. Abbi AP Darmaputra, Head of Central Marketing Tri Group, peternakan mandiri asal Bogor berujar, harga ayam superfluktuatif. Dengan begitu, pola lama dalam beternak akan sulit diandalkan.
 
“Peternak mandiri perlu bertransformasi. Latar belakangnya karena ada dorongan inovasi atau bahkan lahan yang ada sudah terlalu kompetitif,” ulasnya.
 
Ia menilai, peternak harusmelihat ayam sebagai komoditas yang sensitif. Dengan harganya yang naik turun, maka membuat pasar sendiri dari hulu sampai hilir sudah diperlukan. Adanya inovasi-inovasi di industri peternakan, menurut Wasekjen Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (PINSAR) ini, akan menjaga eksistensi peternak yang berdaya saing.
 
Di tengah kondisi perekonomian yang belum stabil akibat masih berlangsungnya pandemi, Tri Group memutuskan untuk membangun usahanya. Saat itu harga ayam hidup (livebird-LB) merosot sampai angkaRp8.000/kg, padahal harga pokok produksinya (HPP) sudah terhitung dua kali lipatnya.
 
 
Konsep Mini Integrasi
 
Beternak secara biasa dan masih menjual ayam hidup ke bakul dianggap merupakan cara lama yang mengikis keuntungan peternak. Abbi menyebut, bertransformasi menjadi mini integrasi bukanlah hal yang mudah.
 
Selain membutuhkan program atau konsep, industri ayam menghadapi tantangan yang berbeda setiap tahun lantaran pasokan (supply) dan kebutuhan (demand) yang sensitif. Belum lagi ayam merupakan perishable product (mudah rusak tanpa ada penanganan).
 
Abbi menjabarkan kunci yang dibutuhkan peternak untuk bertransformasi adalah NIAT (nominal, inovasi, akan, dan tekad). “Ada badai kita harus tetap berinovasi. Setelah inovasi kita butuh akal berpikir untuk memproduksi hingga ke market. Terakhir,tekad harus kuat supaya mendapatkan transformasi bisnis yang utuh,” urainya.
 
Sementara itu, Arif Daryanto, Dekan Sekolah Vokasi IPB University berpendapat, industri unggas saat ini menghadapi fenomena VUCA (volatility, uncertainty, complexity, ambiguity). Artinya, perubahan terjadi sangat cepat dan tidak dapat ditebak.
 
 “Inovasi adalah melakukan hal yang sama namun lebih baik. Sementara disrupsi melakukan sesuatu yang baru dan yang lama tertinggal. Untuk itu, penggunaan teknologi sudah menjadi keniscayaan,” bahasnya.
 
Ia mengatakan, untuk sebuah kandang budidaya, Indonesia belum menetapkan standar minimum. Berbeda dengan negara tetangga seperti Thailand. Hal inilah yang membuat HPP menjadi berbeda-beda.
 
Industri peternakan dituntut untuk berubah karena pertumbuhan ekonomi dan daya beli akan membuat konsumen memilih pasar. Permintaan protein hewani akan meningkat, seiring adanya pergeseran (shifting) pola makan dari karbohidrat ke protein yang lebih tinggi porsinya.
 
Hilirisasi, tekan Arif, menjadi sangat penting sebab nilai tambah justru banyak diciptakan di hilir dan bukan on farm. Baik integrasi vertikal ataupun horizontal akan menjadi keperluan mutlak.
 
 
 
Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 327 terbit September 2021 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain