Senin, 2 Agustus 2021

Memetik Omzet Cantik dengan Hidroponik

Memetik Omzet Cantik dengan Hidroponik

Foto: Dok. Pribadi
Catur Dian Mirzada, permintaan naik, Silangit akan tambah greenhouse

Permintaan terhadap produk hidroponik kian marak sejalan dengan peningkatan pendapatan dan gaya hidup sehat.
 
Siapa tak tergiur melihat berbagai produk sayuran dan buah yang tampak segar, cantik, berkualitas, rasanya enak, dan sehat pula? Ya, produk seperti itulah yang diminati konsumen, terutama kelas menengah atas.
 
Mereka tidak keberatan membayar lebih untuk membeli produk berkualitas di supermarket, toko buah, dan lapak digital.
 
Konsultan internasional, McKinsey & Company menyebut, jumlah kelas menengah Indonesia mencapai 45 juta jiwa dan akan naik sampai 135 juta jiwa pada 2030.
 
Bila pandemi Covid-19 bisa cepat terkendali dan pertumbuhan ekonomi dapat ke kembali angka prapandemi, Indonesia akan menjadi negara dengan ekonomi nomor tujuh terbesar di dunia pada tahun tersebut.
 
Untuk memenuhi kebutuhan sayuran dan kelas bagi masyarakat menengah, budidaya dengan cara hidroponik menjadi keniscayaan. Bertanam tanpa tanah dengan mengalirkan air nutrisi ke akar ini cocok dikembangkan di perkotaan. Irit lahan dan lokasinya lebih dekat dengan calon konsumen.
 
Pandemi yang sudah mencapai tahun kedua dan belum dapat diprediksi kapan terkendali ini ternyata memberi berkah bagi perkembangan hidroponik di Indonesia. Permintaan sayuran dan buah hidroponik berlipat, jumlah pekebunnya juga bertambah marak.
 
 
Tren Meningkat
 
Richard Sudibio Halim, pemilik Jirifarmyang memulai bisnis pada 2010 berpendapat, prospek bisnis produk hidroponik cukup positif.
 
Alasannya, masyarakat telah mengarah ke gaya hidup sehat. Kaum milenial, masyarakat berpendapatan tinggi, dan anak muda yang baru berkeluarga memberikan sayuran sehat dan segaruntuk konsumsi keluarganya. 
 
“Dua tahun ini pertumbuhan bisnis hidroponik tumbuh dengan baik. Masuk pandemi tren meningkat, banyak masyarakat mencoba produk hidroponik. Keuntungan produk hidroponik itu tahan lama, umur simpan 4-5 hari, mudah ditemui di toko daring, praktis, dan segar. Omzet Jirifarm masa pandemi sekitar Rp200 juta/bulandari sebelumnyaRp100 juta/bulan,” ungkap Richard yang memiliki lahan di Curug Kulon, Kec. Curug, Kab. Tangerang, Banten.
 
Dia juga ketiban rezeki nomplok dari derasnya permintaan starter kits (paket untuk berhidroponik) dan perlengkapan lain yang mencapai Rp500 juta per bulan.
 
Hal senada dialami Wirawan Hartawan, pemilik sekaligus Presdir PT Hydrofarm Indonesia yang mulai masuk pasar pada 2019. Pemilik toko kaset kondang, Disc Tarra ini berkebun di Tangerang, Bantendan Bogor, Jabar.
 
Ketika banyak penjual sayuran dan buah turun omzet, Hydrofarm malah laris manis sampai kekurangan stok karena konsumen makin menyadari pentingnya kesehatan tubuh.
 
“Peningkatan ini karena Hydrofarm serius menjalankan bisnis, menjaga mutu, dan kualitas sehingga lonjakan permintaan tidak terbendung. Sebelum pandemi, penjualan hanya 500 kg/hari. Pada awal pandemi penjualan melonjak jadi 1,5 ton/hari dan sekarang kurang lebih 4 ton/hari,” jelas alumnus Jurusan Administrasi Bisnis, UniversitasWestern Ontario, Kanada itu.
 
Fakta serupa pun diungkap Zainal Abidin, Direktur Utama PT Karya Masyarakat Mandiri(KMM), Bisnis Sosial Dompet Dhuafa yang bekerja sama dengan petani di Kec. Gekbrong, Cianjur, Jabar.
 
Permintaan produk hidroponikpetani yang diberi label Green Horti meroket. MenurutZainal, permintaan bertambah lantaran pendapatan masyarakat mulai naik,gaya berbelanjanya jadi berbeda. Gengsi ikut pula mengerek permintaan produk hidroponik.
 
Tidak hanya itu, mereka berbelanja demi mendapat asupan vitamin dan antioksidan yang terkandung dalam sayuran. “Omzet produk Green Horti masa pandemi Rp100 juta-Rp300 juta/bulan, sebelum pandemi Rp15 juta/bulan,” tuturnya kepada AGRINA.
 
Bisnis hidroponik tidak hanya didominasi di Pulau Jawatetapi juga merambah Sumatera, Kalimantan,dan Sulawesi. Salah satunya di Siborong-borong, Tapanuli Utara, Sumut,yaitu Silangit Farm.
 
Catur Dian Mirzada, Manajer Kebun Silangit Farmmenjelaskan melalui surel, pihaknya memulai bisnis pada 2017 karena masih sedikitpelaku usaha sayuran segar, bermutu, bersih, dan bernutrisi.
 
Ini tidak sejalan dengan meningkatnya permintaan di pasar, khususnya hotel, restoran,dan katering(horeka).
 
Di Sumut, lanjut Catur, pelaku usaha yang serius menjalankan bisnis hidroponik hanya lima orangsehingga Silangit Farm mengambil peluang tersebut.
 
Sejak awal berdiri hingga sekarang, Silangit Farm merasakan peningkatan permintaan yang signifikan. “Produksi sayuran saat ini bisa mencapai 2,4 ton/bulan dan buah hidroponik mencapai 50 ton/tahun. Produk hidroponik dari tahun ke tahun akan terus meningkat permintaannya,” ulas bapak yang juga menjabat Marketing Manager PT Meroke Tetap Jaya itu. 
  
 
Segmen Pasar dan Ragam Produk
 
Para pebisnis sayuran dan buah hidroponik umumnya menyasar konsumen kelas menengah atas lantaran harga produk lebih tinggi. Namun, ada juga yang sebagian produknya masuk pasar tradisional.
 
Jirifam memproduksi tujuh jenis sayuran, yakni bayam hijau dan merah, kangkung, kailan, caisim, pakcoi, dan selada 10–40 kg yang tiap hari habis diserap pasar swalayan se-Jabodetabek. Sayuran ini dibanderol Rp8.000-Rp12.000/250 g.
 
“Swalayan didrop seminggu dua kali 5-10 kg. Sedangkan, Amazing Farm dan Eat Me (farm milik orang lain, Red.) sebanyak 20-30 kg pengiriman 2-3 hari sekali. Tahun lalu awal pandemi, pengiriman ke dua farm ini bisa setiap hari 20-30 kg sehingga Jirifarm harus meningkatkan produksi untuk memenuhi permintaan konsumen,” papar Richard yang alumnus S1 Teknik Industri, Georgia Institute of Technology, Amerika Serikat.
 
Sementara itu, Hydrofarm yang mulai masuk supermarket Jabodetabek pada 2019 mengusung merek Eat Me memproduksi banyak jenis.
 
Sayuran terdiri dari kangkung, bayam, caisim, pakcoi, bayam merah, petsai, silky siomak/selada wangi, butterhead, puffy pagoda, freaky samhong pack, hongkong kailan, wortel, tomat ceri, asparagus, leaf pagoda, curvy kale, dan romaine lettuce.
 
“Yang paling populer adalah lettuce, tomat ceri, melon, lolorosa (selada merah), dan romaine, rata-rata dibanderol Rp20 ribu-Rp50 ribu/250 g,” terang Wirawan.  
 
Sedangkan, Catur menjabarkan, segmentasi produk premium yang digarap Silangit Farm tersebar di wilayah Sumatera Utara (Sumut), Sumatera Barat (Sumbar), Pekanbaru(Riau), Jakarta, dan Bandung(Jabar).
 
Sebelum mencapai pasar tersebut pihaknya mencari titik wilayah yang akan disuplai setiap hari sesuai kelasnya dari horeka hingga pasar menengah atas.
 
“Standar produk sayuran adalah segar, bersih, bentuk seragam, rasa dan tekstur lebih enak. Untuk berat ada standar minimal tertentu, misal selada Iceberg harus 400-500 g dan romaine 150-200 g. Sayuran daun hidroponik juga harus bebas atau terbatas pestisidanya. Lain lagi standar untuk buah jeruk dan melon,” urainya.
 
Produk sayuran Silangit Farm terdiri dari sawi putih, selada romaine, selada keriting/lolobionda, iceberg lettuce, ice plant, salanova green oakleaf, green coral, dan babycos lettuce. Tiga favorit konsumen adalah romaine dan head lettuce seharga Rp25ribu/500g, selada lolobionda dilabelRp68ribu/kg.
 
Sayuran termahalnya, iceplant yang dikirim ke Medan, Sumut dipatok Rp250ribu/kg sedangkan harga ke Jakarta lebih mahal, Rp400ribu/kg. Iceplant yang banyak dicari konsumen Singapura ini adalah sayuran unik asal Afrika Selatan yang berdaun tebal, di bagian luarnya seperti terselimuti es dan rasanya agak asin.
 
 
 
Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 326 terbit Agustus 2021 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain