Foto: Dok. AGRINA
Hydrofarm berkembang pesat
Kebun hidroponik bisa jadi sarana berbisnis hortikultura sayuran dan buah semusim yang menguntungkan.
Jeli menggarap pasar konsumen menengah ke atas yang kian sadar akan pemenuhan gizi berimbang dan kesehatan, sejumlah pelaku usaha hidroponik menikmati omzet ratusan juta perak sebulan. Berikut kisah sukses tiga di antara mereka.
Wirawan Hartawan
Pemilik Hydrofarm
Sayuran Hidroponik Bisa Lebih Sehat
Perkenalan mantan pengusaha toko kaset dan CD musik, Disc Tarra, ini dengan hidroponik diawali dari musibah penyakit strokeyang menimpanya pada 2012.
Dengan kondisi kesehatannya itu, Wirawan mengubah gaya hidupnya, termasuk dalam hal konsumsi makanan, harus yang sehat.
Itulah titik tolak dia mempelajari teknik budidaya hidroponik untuk memproduksi sayuran sendiri.
Alumnus jurusan Administrasi Bisnis, Universitas Western Ontario, Kanada, ini butuh waktu bertahun-tahun mempelajari hidroponik didalamrumah kaca pintar (smart greenhouse).
“Saya belajar teknologi agriculture yang bisa dikontrol dengan komputer supaya tidak tergantung cuaca yang selama ini tidak jelas. Bisa ujan, panas, lebih bagus pakai controlled-greenhouse supaya menghasilkan yang konsisten,” ungkapnya sembari menambahkan, nilai investasi satu unit smart greenhouse sebesar Rp1,5 miliar.
Pada 2012, cerita ayah tiga anak ini, orang bilang hidroponik kalah sehat dengan organik karena hidroponik dianggap bisa memicu kanker.
Karena itu Wirawan mengulik teknik yang benar sampai bisa menghasilkan sayuran lebih sehat dan kandungan gizinya 47% lebih tinggi berdasarkan uji laboratorium.
“Nutrisinya harus food grade, air bersih tidak ada bakterinya, dan wadah yang khusus buat hidroponik bukan yang bekas plastik sembarangan. Itu yang paling penting dari hidroponik,” tandas lelaki berusia 60 tahun ini saat ngobrol dengan AGRINA (19/7).
Dia mengaku perlu waktu sampai lima tahun “buang duit” untuk benar-benar paham smart greenhouse dan mampu memproduksi komoditas “aneh-aneh” di lokasinya yang panasnya minta ampun (37oC).
Komoditas yang dia maksud adalah stroberi, lettuce, dan melon. Selain itu, dia memproduksi tomat ceri, berbagai sayuran daun, wortel, dan asparagus di Tangerang (Banteng) dan Bogor (Jabar).
Hydrofarm, begitu dia menamai kebun dan hasil produksinya, berkembang pesat sehingga dia tak ragu menutup 238 toko kasetnya pada 2015.
Memulai dari home system berukuran 1 m x 2 m dengan produksi 70 batang sayuran, kini Hydrofarm memiliki smart greenhouse-nya seluas 5 ha yang terhampar di lahan 20 ha.
“Setiap hari saya menghasilkan 1,5 – 3 ton sayuran dan buah. Penjualannya di hampir seluruh Jabodetabek, yaitu Sogo, Farmers Market, Hypermart, Total Buah, Jakarta Buah, dan Aeon. Kita masuk supermarket baru tiga tahun. Sisa produksi kita yang tidak terjual kita jadikan biokompos,” papar bapak yang menyebut dirinya pemain “semut” dan enggan mengungkap nilai omzetnya ini.
Yang jelas, dia bangga menjadi petani yang mampu menyejahterakan 120 karyawannya dan masih membuka kerja sama dengan pengusaha lain untuk menggarap pasar.
Richard Sudibio Halim
Pemilik Jirifarm
Omzet dari Sayuran dan Starter Kits
Cerita Richard masuk ke bisnis sayuran hidroponik cukup unik. “Tahun 2010 ayah saya yang punya lahan kosong mencoba tanam cabai secara konvensional dan tidak ada latar belakang pertanian.
Cabai kena hama dan pemupukan mungkin tidak benar akhirnya gagal. Pas tahu di luar negeri ada tanam hidroponik, ini lumayan gampang kesannya. Bersih OPT (Organisme Pengganggu Tumbuhan) lebih sedikit, kita coba tanam hidroponik tanam sayur.
Waktu berjalan, banyak orang yang tanam di rumah. Kita buatkan starter kit untuk orang mau coba di rumah, dan juga ada pelatihan. Ke sininya banyak orang yang minta bikinin greenhouse,” ungkap jebolan Teknik Industri, Georgia-Tech University, Amerika Serikat, ini (16/7).
Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 326 terbit Agustus 2021 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.