Foto: Dok Kemenko Perekonomian
Model pengembangan klaster pertanian hulu-hilir
Pengembangan agribisnis harus didukung kebijakan di tingkat perusahaan agribisnis, kebijakan tingkat sektoral, serta kebijakan ekonomi makro.
Agribisnis sering dirancukan dengan pertanian, baik dari persepsi maupun implementasi. Padahal, agribisnis tidak sama dengan definisi dan aktualisasi pertanian.
Oleh sebab itu, wajar rasanya banyak kebijakan pemerintah yang memandang sebelah mata terhadap agribisnis.
Agribisnis
Secara gamblang J.H David dan R.A Goldberg dalam Saragih (2010) menjelaskan, agribisnis adalah jumlah total dari seluruh kegiatan yang melibatkan pembuatan dan penyaluran sarana usaha tani, kegiatan produksi unit usaha tani, penyimpanan, pengelolaan, dan distribusi komoditas usaha tani, serta berbagai produk yang dibuat darinya. Jadi, pertanian hanyalah salah satu bagian dari agribisnis.
Menurut Bungaran Saragih, agribisnis terbagi 3 bagian, yaitu industri hulu pertanian, pertanian dalam artian luas, dan industri hilir pertanian.
Pertama, industri hulu pertanian atau agribisnis hulu adalah industri yang menghasilkan sarana produksi pertanian, seperti industri agrokimia (pupuk, pestisida, obat-obatan hewan), industri agrootomotif (mesin pertanian, peralatan pertanian, peralatan pengolahan hasil pertanian), dan industri pembibitan/pembenihan.
Kedua, pertanian dalam artian luas atau dikenal on-farm agribisnis, yaitu pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan laut, perikanan air tawar, dan kehutanan.
Ketiga, industri hilir pertanian atau agribisnis hilir adalah kegiatan industri yang mengolah hasil pertanian menjadi produk olahan, baik produk antara maupun produk akhir.
Kebijakan Agribisnis
Dengan demikian, kebijakan agribisnis merupakan kebijakan yang diperuntukkan bagi industri dan pertanian sekaligus jasa pendukungnya.
Tapi, masalah justru timbul karena antarsubsistem agribisnis masih belum terintegrasi. Misalnya, sering terjadi kekurangan bahan baku pada agroindustri tapi di lain pihak terjadi pula kondisi hasil produksi yang terbuang percuma.
Masalah kurang terintegrasinya kebijakan agribisnis disebabkan pementingan salah satu sektor atau pendekatannya terlalu sektoral.
Selain itu, masalah timbul di unit-unit bisnis agribisnis yang bersifat internal, seperti lemahnya penguasaan teknologi dan manajemen yang diterapkan yang berakibat rendahnya produktivitas (Saragih, 2015).
Hal ini diperparah dengan longgarnya koordinasi antarpembuat kebijakan, yaitu kebijakan yang dibuat bukan kebijakan agribisnis yang berpengaruh terhadap seluruh sistem agribisnis.
Akan tetapi, kebijakan yang hanya mempengaruhi masing-masing subsistem agribisnis. Selebihnya merupakan masalah umum yang terjadi di setiap kegiatan usaha, seperti kondisi pasar yang semakin ketat serta ada di dalam ketidakpastian, hambatan-hambatan perdagangan, dan kurangnya sarana prasarana.
Keterpaduan
Oleh sebab itu, perlu pengembangan agribisnis melalui kebijakan yang menitikberatkan pada keterpaduan antarsubsistem.
Kebijakan pengembangan agribisnis juga harus didukung oleh kebijakan di tingkat perusahaan agribisnis agar dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi.
Selain itu, diperlukan kebijakan tingkat sektoral, terutama untuk penelitian dan penyediaan sarana prasarana, serta kebijakan ekonomi makro yang menjaga kondusivitas nilai tukar valuta asing, inflasi, dan tingkat suku bunga.
Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 326 terbit Agustus 2021 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.