Foto: Dok. AGRINA
Hidroponik yang menawarkan produksi sayuran dan buah lebih bersih, berkualitas, dan sehat
Hidroponik berarti bertanam tanpa tanah. Cara bertanam seperti ini tampak relevan dengan kondisi semakin menciutnya lahan pertanian.
Di Indonesia lahan pertanian berkurang lebih dari 100 ribu ha/tahun karena beralih fungsi ke pemanfaatan lain seperti pemukiman, industri, juga terkikis proyek infrastruktur.
Sementara,kecepatan pembuatan lahan pertanian baru tidak mampu mengejar derasnya alih fungsi. Di sisi lain, perluasan lahan dianggap mengancam kelestarian lingkungan.
Salah satu solusinya adalah memanfaatkan lahan pekarangan termasuk di perkotaan untuk memproduksi pangan, terutama sayuran dan buah semusim (urban farming).
Dalam berbagai kesempatan, petinggi Kementerian Pertanian menyebut luas lahan pekarangan 10 juta ha lebih. Kalau ini bisa dimanfaatkan secara maksimal, sungguh luar biasa dampak positifnya bagi penyediaan pangan dan lingkungan.
Pada 2050 Badan Pangan dan Pertanian PBB, FAO menyebut, jumlah penghuni bumi yang diprediksi mencapai 9,1 miliar orang membutuhkan peningkatan produksi pangan 25%-70% dari angka sekarang.
Jadi, umat manusia dituntut untuk grow more from less. Artinya, berproduksi lebih tinggi di lahan yang makin sempit.
Hidroponik menjadi salah satu solusi untuk tetap bisa bertanam baik sekadar menekuni hobi, melepas kejenuhan, memenuhi kebutuhan rumah tangga, maupun bisnis yang serius. Cara berhidroponik pun semakin berkembang dari waktu ke waktu.
Hidroponik yang menawarkan produksi sayuran dan buah lebih bersih, berkualitas, dan sehat makin meningkat levelnya dibarengi mengurung fasilitasnya di dalam rumah kaca (greenhouse). Dengan demikian, faktor lingkungan yang menjadi pembatas pertumbuhan tanaman semakin terkendali.
Organisme pengganggu tumbuhan misalnya, akan semakin sedikit sehingga aplikasi produk perlindungan tanaman berkurang.
Operasional rumah kaca juga semakin canggih. Semua parameter serba terkendali dan otomatis dengan berkembang pesatnya teknologi informasi (internet of things-IoT). Kondisi lingkungan mikrodi dalam rumah kacadiciptakan setepat mungkin bagi tanaman dan nyaman buat pemiliknya.
Ibaratnya, tanaman tumbuh sendiri. Sang pembudidaya tinggal mengontrol melalui gawai. Dan saat tiba waktu panen yang direncanakan, tinggal menuai hasil. Ini cocok untuk petani milenial yang emoh sering-sering menjenguk tanamanke lapangan.
Hidroponik berpeluang memindahkan produksi pangan dari pelosok daerah ke dalam kota-kota besar. Pengusahanya dapat memotong rantai pemasaran secara signifikan. Mereka bisa mengirim produknya langsung ke gerai pasar swalayan bahkan ke pintu rumah konsumen melalui jasa pengantaran ataupun kurir.
Grand View Research, perusahaan riset pasar dan konsultan yang bermarkas di San Francisco, AS merilis, pasar hidroponik sejagad mencapai US$1,33 miliar pada 2018.
Pasar ini akan terus berkembang dengan tingkat pertumbuhan rata-rata setahun 22,5% dari 2019 sampai 2025. Hal ini didorong semakin banyaknya produksi sayuran di dalam ruangan (indoor farming).
Manuel Madani, Lead South East Asia Priva, penyedia rumah kaca canggih berbasis di Belanda, mengungkap, pihaknya melihat banyak investasi dari bank-bank besar, perusahaan migas, dan industri lain masuk ke farm produksi sayuran dan buah segar. Mereka yakin investasi di bidang ini akan sangat berkelanjutan, termasuk dalam masa pandemi Covid-19.
Di Indonesia pengusaha sayuran dan buah dengan hidroponik belum cukup banyak. Yang banyak baru sekadar hobi dan usaha skala kecil. Namun, minat pengusaha yang serius mulai terlihat beberapa tahun terakhir.
Mereka menggarap pasar premium yang amat menghargai kesegaran, kesehatan, dan rasa sehingga tak keberatan merogoh kocek lebih dalam.
Demi mewujudkan produk sesuai tuntutan pasar bidikannya, para pengusaha juga tak segan mengguyurkan investasi miliaran rupiah membangun rumah kaca untuk berhidroponik.
Ke depan bukan tak mungkin bermunculan para pengusaha milenial yang menyuplai produk pangan segar berkualitas dengan menggerakkan jari di gawai dan komputer jinjingnya.
Peni Sari Palupi