Foto: Dok. AGRINA
80% ayam dikirim ke pasar tradisional dalam bentuk hidup
Menyedihkan! Angka stunting di Indonesia lebih tinggi dibandingkan Kenya.
Menurut laporan UNICEF (the United Nation’s Children Fund) 2021 tentang malnutrisi anak, angka stunting di Indonesia sangat tinggi, mencapai 31,8%.
Tidak usah jauh-jauh melihat Amerika dan Eropa, negara maju di Asia saja, angka stunting-nya hanya 5,5% untuk Jepang, Korsel 2,2%, dan China 4,7%. Indonesia masih jauh tertinggal dari Malaysia dengan angka 20,9%, Thailand 12,3%, Filipina 28,7%, bahkan Kenya 19,4%.
Stunting wajib diperhatikan karena berdampak pada terhambatnya pertumbuhan otak dan fisik, rentan sakit, dan penurunan daya saing. Padahal, bangsa yang maju sangat ditentukan oleh keberadaaan sumber daya manusia (SDM) unggul dan berkualitas.
Pengendalian kasus stunting dan pembentukan SDM berkualitas sejak dini mengandalkan peran protein. Asupan protein yang mencukupi sejak masa keemasan atau usia 0-6 tahun berpengaruh besar pada pertumbuhan fisik dan mental.
Salah satu sumber protein hewani yang sangat terjangkau dan mudah dijumpai adalah daging ayam. Ketersediaan daging ayam yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH) bisa disuplai melalui Rumah Potong Hewan Unggas (RPHU) yang memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI).
Sayangnya, menurut Asosiasi Rumah Potong Hewan Unggas Indonesia (ARPHUIN), 80% ayam dikirim ke pasar tradisional dalam bentuk hidup (livebird). RPHU atau umum disebut RPA (Rumah Potong Ayam) di pasar tradisional berbeda-beda fasilitasnya. Ada yang sudah memenuhi SNI lengkap dengan sertifikat NKV (Nomor Kontrol Veteriner) hingga HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Points). Namun, ada juga RPA yang masih ala kadarnya.
Penyediaan, peredaran, dan pengawasan ayam ras diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian No.32/2017. Pasal 12 menyebut, pelaku usaha integrasi, peternak mandiri, atau koperasi yang memproduksi ayam ras potong (livebird) dengan kapasitas produksi paling rendah 300 ribu ekor per minggu wajib mempunyai RPHU yang memiliki fasilitas rantai dingin.
Aturan ini sejatinya mengandung banyak manfaat. Pengembangan RPHU berfasilitas pendingin akan menghasilkan daging ayam ASUH yang menjamin keamanan pangan buat konsumen. Peternak yang memiliki atau bermitra dengan RPHU aman dari cekaman fluktuasi harga livebird dan terjamin pasarnya. Kestabilan harga dan pasokan daging ayam juga lebih terjamin melalui penyediaan sistem rantai dingin berupa cold storage.
Bagi yang jeli, RPHU menjadi peluang bisnis yang cukup menggiurkan. Nilai tambah daging ayam akan tercipta dengan dipasarkan dalam bentuk utuh segar, utuh dingin atau beku, potongan (parting), boneless (tanpa tulang), dan marinasi (berbumbu). Belum lagi bonus cuan jika mau mengolah produk samping, seperti kepala, ceker, jeroan. Bahkan, darah dan bulu ayam pun ada harganya.
Tidak dapat dimungkiri, investasi RPHU cukup besar. Belum lagi pengelolaan yang rumit ditambah pentingnya meneropong segmen pasar yang dituju.
Bila tak sanggup memiliki RPHU, peternak dan koperasi yang memenuhi syarat wajib, bisa bermitra atau menjalin integrasi horizontal dengan pengusaha RPHU. Pemilik RPHU selanjutnya bermitra dengan pasar,baik ritel, industri makanan, maupun horeka untuk menggaet konsumen akhir.
Kemitraan horizontal ini akan menciptakan ekosistem bisnis yang saling menguntungkan dengan biaya dan risiko kegagalan lebih ringan. Rantai pemasaran ayam yang cukup panjang bisa dipangkas. Margin para pebisnis di setiap rantai akan lebih merata.
Pun konsumen mendapatkan aneka produk daging ayam berkualitas dengan harga lebih terjangkau. Seperti yang dilakukan Istanto, Pemilik Ayam Goreng Karawaci di Tangerang, Banten, menjadi pelopor ayam goreng berkualitas dengan harga terjangkau buat siapa saja.
Tentu dukungan kuat pemerintah sangat dinanti dalam mendorong pembangunan RPHU berstandar baik. Fasilitasi kredit komersial dengan bunga rendah akan membantu RPA di pasar tradisional memperbaiki diri memenuhi kelayakan NKV bahkan HACCP. Konsumsi ayam untuk pemenuhan gizi dasar juga harus terus dipromosikan untuk mengangkat permintaan.
Windi Listianingsih