Sampai hari ini industri gula tebu di Tanah Air belum mampu mencukupi kebutuhan nasional. Jangankan memasok industri makanan dan minuman (mamin), untuk menyediakan gula konsumsi langsung masyarakat pun masih tekor. Industri mamin membutuhkan 3,2 juta tondan konsumsi langsung (rumah tangga) 2,8 juta ton. Totalnya 6 juta ton.
Produksi gula dalam negeri 2020 hanya 2,18 juta tondan tahun ini Kementan mencanangkan target 2,237 juta ton. Masih ada defisit 620 ribu ton. Defisit gula konsumsi itu direncanakan akan ditambal dengan impor gula mentah setara gula kristal putih (GKP) sebanyak 646 ribu ton dan impor GKP 150 ribu ton.
Pemerintah membidik swasembada gula konsumsi dapat dicapai pada 2023. Itu baru gula konsumsi. Bagaimana pemenuhan kebutuhan gula untuk industri yang cenderung naik terus?
Dalam sebuah webinar “Gula Tebu: Swasembada atau Impor Terus” yang dihelat Perhimpunan Agronomi Indonesia (PERAGI)20 Maret silam, tergambar kompleksitas permasalahan industri gula negeri ini. Padahal,1930-an Indonesia pernah gagah sebagai eksportir gula.Tapi,sekarang posisi kita ambles jadi importir yang terbesar di dunia mengalahkan China.
Memang, menurut Musdhalifah Machmud, Deputi Bidang Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian, bengkaknya impor tak sepenuhnya berasal dari konsumsi langsung. Gula impor menjadi bahan baku industri mamin yang dalam masa pandemi tetap tumbuh 1,6%.
Supriadi, Direktur Industri Makanan, Hasil Laut, dan Perikanan, Kemenperin menyebut, ekspor produk mamin masih membuahkan surplus US$1 miliar pada 2020. Namun untuk itu, diperlukan gula standar industri (gula rafinasi) yang belum mampu dicukupi dalam negeri.
Apakah industri gula kita tidak pernah membaik? Pernah. Agus Pakpahan mengenang waktu awal dirinya menjabat Dirjen Perkebunan 1998-2003, adalah produksi terendah 1,49 juta ton.
Dalam tekanan IMF, pemerintah harus menutup beberapa pabrik gula (PG) yang tidak efisien. Saat itu pemerintah berstrategi memberikan kepastian harga yang berpihak kepada petani dan mengatur suplai, terutama impor karena bergantung kebijakan pemerintah.
Hasilnya terlihat pada 2008, produksi gula nasional mencapai 2,6 juta ton. Sayang setelah itu pemerintah tidak meneruskan kebijakan yang cukup baik tersebut. Impor makin membanjir. Luas kebun cenderung menciut karena petani kurang bersemangat.
Pada masa kini upaya PTPN X dengan slogan “10 bisa” yang membidik produktivitas 10 ton gula/ha sangat baik. Strateginya antara lain menyediakan pengairan, mengubah pola tanam ke musim kemarau, menerapkan pertanian pintar, memberikan pupuk berimbang, serta memperbaiki manajemen tebang, muat, angkut.
Namun hal itu tidak bisa dilakukan BUMN sendirian. Pemerintah dengan kemauan politik yang kuat untuk meningkatkan produksi domestik seyogyanya mendukung penuh agar strategi PTPN itu bisa diperluas aplikasinya ke kebun rakyat.
Peta jalan swasembada sudah disusun sejak 2007. Kebutuhan lahan menjadi krusial. Minimal dibutuhkan 200 ribu ha lahan baru untuk menambah 420 ribu ha yang sudah ada. Pasti tidak mudah, apalagi lahan tebu itu spesifik agar varietas yang dikembangkan berproduksi optimal.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional, Kementan, bersama akademisi bisa memetakan dan mengambil alih lahan yang ditelantarkan si pemegang izin dan cocok untuk tebu. Produktivitas digenjot dengan berbagai inovasi teknologi. Dengan rata-rata produktivitas tebu 100 ton/ha dan rendemen 10%, terpenuhilah kebutuhan 6 juta ton gula.
Begawan perkebunan, Soedjai Kartasasmita, menekankan perlunya pemerintah mendukung dengan dana riset yang lebih besar baik terkait hulu maupun hilir, karena tren ke depan PG bukan hanya menghasilkan gula.
Perkuat kembali Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia. Dan yang penting juga, mengatur impor gula mentah maupun gula rafinasi, menghitung kebutuhannya, dan mengawasi sebaik-baiknya peredaran gula rafinasi itu sebelum produksi domestik mencukupi.
Dengan berbagai Langkah tersebut semoga tebu rakyat akan terasa manis kembali.
Peni Sari Palupi