“Memang kita bukan negara pertanian lagi tapi kita negara sistem agribisnis,yakni pertanian, industri hulu, industri hilir, dan jasa penunjangnya. Megasektor agribisnis akan dominan di negeri ini dengan hiruk-pikuk sektor-sektor non-agribisnis,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancara AGRINA.
Bagaimana menggerakkan megasektor agribisnis?
Kita bersyukur pada 2020 yang lalu on-farm agribusiness bertumbuh positif kendatipun perekonomian Indonesia bertumbuh negatif. Jika on-farm agribusiness,yakni sektor pertanian juga negatif seperti yang lain,maka pertumbuhan ekonomi kita bukan hanya -2,07%, melainkan lebih besar minusnya.
Sektor pertanian menjadi penyelamatan perekonomian kita, tidak hanya menyumbang pada pertumbuhan tetapi juga menyediakan lapangan kerja buat orang yang ada di situ dan bagi pekerja informal dari kota yang kembali ke desa. Tidak hanya itu, dengan pertumbuhan yang positif, ketahanan dan kedaulatan pangan bisa terjaga.
Sumbangan on-farm agribusiness dalam PDB memang hanya sebesar 14%. Namun bila kita melihat pertanian dengan paradigma baru, pertanian tidak bisa dilepas dari hubungannya dengan industri di hulu dan hilirnya serta jasa penunjangnya.
Sementara data statistika hanya ada statistika sektor pertanian. Statistika off-farm agribusiness di hulu dan hilir tidak lagi dikaitan dengan pertanian. Ada statistika industri atau perdagangan makanan dan minuman tapi tidak mengaitkan dengan pertanian dan pangan. Sebenarnya itu semua perlu dikumpulkan dalam satu angka statistika intersektoral yang terintegrasi dalam satu Klaster sistem agribisnis.
Begitu juga dengan industri di hulu, seperti industri pupuk, pestisida, dan alsintan itu juga merupakan sumbangan sistem agribisnis pada PDB tapi tidak dilihat sebagai bagian dari agribisnis secara statistika.
Sumbangan pertanian hanya dicatat 14% dalam PDB, tapi sumbangan on-farm ditambah off-farm agribusiness yang merupakan megasektor terbesar di Indonesia bisa tiga kali lipat angkanya. Contoh statistika minyak goreng dan biodiesel tidak masuk dalam statistika pertanian, padahaltidak akan ada minyak goreng dan biodiesel bila tidak ada kelapa dan kelapa sawit.
Jadi tidak hanya sistem agribisnis yang terkotak-kotak, melainkan statistika kita juga terkotak-kotak sehingga kebijakan yang dihasilkan punterkotak-kotak.
Jika statistika terkotak-kotak,maka sangat sulit kita melihat statistika sistem agribisnis secara utuh.Karena pandangan kita terhadap sistem agribisnis terkotak-kotak,maka kebijakan dalam sistem dan usaha agribisnis juga terkotak-kotak.
Kita ingin statistika itu dapat menunjukkan data secara Klaster bukan secara sektoral saja. Hanya dengan cara Klaster, sistem dan usaha agribisnis dapat dengan jelas dirumuskan kebijakan nasional sistem dan usaha agribisnis. Jika angkanya hanya meraba-raba, kita sangat sulit merumuskan kebijakan sistem agribisnis yang cespleng.
Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 323 terbit Mei 2021 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.