Foto: Dok. AGRINA
Jagung premium dengan nilai aflatoksin maksimal 20 ppb masih sulit diperoleh dari dalam negeri
Dalam memperoleh jagung dengan nilai mikotoksin rendah, banyak hal penting yang harus diperhatikan.
Selain ternak monogastrik seperti unggas dan babi, jagung berperan penting sebagai bahan pakan penting untuk sapi perah, terutama yang rendah kandungan mikotoksin seperti aflatoksin. Prof. (Riset).
Selain ternak monogastrik seperti unggas dan babi, jagung berperan penting sebagai bahan pakan penting untuk sapi perah, terutama yang rendah kandungan mikotoksin seperti aflatoksin. Prof. (Riset).
Budi Tangendjaja, Technical Consultant US Grains Council Asia Tenggara mengutarakan, dalam ransum unggas, jagung merupakan komponen paling utama lantaran kebutuhannya hingga 50%.
“Bukan hanya di Indonesia, tapi negara-negara Asia. Maka nutrisionis harus memperhatikan kualitas jagungnya,” ujar Budi pada webinar Suara AGRINA “Pentingnya Pengendalian Mikotoksin pada Jagung Pakan”, Rabu (31/3).
Ahli nutrisi dan pakan ternak tersebut mengulas, Indonesia hanya memiliki satu SNI jagung pakan dengan batas kandungan kadar aflatoksin maksimal 50 ppb. Ketika standar ini diaplikasikan di lapangan, pelaku usaha akan menemukan kesulitan.
“Bukan hanya di Indonesia, tapi negara-negara Asia. Maka nutrisionis harus memperhatikan kualitas jagungnya,” ujar Budi pada webinar Suara AGRINA “Pentingnya Pengendalian Mikotoksin pada Jagung Pakan”, Rabu (31/3).
Ahli nutrisi dan pakan ternak tersebut mengulas, Indonesia hanya memiliki satu SNI jagung pakan dengan batas kandungan kadar aflatoksin maksimal 50 ppb. Ketika standar ini diaplikasikan di lapangan, pelaku usaha akan menemukan kesulitan.
Pasalnya, SNI ini tidak bisa dijadikan patokan sebagai pakan sapi perah. Tingginya nilai aflatoksin dalam jagung ketika dikonsumsi sapi perah akan membuat racun metabolitnya ikut terbawa hingga ke susu.
Karena itu, industri sapi perah nasional membutuhkan jagung dengan batas kadar aflatoksin maksimal 20 ppb. Namun sayangnya, pasokan jagung berspesifikasi ‘Dewa’ tersebut masih sangat sulit untuk disediakan dari dalam negeri. Tercatat, baru dua daerah yang berhasil memproduksinya, yakni Koperasi Dinamika Nusa Agribisnis (DNA) Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat dan Kelompok Tani Maju Lampung Selatan, Lampung.
Baru-baru ini, Badan Standarisasi Nasional (BSN) mengeluarkan SNI 8926:2020 terbaru terkait jagung. Menurut Budi, dalam SNI ini disebutkan syarat jagung premium pakan untuk sapi perah sama dengan yang dimanfaatkan untuk kebutuhan industri.
Karena itu, industri sapi perah nasional membutuhkan jagung dengan batas kadar aflatoksin maksimal 20 ppb. Namun sayangnya, pasokan jagung berspesifikasi ‘Dewa’ tersebut masih sangat sulit untuk disediakan dari dalam negeri. Tercatat, baru dua daerah yang berhasil memproduksinya, yakni Koperasi Dinamika Nusa Agribisnis (DNA) Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat dan Kelompok Tani Maju Lampung Selatan, Lampung.
Baru-baru ini, Badan Standarisasi Nasional (BSN) mengeluarkan SNI 8926:2020 terbaru terkait jagung. Menurut Budi, dalam SNI ini disebutkan syarat jagung premium pakan untuk sapi perah sama dengan yang dimanfaatkan untuk kebutuhan industri.
Dalam industri pangan, jagung rendah aflatoksin diolah untuk menghasilkan pati jagung dan sejumlah produk turunan termasuk glucose syrup sebagai pemanis makanan dan minuman.
Penentuan Kualitas dan Kerugian
Berbeda dengan Indonesia, Kementerian Pertanian Amerika Serikat (United States Departement of Agriculture – USDA) membagi lima kriteria jagung berdasarkan berat jenis dan kerusakannya karena panas. Sementara Indonesia, ulas Budi, menentukan kualitas jagung berdasarkan kadar lemak dan protein. Padahal, penentuan berat jenis penting sebagai informasi kapan waktu jagung tersebut dipanen.
“Jagung yang buru-buru dipanen berat jenisnya akan rendah, nilai gizinya pasti turun. Begitu pun energi yang terkandung dalam jagung. Perlu juga dilihat kotoran dan kerusakan bijinya,” beber dia.
Jagung yang rusak karena jamur (cendawan) atau panas akan mempengaruhi kualitas pakan ternak dan pangan manusia. Kandungan vitamin, asam amino, energi akan turun dan memungkinkan menghasilkan mikotoksin. Budi pun menyoroti, pertumbuhan mikotoksin bisa muncul sejak awal tanam hingga saat panen. Untuk itu, mencegah jamur akan mencegah pula tumbuhnya mikotoksin.
“Mikotoksin bisa terjadi ketika ditanam, tapi ketika dipanen pertumbuhan jamur akan berhenti. Lalu ketika disimpan di gudang bisa saja tumbuh kembali,” jelasnya.
Jebolan School of Food Technology UNSW Australia ini menjelaskan, mikotoksin merupakan senyawa sekunder hasil metabolisme jamur dan sifatnya beracun bagi ternak. Terbentuknya mikotoksin, bergantung pada stres jamur dan dipengaruhi oksigen (O2) dan karbon dioksida (CO2), suhu, kadar air bebas (Water Activity - Aw), serta kandungan gizi atau substrat.
“Kadar air 16%-18% paling memungkinkan menghasilkan mikotoksin sebab jamur mengalami stres. Di Indonesia, umumnya kadar air 16%, sangat berisiko. Apalagi kelembapan 60%-80% ideal untuk jamur menghasilkan mikotoksin,” detail Budi.
Dari 300 jenis mikotoksin yang diteliti, setidaknya terdapat enam jenis yang menjadi fokus penelitian, terlebih pada dampak kesehatannya. Di Indonesia, aflatoksin dan okratoksin yang lebih dominan. Namun, Budi mengingatkan, bahan pakan yang diimpor dari negara subtropis juga perlu diwaspadai cemaran cendawan Fusarium.
Aflatoksin menjadikan kerja liver (hati) semakin berat, sehingga akan rusak. Jenis mikotoksin ini juga menyebabkan kekebalan turun (imunosupresi) pada unggas serta merusak organ-organ lainnya.
Belajar dari Paman Sam
Pada kesempatan yang sama, Caleb Wurth, Assistant Regional Director of Southeast Asia & Oceania US Grains Council menuturkan, dalam memproduksi dan menyalurkan jagung rendah mikotoksin dan berkualitas tinggi ke berbagai negara, termasuk Indonesia, petani jagung Amerika Serikat selalu memperhatikan banyak hal detail.
Ia bercerita, pemilihan bibit mengawali petani asal Negeri Paman Sam dalam memproduksi jagung. “Para petani AS cenderung memilih menanam jagung hasil bioteknologi Genetically Modified Organisms (GMO) atau Produk Rekayasa Genetika (PRG) lantaran lebih tahan dari serangan gulma dan serangga, serta kekeringan. Cacat pada kernel (biji) jagung pun sangat sedikit sehingga risiko pembentukan jamur dan mikotoksin makin sedikit,” ulasnya.
Kendati begitu, ia menambahkan, ada pula petani jagung di AS yang menanam bibit jagung non-PRG. Namun hal tersebut sesuai pesanan konsumen dengan tetap mempertimbangkan skala ekonominya. Umumnya, total biaya yang dikeluarkan petani jagung AS sebesar US$3.76/gantang atau Rp2.000/kg pipil.
Berikutnya proses panen dan pascapanen. Petani, bahas Caleb, memanfaatkan mesin pemanen kombinasi (combine harvester) berskala besar sekaligus melakukan pengecekan kualitas dan kelembapan jagung. Setelah itu jagung disimpan sesegera mungkin agar tidak ada pertumbuhan jamur yang akhirnya membentuk mikotoksin.
Caleb mengingatkan, penyimpanan bukan untuk menjamin kualitas jagung, tapi justru menjaga jagung jangan sampai rusak. “Jadi, petani bisa menyimpan ketika harga turun,” bebernya.
Hal ini diamini Budi. Menurutnya, alat pengering (dryer) harus disiapkan terutama pada musim hujan. Kemudian penyimpanan di dalam silo akan menjaga tingkat kelembapan jagung.
“Panen jagung di Amerika rata-rata berkadar air 15,7%, di daerah tertentu bahkan di bawah 14%, tidak ada yang sampai 20%. Mayoritas petani memiliki dryer. Kalau panen Oktober, tidak perlu dryer karena untuk November jagung-jagung disimpan di silo, dihembuskan angin winter dengan kelembapan sangat rendah. Sehingga kadar air turun sendiri, bertahan 14%-14,5%,” detail Budi.
Sementara di Indonesia, jagung dipanen belum tua dengan kadar air di atas 30%. Kemudian jagung tidak dikeringkan secara cepat, alhasil jamur tumbuh selama penyimpanan.
Di Amerika, lanjut Caleb, peraturan pakan ternak sangat ketat lantaran berujung pada pangan manusia. Keberhasilan Amerika selama 50 tahun lebih menjadi negara pengekspor jagung berkat adanya kualitas, realibilitas, dan transparansi.
Penentuan Kualitas dan Kerugian
Berbeda dengan Indonesia, Kementerian Pertanian Amerika Serikat (United States Departement of Agriculture – USDA) membagi lima kriteria jagung berdasarkan berat jenis dan kerusakannya karena panas. Sementara Indonesia, ulas Budi, menentukan kualitas jagung berdasarkan kadar lemak dan protein. Padahal, penentuan berat jenis penting sebagai informasi kapan waktu jagung tersebut dipanen.
“Jagung yang buru-buru dipanen berat jenisnya akan rendah, nilai gizinya pasti turun. Begitu pun energi yang terkandung dalam jagung. Perlu juga dilihat kotoran dan kerusakan bijinya,” beber dia.
Jagung yang rusak karena jamur (cendawan) atau panas akan mempengaruhi kualitas pakan ternak dan pangan manusia. Kandungan vitamin, asam amino, energi akan turun dan memungkinkan menghasilkan mikotoksin. Budi pun menyoroti, pertumbuhan mikotoksin bisa muncul sejak awal tanam hingga saat panen. Untuk itu, mencegah jamur akan mencegah pula tumbuhnya mikotoksin.
“Mikotoksin bisa terjadi ketika ditanam, tapi ketika dipanen pertumbuhan jamur akan berhenti. Lalu ketika disimpan di gudang bisa saja tumbuh kembali,” jelasnya.
Jebolan School of Food Technology UNSW Australia ini menjelaskan, mikotoksin merupakan senyawa sekunder hasil metabolisme jamur dan sifatnya beracun bagi ternak. Terbentuknya mikotoksin, bergantung pada stres jamur dan dipengaruhi oksigen (O2) dan karbon dioksida (CO2), suhu, kadar air bebas (Water Activity - Aw), serta kandungan gizi atau substrat.
“Kadar air 16%-18% paling memungkinkan menghasilkan mikotoksin sebab jamur mengalami stres. Di Indonesia, umumnya kadar air 16%, sangat berisiko. Apalagi kelembapan 60%-80% ideal untuk jamur menghasilkan mikotoksin,” detail Budi.
Dari 300 jenis mikotoksin yang diteliti, setidaknya terdapat enam jenis yang menjadi fokus penelitian, terlebih pada dampak kesehatannya. Di Indonesia, aflatoksin dan okratoksin yang lebih dominan. Namun, Budi mengingatkan, bahan pakan yang diimpor dari negara subtropis juga perlu diwaspadai cemaran cendawan Fusarium.
Aflatoksin menjadikan kerja liver (hati) semakin berat, sehingga akan rusak. Jenis mikotoksin ini juga menyebabkan kekebalan turun (imunosupresi) pada unggas serta merusak organ-organ lainnya.
Belajar dari Paman Sam
Pada kesempatan yang sama, Caleb Wurth, Assistant Regional Director of Southeast Asia & Oceania US Grains Council menuturkan, dalam memproduksi dan menyalurkan jagung rendah mikotoksin dan berkualitas tinggi ke berbagai negara, termasuk Indonesia, petani jagung Amerika Serikat selalu memperhatikan banyak hal detail.
Ia bercerita, pemilihan bibit mengawali petani asal Negeri Paman Sam dalam memproduksi jagung. “Para petani AS cenderung memilih menanam jagung hasil bioteknologi Genetically Modified Organisms (GMO) atau Produk Rekayasa Genetika (PRG) lantaran lebih tahan dari serangan gulma dan serangga, serta kekeringan. Cacat pada kernel (biji) jagung pun sangat sedikit sehingga risiko pembentukan jamur dan mikotoksin makin sedikit,” ulasnya.
Kendati begitu, ia menambahkan, ada pula petani jagung di AS yang menanam bibit jagung non-PRG. Namun hal tersebut sesuai pesanan konsumen dengan tetap mempertimbangkan skala ekonominya. Umumnya, total biaya yang dikeluarkan petani jagung AS sebesar US$3.76/gantang atau Rp2.000/kg pipil.
Berikutnya proses panen dan pascapanen. Petani, bahas Caleb, memanfaatkan mesin pemanen kombinasi (combine harvester) berskala besar sekaligus melakukan pengecekan kualitas dan kelembapan jagung. Setelah itu jagung disimpan sesegera mungkin agar tidak ada pertumbuhan jamur yang akhirnya membentuk mikotoksin.
Caleb mengingatkan, penyimpanan bukan untuk menjamin kualitas jagung, tapi justru menjaga jagung jangan sampai rusak. “Jadi, petani bisa menyimpan ketika harga turun,” bebernya.
Hal ini diamini Budi. Menurutnya, alat pengering (dryer) harus disiapkan terutama pada musim hujan. Kemudian penyimpanan di dalam silo akan menjaga tingkat kelembapan jagung.
“Panen jagung di Amerika rata-rata berkadar air 15,7%, di daerah tertentu bahkan di bawah 14%, tidak ada yang sampai 20%. Mayoritas petani memiliki dryer. Kalau panen Oktober, tidak perlu dryer karena untuk November jagung-jagung disimpan di silo, dihembuskan angin winter dengan kelembapan sangat rendah. Sehingga kadar air turun sendiri, bertahan 14%-14,5%,” detail Budi.
Sementara di Indonesia, jagung dipanen belum tua dengan kadar air di atas 30%. Kemudian jagung tidak dikeringkan secara cepat, alhasil jamur tumbuh selama penyimpanan.
Di Amerika, lanjut Caleb, peraturan pakan ternak sangat ketat lantaran berujung pada pangan manusia. Keberhasilan Amerika selama 50 tahun lebih menjadi negara pengekspor jagung berkat adanya kualitas, realibilitas, dan transparansi.
Faktor-faktor yang diuji meliputi kelas (grading) seperti berat jenis, biji pecah atau rusak. Kemudian faktor fisik, kadar air, komposisi kimia, dan mikotoksin terutama aflatoksin.
Ia menekankan, di Indonesia dan Malaysia kelembapan akan tinggi ketika musim hujan. Kondisi ini memicu jamur dapat berkembang sangat cepat. Jagung dengan kualitas baik akan menunjang performa produksi ternak.
Ia menekankan, di Indonesia dan Malaysia kelembapan akan tinggi ketika musim hujan. Kondisi ini memicu jamur dapat berkembang sangat cepat. Jagung dengan kualitas baik akan menunjang performa produksi ternak.
Untuk itu, infrastruktur penanganan jagung, program keamanan pakan, dan peraturan harus diperhatikan sekaligus diterapkan dengan baik agar keamanan sejak awal hingga pengguna akhir terjamin.
Pengendalian Hingga Akhir
Budi melanjutkan, panen jagung di Indonesia rata-rata memiliki kadar air 35%-40%. Ketika kelobot dibuka kadar airnya 33%, setelah itu dijemur menjadi 22% untuk dipipil. Permasalahannya, kelobot dibuka pada musim hujan, dipipil secara manual lalu dikeringkan mengandalkan sinar matahari.
Aflatoksin perlu dikendalikan terutama pada musim hujan. Tumbuhnya jamur memerlukan nilai air bebas minimal 0,65. Jumlah jamur awal berperan terhadap pertumbuhan berikutnya. Ketika jamur tidak tumbuh, maka metabolit mikotoksin tidak akan terbentuk.
Di samping itu, agar jagung yang diproduksi minim terserang jamur, Budi menyarankan proses penanaman hingga panen dilakukan dalam keadaan bersih dengan menerapkan Good Agricultural Practices (GAP). Pembersihan juga bisa memanfaatkan rotary cleaner.
Jagung yang rusak dan utuh dipisahkan, sebab jagung rusak berisiko ditumbuhi jamur lebih tinggi. Kemudian penyimpanan di gudang, bisa dengan pengapuran dinding dan disimpan di dalam karung palet serta berjarak.
“Kita berlomba dengan waktu, jamur tumbuh dalam waktu tiga hari. Kadar air harus diturunkan secepatnya. Dipipil jangan keadaan basah karena dapat melukai biji jagung, nanti jamur mudah muncul. Kalau perlu gunakan gas amonia hidroksi tapi ini tidak mudah dilakukan peternak,” saran Budi.
Penggunaan pengikat mikotoksin juga dapat dimanfaatkan agar toksin tidak terserap oleh ternak dan dikeluarkan melalui kotoran. Bisa juga dengan enzim pemecah struktur kimia supaya mikotoksin tidak aktif lagi.
Try Surya Anditya
Pengendalian Hingga Akhir
Budi melanjutkan, panen jagung di Indonesia rata-rata memiliki kadar air 35%-40%. Ketika kelobot dibuka kadar airnya 33%, setelah itu dijemur menjadi 22% untuk dipipil. Permasalahannya, kelobot dibuka pada musim hujan, dipipil secara manual lalu dikeringkan mengandalkan sinar matahari.
Aflatoksin perlu dikendalikan terutama pada musim hujan. Tumbuhnya jamur memerlukan nilai air bebas minimal 0,65. Jumlah jamur awal berperan terhadap pertumbuhan berikutnya. Ketika jamur tidak tumbuh, maka metabolit mikotoksin tidak akan terbentuk.
Di samping itu, agar jagung yang diproduksi minim terserang jamur, Budi menyarankan proses penanaman hingga panen dilakukan dalam keadaan bersih dengan menerapkan Good Agricultural Practices (GAP). Pembersihan juga bisa memanfaatkan rotary cleaner.
Jagung yang rusak dan utuh dipisahkan, sebab jagung rusak berisiko ditumbuhi jamur lebih tinggi. Kemudian penyimpanan di gudang, bisa dengan pengapuran dinding dan disimpan di dalam karung palet serta berjarak.
“Kita berlomba dengan waktu, jamur tumbuh dalam waktu tiga hari. Kadar air harus diturunkan secepatnya. Dipipil jangan keadaan basah karena dapat melukai biji jagung, nanti jamur mudah muncul. Kalau perlu gunakan gas amonia hidroksi tapi ini tidak mudah dilakukan peternak,” saran Budi.
Penggunaan pengikat mikotoksin juga dapat dimanfaatkan agar toksin tidak terserap oleh ternak dan dikeluarkan melalui kotoran. Bisa juga dengan enzim pemecah struktur kimia supaya mikotoksin tidak aktif lagi.
Try Surya Anditya