Irisan bawang memang “memilukan” mata. Namun, peluang bisnisnya menggoda jiwa. Penggunaannyasebagai bumbu masak utama, garnis, hingga camilan, membuat transaksi dagang bawang menembus angka miliaran dolar.
Tiga jenis bawang yang diperdagangkan dunia, yaitu onion (bawang bombay), shallot (bawang merah), dan garlic (bawang putih). Onion terdiri atas sweet (manis), red (merah), white (putih), dan yellow (kuning). Sedangkan shallot yang banyak digunakan dalam kuliner Asia, umum juga disebut small onion.
Nilai dagang onion mencapai US$3,99 miliar pada2019. Asia mencetak ekspor terbesar, senilai US$1,45 miliar atau 36,4% perdagangan global. Posisi berikutnya Eropa 30,9% dan Amerika Utara 17,2%. Belanda menjadi eksportir utama dengan nilai US$815,2 juta atau 20,5% total ekspor, diikuti China US$604,4 juta, India US$364,7 juta, Meksiko US$356 juta, dan Amerika US$287,7 juta.
Tidak hanya segar, bawang olahan juga diperdagangkan secara global. Kebanyakan berbentuk bubuk (powder), goreng (fried), dan kering (dehydrated). Bawang goreng, umumnya fried onion, diminati penduduk dunia. Warga Asia sangat familiar mengonsumsi bawang goreng di menu masakan, seperti biryani di Asia Selatan dan mujaddara di Timur Tengah.
Di restoran dunia, bawang goreng menjadi bahan makanan penting dan garnis dalam berbagai menu seperti sup, salad, kentang panggang, dan kentang tumbuk. Warga Amerika dan Uni Eropa (UE) pun menikmati bawang goreng buat taburan sandwich, burger, hotdog, bahkan sebagai camilan.
Bisnis bawang goreng dunia banyak dilakoni China, India, Pakistan, dan Belanda. Salah satu perusahaan China mengekspor 36 jenis crispy fried onion, 26 jenis crispy fried shallot, dan 11 jenis fried onion flakes ke lebih dari 100 negara, meliputi Singapura, Jepang, Korsel, UE, dan Amerika. Kapasitas produksi setiap jenisnya sebesar 200-300 ton/bulan.
Perusahaan India juga mengekspor varian bawang goreng berupa pink fried onion, golden fried onion, fresh fred onion, crispy fried onion, dan fried onion flakes. Produk kemasan 1, 5, 15, dan 25 kg ini dipasarkan ke China, Jepang, Arab Saudi, Dubai, Amerika, UE, Rusia, serta Amerika Latin.
Meski tak sebanyak China dan India, bawang merah goreng asal Indonesia juga sudah dikenal di Amerika, UE, dan Australia, salah satunya berlabel Rotary. Bawang goreng ini mengisi rak toko makanan Asia dan lapak daring. Agak minim varian bawang goreng Indonesia yang dijajakan di mancanegara dalam kemasan curah besar (bulk) atau eceran.
Di negara kita bisnis bawang goreng cukup menggeliat. Permintaannya datang dari usaha makanan skala mikro sampai industri, seperti bakso keliling hingga mi instan, lalu hotel, katering, dan resto. Belum lagi penjualan ritel.
Jika jeli melihat, bawang goreng saset curah atau berlabel mudah ditemui di warung sayurandi pemukiman, pasar tradisional, hingga supermarket. Penjualan bawang goreng marak pula di lapak daring dan media sosial. Pelaku usahanya meliputi generasi baby boomers yang diwariskan ke anak-cucu hingga rintisan kaum milenial.
Bahrul Firdaus mewakili milenial yang cukup sukses membangun bisnis bawang goreng Nion-Nion di Tangerang Selatan, Banten. Omzetnya berkisar Rp200 juta-Rp300 juta. Selain original, pemuda kelahiran 1995 ini menyajikan rasa udang rebon, teri Medan, dan campuran udang rebon-teri Medan menggunakan bawang Sumenep dan Brebes.
Di Pati, Jateng ada Mia Claudia yang baru memulai bisnis bawang goreng Mamamia namun sudah tergambar marginnya. Gadis kelahiran 1996 ini menghadirkan varian orginal, balado, dan pedas. Jangan lupakan Bawang Goreng Hj. Mbok Sri yang jadi ikon Palu, Sulteng sejak 1980.
Bukan hanya lokal, para pengusaha itu sangat berpeluang mengisi pasar global. Apalagi, produksi bawang merah juga melimpah dan beberapa tahun terakhir diekspor dalam bentuk segar. Ekspor bawang goreng tentu lebih bernilai tambah. Pembinaan dan fasilitasi pengusaha menuju ekspor akan mendorong “diaspora” produk Indonesia. Dengan begitu, devisa meningkat, lapangan kerjapun makin terbuka.
Windi Listianingsih