Minggu, 2 Mei 2021

PETERNAKAN : Sukses Beternak Sapi Potong ala Koperasi Maju Sejahtera

PETERNAKAN : Sukses Beternak Sapi Potong ala Koperasi Maju Sejahtera

Foto: Syafnijal Datuk Sinaro
Suhadi, beternak sapi PO dan sapi BX tidak banyak berbeda, hanya menyesuaikan

Koperasi Produksi Ternak Maju Sejahtera konsisten mengembangbiakkan sapi PO. Bahkan empat tahun terakhir sukses melakukan pembibitan (breeding) sapi BX.


Penunjukan Kec. Tanjungsari, Kab. Lampung Selatan sebagai pusat pengembangbiakan sapi Peranakan Ognole (PO) diawali dengan pencanangan di Desa Sidomukti pada 25 Januari 2011.
 
Dilanjutkan dengan penerbitan SK Bupati Lampung Selatan Nomor B/54/III.10/HK/2011 pada 18 Februari 2011 tentang penetapan Tanjungsari sebagai kawasan pelestarian dan pengembangan plasma nutfah sapi potong jenis peranakan PO.
 
Kemudian disusul SK Mentan No. 357/2015 pada 8 Januari 2015 berisikan penetapan Tanjungsari sebagai pusat pemurnian sapi PO.

Pengembangan ternak sapi PO tersebar di delapan desa, yakni Purwodadi Dalam, Wonodadi, Sidomukti, Wawasan, Bangunsari, Kertosari, Mulyosari, dan Malangsari.
 
Demi meningkatkan pendapatan, kelompok peternak sapi PO di Kecamatan Tanjungsari membentuk Koperasi Produksi Ternak Maju Sejahtera (KPT MS) pada 2014. Kemudian, usaha pembibitan sapi Brahman Cross (BX) dilakukan menyusul sejak 2017.


Dari PO Merambah ke BX

Suhadi, Ketua Kelompok Peternak Bumi Asih Sejahtera sekaligus Ketua KPT MS mengutarakan, saat ini terdapat 38 kelompok peternak dengan populasi sapi mencapai 3.933 ekor yang menjalankan pembibitan dan penggemukan sapi PO dan BX. Sistem pemeliharaan sapi dilakukan secara spesifik.

“Pada siang hari sapi diangon di sela-sela kebun karet sambil pemiliknya mengarit rumput. Sore hari sapi dibawa ke kandang koloni yang berlokasi sekitar pemukiman anggota kelompok. Pada malam hari, pemilik menjaga kandang sapi secara bergiliran agar aman dari aksi pencurian,” tutur Suhadi kepada AGRINA baru-baru ini.

Ia menuturkan, di Tanjungsari, pelestarian sapi PO ditempuh dengan inseminasi dari pejantan yang sama jenisnya. Setelah sukses membudidayakan sapi PO, KPT MS mulai melirik usaha pembibitan (breeding) sapi Brahman Cross (BX) pada 2017.
 
Bekeja sama dengan Lembaga Pengembangan Sapi, Indonesia-Australia Commercial Cattle Breeding (IACCB), KPT MS menerima 100 indukan dan 6 pejantan sapi jenis BX dari IACCB.
 
Selanjutnya pada Oktober 2019, KPT MS kembali menerima sapi BX sebanyak 92 induk, 6 jantan, dan 25 pedet. Saat ini, tercatat 61 indukan sapi BX sudah menjadi milik koperasi yang dilanjutkan pembibitannya.

Awal 2021 ini, KPT MS menerima 800 ekor sapi dari Program Seribu Desa Sapi Kementerian Pertanian. Rinciannya, lebih dari 500 ekor berupa sapi dara calon indukan dan sisanya bakalan yang dipersiapkan untuk kebutuhan Lebaran. Baik sapi BX dari IACCB maupun sapi program seribu desa sapi, disebar kepada 180 anggota koperasi.


Penyesuaian Budidaya

Menurut Suhadi, komposisi pakan sapi BX tidak banyak berbeda dengan sapi PO, hanya saja memang terdapat penyesuaian. Sapi BX dinilai kebutuhan proteinnya lebih tinggi ketimbang sapi PO.
 
Indukan sapi BX dan PO memerlukan pakan dengan biaya Rp12 ribu/ekor/hari dan pedet Rp8 ribu - Rp10 ribu/ekor/hari. Rata-rata pertambahan bobot harian (ADG) sapi BX lebih tinggi dibanding sapi PO. Dengan pasokan protein yang sama, sapi BX bisa mencapai ADG 0,7 kg/ekor/hari, sedangkan sapi PO hanya 0,3 kg/ekor/hari.

Dalam proses kawin pun terdapat perbedaan. Perkawinan indukan sapi PO dilakukan melalui kawin suntik. Sementara sapi BX dikawinkan secara alami dengan pejantan. Kawin alami sapi BX hanya diketahui pejantannya yang dikenal sebagai silent birahi. Proses kawin tersebut sesuai dengan pola tempat asalnya, Australia.

Lebih jauh Suhadi menuturkan, dengan pola kawin alami tersebut indukan sapi BX bisa beranak setiap tahun. Hingga bunting ketiga, koperasi sudah memperoleh 266 pedet sapi BX. Dari situ, indukannya disebar ke enam kelompok.

Belajar dari kemitraan dengan IACCB, Suhadi meyakini, peternak lokal sudah mampu menjalankan usaha pembibitan sapi unggul impor. Hanya saja, ia menilai, risiko usaha pembibitan lebih tinggi dibanding penggemukan dan margin keuntungannya lebih kecil dengan waktu lebih lama.



Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 323 terbit Mei 2021 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain