Foto: Try Surya Anditya
Semakin tinggi IP, semakin efisien
Optimalnya performa unggas bukan hanya ditentukan dari faktor genetik dan lingkungan, tapi juga man power.
Tingkat efisiensi produksi menjadi tolok ukur keberhasilan dalam melakukan budidaya unggas. Menurut Ibnu Faris, Direktur Berkah Utama Satwa, peternakan ayam ras pedaging (broiler) di Subang, Jabar, efisiensi diperoleh berkat performa optimal yang ditunjang semangat wirausaha. Beternak tidak semata-mata hanya memelihara, pengelolaan secara totalitas akan berimbas pada minimnya risiko dan maksimalnya laba.
“Kecepatan tumbuh broiler dengan mengejar efisiensi tentu ada risiko, namun ada pula keuntungan yang didapat dari proses budidaya,” bahas lulusan peternakan IPB University ini, di tengah diskusi Poultry Preneur Academy, Rabu (28/4).
Faktor Penentu
Lebih lanjut Wakil Ketua Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Bidang Broiler ini menerangkan, performa unggas harus bisa dinilai dengan angka (kuantitas).
Tingkat efisiensi produksi menjadi tolok ukur keberhasilan dalam melakukan budidaya unggas. Menurut Ibnu Faris, Direktur Berkah Utama Satwa, peternakan ayam ras pedaging (broiler) di Subang, Jabar, efisiensi diperoleh berkat performa optimal yang ditunjang semangat wirausaha. Beternak tidak semata-mata hanya memelihara, pengelolaan secara totalitas akan berimbas pada minimnya risiko dan maksimalnya laba.
“Kecepatan tumbuh broiler dengan mengejar efisiensi tentu ada risiko, namun ada pula keuntungan yang didapat dari proses budidaya,” bahas lulusan peternakan IPB University ini, di tengah diskusi Poultry Preneur Academy, Rabu (28/4).
Faktor Penentu
Lebih lanjut Wakil Ketua Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Bidang Broiler ini menerangkan, performa unggas harus bisa dinilai dengan angka (kuantitas).
Indikatornya adalah bobot final, lama pemeliharaan, konsumsi pakan, dan mortalitas. Semua hal tersebut dikalkulasikan menjadi index performance (IP). Tingginya nilai IP berasal dari performa genetik yang semakin baik dan teknologi pakan yang meningkat.
Mayoritas peternak masih menjual produk dalam bentuk ayam hidup (live bird – LB). Nilai jual LB sangat bertumpu pada penyusutan bobot dari saat panen hingga sampai di pasar. Ayam dengan IP tinggi susut bobotnya sedikit lantaran dagingnya lebih padat.
“Fenotipe ayam yang dagingnya padat berbanding lurus dengan IP yang didapat. IP kami hampir tiap bulan 408, tapi kadang bisa mencapai 490-500. Di balik IP yang tinggi, perlu ada penghematan biaya produksi,” tandasnya.
Dalam urusan bibit, ia memilih strain dan breeder yang menghasilkan performa DOC (bibit ayam) terbaik. Faktor awal ini, dinilai Ibnu, menjadi penentu 30% keberhasilan produksi. Kemudian 70% lainnya yang diusahakan adalah lingkungan.
Mayoritas peternak masih menjual produk dalam bentuk ayam hidup (live bird – LB). Nilai jual LB sangat bertumpu pada penyusutan bobot dari saat panen hingga sampai di pasar. Ayam dengan IP tinggi susut bobotnya sedikit lantaran dagingnya lebih padat.
“Fenotipe ayam yang dagingnya padat berbanding lurus dengan IP yang didapat. IP kami hampir tiap bulan 408, tapi kadang bisa mencapai 490-500. Di balik IP yang tinggi, perlu ada penghematan biaya produksi,” tandasnya.
Dalam urusan bibit, ia memilih strain dan breeder yang menghasilkan performa DOC (bibit ayam) terbaik. Faktor awal ini, dinilai Ibnu, menjadi penentu 30% keberhasilan produksi. Kemudian 70% lainnya yang diusahakan adalah lingkungan.
Faktor ini merupakan hasil dari pengelolaan sapronak, perkandangan, manajemen tata laksana dengan ditentukan oleh tenaga manusia (man power).
Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 323 terbit Mei 2021 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.
Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 323 terbit Mei 2021 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.