Foto: Dok. BULOG
“Di dunia ini tidak ada yang tidak bisa, tergantung pada mau atau tidak.”
Pedoman 3K mengantarkan pada keberhasilan.
Terkenal ahli menangani masalah kriminal dan pemberantasan narkoba, bagaimana Komjen. Pol. (Purn.) Drs. Budi Waseso bisa ahli meracik dan berbisnis kopi hingga piawai mengelola pangan nasional? Pria yang akrab disapa Buwas itu menuturkan kisahnya secara ekslusif kepada AGRINA.
Paling Bodoh
Buwas mengaku tidak punya pengalaman di bidang perberasan bahkan masalah pangan. “Itu berkesan sekali karena pada saat awal menjadi Dirut BULOG, jadi orang yang paling bodoh di BULOG karena tidak mengetahui harus bagaimana,” ucap Dirut Perum Badan Urusan Logistik (BULOG) ini blak-blakan.
Ia melalui banyak suka-duka ketika mengawali karir di dunia baru tersebut. “Levelnya pada saat itu di kepolisian, tinggi. Begitu di BULOG mulai dari nol lagi, belajar dari nol. Lebih pintar karyawan saya soal per-BULOG-an. Tapi saya harus tahu, belajar, tidak boleh menutup diri atau gengsi,” ujarnya santai.
Keinginan belajar yang tinggi malah membuat para staf ragu menjawab pertanyaan yang ia ajukan. Pasalnya, mereka mengira sang pemimpin hanya mengetes. “Yang ditanya juga ragu, ini Pak Dirut nanya atau ngetes? Padahal, memang tidak tahu,” sahutnya mengingat pengalaman awal mengurus BULOG.
Namun, pria kelahiran 19 Februari 1960 ini pantang menyerah. “Saya terus belajar, berkarya, berinovasi, bagaimana ke depan kita punya karya yang bisa bermanfaat buat negara,” ujar Buwas optimis.
Ia mengungkap, cukup kesulitan mengelola beras. “Karena beras, pangan, rentan sekali pada turunnya kualitas atau mutu. Menanganinya tidak mudah. Sehingga belajar, berpikir, bagaimana supaya beras ini tidak turun mutu, beras ini berkualitas sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau standarnya,” urai Buwas.
Menurut Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka ke-8 ini, pangan bukan hanya beras tapi ada singkong, jagung, ubi, sagu, kentang, dan lainnya. Untuk mempertahankan mutu sekaligus mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan, hilirisasi menjadi pilihan.
“Kita berhasil mewujudkan beras dari singkong, jagung, bahkan beras yang dari menir dijual murah dan dijadikan tepung. Tepung itu dikelola menjadi beras lagi. Tidak ada yang sia-sia. Pangan harus kita kuatkan dengan pengolahan, kolaborasi dengan para ahli sehingga bisa menciptakan hal baru,” paparnya antusias.
Tentu saja, sambung dia, kedaulatan pangan harus digarap bersama dari hulu ke hilir. “Kalau kedaulatan pangan itu pangan sudah ada di masyarakat. Jadi, rakyat tidak lagi terombang-ambing takut, keraguan, apalagi pesimistis tentang pangan tidak ada,” tandasnya.
Pengabdian
Meski dunia kepolisian dan perberasan berbeda jauh, Buwas memegang prinsip bisa bermanfaat untuk kepentingan orang lain di manapun berada. “Artinya, setiap langkah kita dalam suatu kehidupan, menit, detik, harus bermanfaat,” jelas lulusan Akademi Kepolisian tahun 1984 itu.
Ia menganggap tugas saat ini sebagai wujud pengabadian pada negara dan bangsa. “Pengabdian saya dalam kehidupan masyarakat, bangsa Indonesia, pangan ini kita kelola dengan baik, terus mengembangkannya dengan baik,” lanjutnya.
Menurut Buwas, pengabdian menuntut keikhlasan tanpa diikuti kepentingan pribadi. Walau berada di bawah tekanan, bekerja akan terasa tenang ketika ikhlas. “Pada prinsipnya, apapun tugas kita itu adalah amanah. Jangan merasa terpaksa. Makanya, selama ini saya tidak ada bebannya. Yang penting yang bisa saya kerjakan, saya kerjakan sebaik mungkin,” urainya bijak.
Ditambah lagi, ia memegang kuat pedoman 3K yang diajarkan sang ayah. “Ternyata, keberhasilan seseorang itu dengan pedoman 3K,” buka anak kolong ini. Kepanjangan 3K yaitu komitmen, konsisten, dan konsekuen. Manusia harus punya komitmen dalam menjalani hidup dan dilakukan secara konsisten. Jika menemui kendala, tidak boleh menyerah dan harus konsekuen atau teguh karena itu pilihan yang sudah diambil.
Seperti halnya ujian kenaikan kelas, begitu pula kehidupan. Ada ujian masalah untuk mengangkat derajat manusia. “Ini sebenarnya pengembangan 3K. Tidak boleh menyerah, patah arang, dan jangan menyalahkan orang lain atau mencari kambing hitam. Itu sebagai pemacu kita lebih maju, waspada, dan hati-hati,” paparnya.
Belajar Kopi
Semangat mengabdi membawa Buwas belajar tentang kopi hingga mengembangkan Kopi Jenderal dan membuka kedai kopi Jenderal Kopi Nusantara Buwas. Semua ini bermula dari salah satu programnya memberantas peredaran narkoba (narkotika, psikotropika, dan obat terlarang).
Saat menjadi Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Buwas berhasil mengajak petani ganja di Aceh untuk mengganti tanamannya dengan kopi. “Saya belajar dari Republik Kolombia, Thailand, dan lain-lain tentang menghilangkan tanaman ganja. Itu berhasil,” akunya puas.
Jelang pensiun, Buwas mengunjungi Aceh dan melihat tanaman kopi telah berkembang. Persoalan datang sewaktu ia pamit pada para petani kopi. Mereka mempertanyakan siapa yang nantinya akan membeli hasil panen kopi. “Itu yang menjadi beban saya,” ungkapnya.
Buwas langsung menjawab singkat. “Saya pensiun, saya beli,” cetusnya. Padahal, ungkap mantan Kabareskrim Polri itu, “Saya tidak mengerti tentang kopi. Konsekuensinya, saya belajar mengenai kopi di kala pensiun.” Karena belajar sungguh-sungguh, ia jadi tahu cara menghasilkan biji kopi berkualitas premium. Ia menamai kopinya sebagai Kopi Jenderal dan sudah diekspor ke beberapa negara di Eropa.
“Saya sekarang bisa bikin kopi berkualitas premium. Harganya juga premium tapi saya jual bukan harga premium. Saya tidak jual mahal. Saya berpihak kepada petani dan menyemangati petani supaya produksi kopi berkualitas dengan harapan saya meningkatkan petani kopi,” terangnya bahagia.
Ia bahkan bisa meracik kopi setelah belajar dari ahli kopi dunia selepas pertemuan tidak sengaja di acara kontes barista di Borobudur, DIY. “Saya punya ilmunya karena yang mengajari saya ini ahli kopi dunia. Ada resep dan aturan yang saya ikuti. Beliau memberikan ilmunya via email (surat elektronik),” tukasnya.
Buwas pun menurunkan ilmu itu kepada para petani agar bisa menghasilkan kopi berkualitas dari sejak penanaman hingga menyajikan di meja. “Harganya pasti bagus, mahal. Yang dapat untung petani kopi. Petani kopi jangan sampai dibohongi dibeli murah tapi dia punya nilai dengan kualitas baik,” imbuhnya.
Kemudian, ia membuka kedai kopi Jenderal Kopi Nusantara Buwas di gedung BULOG. Tujuannya, memberi pengalaman pada tim BULOG bahwa apapun bisa dilakukan jika punya semangat dan kemauan belajar. “Di dunia ini tidak ada yang tidak bisa, tergantung pada mau atau tidak,” serunya.
Keberhasilan ini menginspirasinya untuk memperkenalkan kedai Kopi Jenderal di Bandung, Jabar. “Ternyata responnya besar. Ini nantinya juga saya coba untuk ke daerah lain. Cuma karena terhambat masalah Covid, jadi tidak bisa cepat,” pungkasnya semringah menutup perbincangan menarik itu.
Windi Listianingsih, Sabrina Y, Try SA.
Terkenal ahli menangani masalah kriminal dan pemberantasan narkoba, bagaimana Komjen. Pol. (Purn.) Drs. Budi Waseso bisa ahli meracik dan berbisnis kopi hingga piawai mengelola pangan nasional? Pria yang akrab disapa Buwas itu menuturkan kisahnya secara ekslusif kepada AGRINA.
Paling Bodoh
Buwas mengaku tidak punya pengalaman di bidang perberasan bahkan masalah pangan. “Itu berkesan sekali karena pada saat awal menjadi Dirut BULOG, jadi orang yang paling bodoh di BULOG karena tidak mengetahui harus bagaimana,” ucap Dirut Perum Badan Urusan Logistik (BULOG) ini blak-blakan.
Ia melalui banyak suka-duka ketika mengawali karir di dunia baru tersebut. “Levelnya pada saat itu di kepolisian, tinggi. Begitu di BULOG mulai dari nol lagi, belajar dari nol. Lebih pintar karyawan saya soal per-BULOG-an. Tapi saya harus tahu, belajar, tidak boleh menutup diri atau gengsi,” ujarnya santai.
Keinginan belajar yang tinggi malah membuat para staf ragu menjawab pertanyaan yang ia ajukan. Pasalnya, mereka mengira sang pemimpin hanya mengetes. “Yang ditanya juga ragu, ini Pak Dirut nanya atau ngetes? Padahal, memang tidak tahu,” sahutnya mengingat pengalaman awal mengurus BULOG.
Namun, pria kelahiran 19 Februari 1960 ini pantang menyerah. “Saya terus belajar, berkarya, berinovasi, bagaimana ke depan kita punya karya yang bisa bermanfaat buat negara,” ujar Buwas optimis.
Ia mengungkap, cukup kesulitan mengelola beras. “Karena beras, pangan, rentan sekali pada turunnya kualitas atau mutu. Menanganinya tidak mudah. Sehingga belajar, berpikir, bagaimana supaya beras ini tidak turun mutu, beras ini berkualitas sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau standarnya,” urai Buwas.
Menurut Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka ke-8 ini, pangan bukan hanya beras tapi ada singkong, jagung, ubi, sagu, kentang, dan lainnya. Untuk mempertahankan mutu sekaligus mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan, hilirisasi menjadi pilihan.
“Kita berhasil mewujudkan beras dari singkong, jagung, bahkan beras yang dari menir dijual murah dan dijadikan tepung. Tepung itu dikelola menjadi beras lagi. Tidak ada yang sia-sia. Pangan harus kita kuatkan dengan pengolahan, kolaborasi dengan para ahli sehingga bisa menciptakan hal baru,” paparnya antusias.
Tentu saja, sambung dia, kedaulatan pangan harus digarap bersama dari hulu ke hilir. “Kalau kedaulatan pangan itu pangan sudah ada di masyarakat. Jadi, rakyat tidak lagi terombang-ambing takut, keraguan, apalagi pesimistis tentang pangan tidak ada,” tandasnya.
Pengabdian
Meski dunia kepolisian dan perberasan berbeda jauh, Buwas memegang prinsip bisa bermanfaat untuk kepentingan orang lain di manapun berada. “Artinya, setiap langkah kita dalam suatu kehidupan, menit, detik, harus bermanfaat,” jelas lulusan Akademi Kepolisian tahun 1984 itu.
Ia menganggap tugas saat ini sebagai wujud pengabadian pada negara dan bangsa. “Pengabdian saya dalam kehidupan masyarakat, bangsa Indonesia, pangan ini kita kelola dengan baik, terus mengembangkannya dengan baik,” lanjutnya.
Menurut Buwas, pengabdian menuntut keikhlasan tanpa diikuti kepentingan pribadi. Walau berada di bawah tekanan, bekerja akan terasa tenang ketika ikhlas. “Pada prinsipnya, apapun tugas kita itu adalah amanah. Jangan merasa terpaksa. Makanya, selama ini saya tidak ada bebannya. Yang penting yang bisa saya kerjakan, saya kerjakan sebaik mungkin,” urainya bijak.
Ditambah lagi, ia memegang kuat pedoman 3K yang diajarkan sang ayah. “Ternyata, keberhasilan seseorang itu dengan pedoman 3K,” buka anak kolong ini. Kepanjangan 3K yaitu komitmen, konsisten, dan konsekuen. Manusia harus punya komitmen dalam menjalani hidup dan dilakukan secara konsisten. Jika menemui kendala, tidak boleh menyerah dan harus konsekuen atau teguh karena itu pilihan yang sudah diambil.
Seperti halnya ujian kenaikan kelas, begitu pula kehidupan. Ada ujian masalah untuk mengangkat derajat manusia. “Ini sebenarnya pengembangan 3K. Tidak boleh menyerah, patah arang, dan jangan menyalahkan orang lain atau mencari kambing hitam. Itu sebagai pemacu kita lebih maju, waspada, dan hati-hati,” paparnya.
Belajar Kopi
Semangat mengabdi membawa Buwas belajar tentang kopi hingga mengembangkan Kopi Jenderal dan membuka kedai kopi Jenderal Kopi Nusantara Buwas. Semua ini bermula dari salah satu programnya memberantas peredaran narkoba (narkotika, psikotropika, dan obat terlarang).
Saat menjadi Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Buwas berhasil mengajak petani ganja di Aceh untuk mengganti tanamannya dengan kopi. “Saya belajar dari Republik Kolombia, Thailand, dan lain-lain tentang menghilangkan tanaman ganja. Itu berhasil,” akunya puas.
Jelang pensiun, Buwas mengunjungi Aceh dan melihat tanaman kopi telah berkembang. Persoalan datang sewaktu ia pamit pada para petani kopi. Mereka mempertanyakan siapa yang nantinya akan membeli hasil panen kopi. “Itu yang menjadi beban saya,” ungkapnya.
Buwas langsung menjawab singkat. “Saya pensiun, saya beli,” cetusnya. Padahal, ungkap mantan Kabareskrim Polri itu, “Saya tidak mengerti tentang kopi. Konsekuensinya, saya belajar mengenai kopi di kala pensiun.” Karena belajar sungguh-sungguh, ia jadi tahu cara menghasilkan biji kopi berkualitas premium. Ia menamai kopinya sebagai Kopi Jenderal dan sudah diekspor ke beberapa negara di Eropa.
“Saya sekarang bisa bikin kopi berkualitas premium. Harganya juga premium tapi saya jual bukan harga premium. Saya tidak jual mahal. Saya berpihak kepada petani dan menyemangati petani supaya produksi kopi berkualitas dengan harapan saya meningkatkan petani kopi,” terangnya bahagia.
Ia bahkan bisa meracik kopi setelah belajar dari ahli kopi dunia selepas pertemuan tidak sengaja di acara kontes barista di Borobudur, DIY. “Saya punya ilmunya karena yang mengajari saya ini ahli kopi dunia. Ada resep dan aturan yang saya ikuti. Beliau memberikan ilmunya via email (surat elektronik),” tukasnya.
Buwas pun menurunkan ilmu itu kepada para petani agar bisa menghasilkan kopi berkualitas dari sejak penanaman hingga menyajikan di meja. “Harganya pasti bagus, mahal. Yang dapat untung petani kopi. Petani kopi jangan sampai dibohongi dibeli murah tapi dia punya nilai dengan kualitas baik,” imbuhnya.
Kemudian, ia membuka kedai kopi Jenderal Kopi Nusantara Buwas di gedung BULOG. Tujuannya, memberi pengalaman pada tim BULOG bahwa apapun bisa dilakukan jika punya semangat dan kemauan belajar. “Di dunia ini tidak ada yang tidak bisa, tergantung pada mau atau tidak,” serunya.
Keberhasilan ini menginspirasinya untuk memperkenalkan kedai Kopi Jenderal di Bandung, Jabar. “Ternyata responnya besar. Ini nantinya juga saya coba untuk ke daerah lain. Cuma karena terhambat masalah Covid, jadi tidak bisa cepat,” pungkasnya semringah menutup perbincangan menarik itu.
Windi Listianingsih, Sabrina Y, Try SA.