“Indonesia sebagai produsen dan eksportir sawit terbesar di dunia seharusnya memimpin diplomasi sawit dunia. Apalagi kritik keras banyak ditujukan pada sawit negara kita terutama tentang keberlanjutannya,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec.,Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancara AGRINA.
Apa penyebab industri sawit berkembang pesat pada masa reformasi?
Pada masa Orde Baru perkembangan sawit kita cukup pesat namun Indonesia tetap pada posisi nomor dua. Sesudah Orde Baru, yakni masa reformasi, ekspansi sawit Indonesia semakin dipercepat dengan dua kebijakan penting.
Pertama, kebijakan nilai tukar rupiah dari fixed exchange rate keflexible exchange rate, secara tiba-tiba industri sawit menjadi jauh lebih menguntungkan. Hal itu menjadi pendorong perkembangan sawit yang luar biasa bagi pengusaha swasta nasional dan asing, serta para petani.
Kedua, kebijakan pelaksanaan otonomi daerah pada pemerintahan tingkat dua. Dengan demikian keputusan mengenai pertanian dan izin-izinnya ditransfer dari pusat ke daerah.
Alhasil pada 2006 Indonesia mendapatkan statusnya kembali, tidak hanya sebagai produsen dan eksportir sawit terbesar di dunia tetapi juga menguasai pangsa pasar terbesar minyak nabati dunia.
Jika sebelum 2006 diplomasi internasional sawit dipimpin pihak Malaysia, selanjutnya kepemimpinan itu secara lambat laun harus datang dari Indonesia. Salah satu alasannya, kritik dunia terhadap pengembangan perkebunan sawit lebih banyak diarahkan ke Indonesia.
Selain itu, Pemerintah Indonesia bersama Pemerintah Malaysia sepakat untuk membentuk organisasi kelapa sawit yakni Council of Palm Oil Production Country (CPOPC) yang bertujuan mengkoordinasikan aksi bersama promosi sawit.
Bagaimana diplomasi ekonomi sawit Indonesia ke depan?
Sawit bisa bertumbuh dengan cepat karena diplomasi ekonomi kita berhasil merubah keunggulan komparatif sawit menjadi keunggulan kompetitif secara berkelanjutan. Pada saat yang sama industri sawit kita berada pada pasar minyak nabati dunia yang bertumbuh besar dan cepat.
Jadi perkembangan industri sawit nasional merupakan respon terhadap pertumbuhan konsumsi yang besar dan cepat di seluruh dunia.
Konversi keunggulan komparatif menjadi kompetitif banyak disumbang oleh diplomasi ekonomi yang bersifat responsif terhadap perubahan, fleksibel dalam penyesuaian dan secara konsisten memperbaiki diri.
Diplomasi demikianlah yang telah membawa prestasi industri sawit nasional yang efektif dan berkelanjutan kendati pun di sana-sini terjadi gemuruh ‘yang berakibat terjadinya in-efisiensi di banyak tempat’.
Menurut berbagai studi, permintaan terhadap minyak nabati dunia masih terus berkembang dan bertumbuh terutama di negara-negara sedang bekembang.
Namun, kritik terhadap minyak sawit dunia khususnya Indonesia terus semakin gencar terutama tuntutan untuk keberlanjutan.
Selain itu, persaingan yang tidak fair dalam bentuk black campaign akan terus dilancarkan oleh para produsen minyak nabati non-sawit khususnya dari negara-negara maju.
Oleh karena itu, untuk masa yang akan datang diplomasi ekonomi sawit kita harus ditingkatkan dengan berbagai cara.
Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 321 terbit Maret 2021 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.