Selasa, 2 Maret 2021

TANAMAN PANGAN : Petani Lampung Melirik Sorgum

TANAMAN PANGAN : Petani Lampung Melirik Sorgum

Foto: Syafnijal Datuk Sinaro
Budidaya sorgum rendah biaya produksi dan mudah dilakukan

Sekali tanam bisa panen tiga kali dan rendah biaya produksi.


Tajamnya fluktuasi harga singkong dan jagung tidak menyurutkan semangat petani di Lampung untuk bercocok tanam bahan pangan. Namun, mereka mulai beralih ke komoditas lain, seperti talas jepang dan porang.
 
Bahkan terakhir, petani di berbagai daerah mulai menanam sorgum (Sorghum bicolour) yang rendah biaya produksi, bisa tumbuh di lahan marjinal, dan tahan musim kemarau.


Mulai Menanam

Di antara petani yang sudah menanam sorgum, terdapat nama Maulana dan Doni, warga Kota Bandarlampung. Keduanya menanam sorgum di lahan seluas hampir 3 ha di kawasan Garuntang, Kecamatan Telukbetung Selatan.

Maulana mengaku tertarik menanam sorgum setelah diperkenalkan Ketua Umum Indonesia Cerdas Desa (ICD), M. Taufik pada pertengahan 2019.
 
Meski mendapat bimbingan ICD, mereka tidak langsung mau menanam karena belum yakin soal pasar dan harga jual. “Kalau teman-teman petani di Lampung Timur, langsung nanam ketika diberi bibit (benih) oleh ICD,” ujarnya kepada AGRINA.

Setelah petani di Lampung Timur panen dengan biji sorgum dijual ke ICD serta batangnya dijual ke peternakan sapi, baru Maulana dan Doni tertarik menanam. Saat petani di Lampung Timur sudah mau panen ketiga, “Kita baru tanam,” tukas Maulana yang biasa dipanggil Pak Uje.

Dibanding tanaman pangan lain, ungkapnya, cara bercocok tanam sorgum lebih mudah dan biaya produksinya lebih rendah. Olah tanah cukup dibajak pada garis yang akan dijadikan lubang tanam. Pemakaian pupuk kandang lebih sedikit, cukup 50 karung/ha atau separuh kebutuhan pupuk buat jagung.

Penanaman benih bisa dilakukan meski hujan turun sekali saja karena sorgum tidak banyak butuh air. Dua hari setelah ditabur, biji sorgum mulai tumbuh dan panen pada usia 105-110 hari.
 
“Pemupukan kedua bisa menggunakan urea. Tetapi ke depannya akan disubstitusi dengan pupuk organik karena sorgum yang dihasilkan petani mitra ICD adalah sorgum organik,” jelas Uje.

Yang rumit pada budidaya sorgum adalah pemusnahan gulma secara manual. Karena jika menggunakan herbisida, bisa mengganggu batang sorgum.
 
Sementara untuk hama, ulas Doni, berupa burung, babi, dan monyet, terutama bagi kebun yang berlokasi di dekat hutan.


Panen 3 Kali

Uje memaparkan, sorgum hampir sama dengan tebu. Sekali tanam benih, bisa dipanen sampai tiga kali sehingga hemat benih dan biaya olah tanah.
 
Bahkan, produksi pada panen kedua lebih tinggi 20% daripada panen pertama karena perakaran sorgum sudah sempurna. Rata-rata produksi sorgum 2,5-6 ton/ha. “Namun di Lampung Timur, pada panen kedua bisa dicapai 8 ton/ha,” ungkapnya.

Untuk merontokkan biji sorgum dari bonggolnya, jelas Doni, cukup mudah. Tersedia alat perontok biji sorgum yang murah. “Jadi, petani tidak akan kesulitan merontokkan biji sorgum ketika sudah panen,” akunya.

Keunggulan lainnya, batang sorgum tidak saja bisa dijual untuk pakan ternak tetapi bisa diolah menjadi gula dan kecap. “Kalau untuk harga jual batang dan daun sekitar Rp100/kg di kebun,” timpal Doni.

Namun, persoalan yang masih membelit petani yaitu belum ada benih unggul bersertifikat. Yang ada benih bersertifikat dari ICD. Akibatnya meski ditanam serentak, pertumbuhan sorgum tidak seragam.


Konversi Tanaman

Ketua ICD Lampung Selatan, Agung Hendro Prijono menambahkan, di daerahnya petani juga melirik sorgum sebagai solusi tajamnya fluktuasi harga singkong dan jagung. Setidaknya 15 petani binaan dengan luas lahan 25 ha menanam sorgum di Kecamatan Natar, Tanjung Bintang, dan Sidomulyo.

Ia mengaku, petani banyak yang tertarik tetapi menunggu stabilitas harga sorgum seperti yang dijanjikan ICD. Sebab, mereka trauma dengan kasus kedelai program pemerintah yang jatuh harganya saat panen. Sejak itu petani tidak langung percaya jika diajak menanam komoditas baru.

Pertimbangan mereka, jagung dan singkong yang pabriknya puluhan di Lampung, masih anjlok harganya ketika panen raya. Apalagi, sorgum belum ada pabrik pengolahannya di Lampung.

Agung berharap harga sorgum stabil di angka Rp2.500/kg untuk kadar air 14%. “Jika harga biji sorgum stabil, musim tanam gadu (kemarau) mendatang petani yang biasanya menanam singkong bakal bakal ramai-ramai menanam sorgum,” prediksinya.   

Menurut Prof. Bambang Subianto, peneliti LIPI, pada 2013 LIPI melakukan uji coba penanaman sorgum di Lampung Selatan. Uji coba ini dinyatakan berhasil sebab kondisi lahan cocok untuk tanam sorgum dengan produktivitas mencapai 230 ton/ha.

Pemimpin uji coba itu menyatakan, sorgum yang ditanam di Lampung Selatan termasuk jenis B6 yang dapat digunakan sebagai bahan pembuatan sirup, pakan ternak, dan bioetanol. "Ini varietas sorgum super sweet yang memiliki kandungan gula tinggi, sekitar 16%-21%," ungkapnya.


Pemberdayaan Petani

Organisasi nirlaba ICD, ungkap Taufik, mengajak petani menanam sorgum karena bisa digunakan sebagai bahan pangan, pakan ternak, dan bahan baku industri. Sorgum mengandung karbohidrat, protein, kalsium, dan zat lain yang bermanfaat, serta tidak menghasilkan limbah (zero waste).

“Kami merupakan perkumpulan yang berada pada garis depan pemberdayaan masyarakat terhadap potensi desa di seluruh Indonesia yang menggalakkan penanaman sorgum sebagai pangan alternatif,” ujar peraih penghargaan sebagai pelopor dalam mendukung bioteknologi untuk ketahanan pangan, kesejahteraan, dan ekspor dari Balai Besar Litbang Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik (BB Biogen).  

Pada musim tanam 2020, ICD mengembangkan sorgum di 10 provinsi seluas hampir 2.000 ha. Termasuk, lahan tanam benih bioguma bersertifikasi nasional di Way Kanan, Lampung sebagai tindak lanjut kesepakatan ICD dengan BB Biogen.
 
Di lokasi ini juga akan dibangun pabrik tepung dan etanol melalui badan usaha yang dibentuk ICD. Selain itu, menjalin kerja sama dengan sejumlah perusahaan swasta produsen tepung untuk menampung sorgum petani mitra, seperti PT Wotan dan penjajakan dengan PT Bogasari.

Taufik menambahkan, ICD dibentuk pada petengahan 2017 beranggotakan mantan tenaga pendamping Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM) Pedesaan. Selanjutnya, ICD menjadi mitra Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal & Transmigrasi untuk program Tim Penyedia Peningkatan Kapasitas Teknis Desa (P2KTD).



Syafnijal Datuk Sinaro (Lampung)

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain