Pandemi virus Corona SARS-Cov2 sepanjang 2020 melumpuhkan perekonomian global termasuk Indonesia. Pertumbuhan ekonomi negara kita, menurut data Badan Pusat Statistik, ikut terkontraksi, mulai kuartal II, minus 5,32%, kuartal III minus 3,49%.
Dan kuartal IV pun, menurut perkiraan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers virtual 21 Desember 2020, pertumbuhan ekonomi masih minus 2,9% hingga - minus 0,9%. Jadi, Indonesia secara teknis mengalami resesi karena pertumbuhan ekonominya minus dua kuartal berturut-turut.
Kabar baiknya, ekonomi kita mulai bangkit. Tahun ini pemerintah mengharapkan perekonomian tumbuh positif, 4,5%-5%. Sementara Bank Dunia memproyeksikan ekonomi kita akan pulih dalam dua tahun mendatang dengan pertumbuhan 4,4% pada 2021 dan 4,8% pada 2022.
Namun lembaga internasional ini memberi catatan adanya ketidakpastian yang masih tinggi akibat dinamika pandemi Covid-10 di Indonesia dan negara-negara lain. Prediksi pertumbuhan itu dapat merosot menjadi 3,1% pada 2021 dan 3,8% pada 2022 bila kebijakan pengetatan mobilitas dan pembatasan sosial skala besar kembali diberlakukan di Indonesia, pertumbuhan global melemah, dan harga komoditas tidak membaik.
Pertanian termasuk satu dari hanya lima sektor yang tumbuh positif pada kuartal II dan III 2020 dengan capaian 2,19% dan 2,15%. Ekonom senior Bustanul Arifin, dalam konferensi sawit, IPOC 2020, mengistilahkannya, pertanian sebagai “bantal” sementara dalam resesi ekonomi. Begitu pentingnya peran pertanian sebagai penyedia pangan dan lapangan kerja dalam masa pandemi. Ia melihat adanya fenomena ruralisasi, yakni para pekerja di perkotaan yang kehilangan pekerjaan kembali ke desa dan terjun ke pertanian.
Untuk mendorong kinerja sektor pertanian, salah satu caranya adalah peningkatan produktivitas dan efisiensi dengan mekanisasi. Dengan laju alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian yang tidak terkejar oleh laju pencetakan sawah baru, maka jalan terbaik adalah meningkatkan produktivitas lahan itu. Caranya bisa dengan mempersingkat fase persiapan lahan, mempercepat proses tanam dan pemeliharaan, mengebut panen, dan akhirnya menyelamatkan potensi kehilangan hasil.
Untuk itu pemerintah mengalokasikan bujet ratusan miliar rupiah tiap tahun guna memberikan bantuan cuma-cuma alat dan mesin pertanian (alsintan) kepada para petani melalui kelompok. Pemberian bantuan sebagai pengungkit modernisasi praktik pertanian ini sudah berlangsung beberapa tahun.
Pemerintah berharap, alsintan bantuan tersebut dikelola Unit Usaha Pelayanan Jasa Alat dan Mesin Pertanian (UPJA) yang dibentuk di kelompok tani atau gapoktan untuk memberikan manfaat ekonomi di dalam kelompok maupun di luar kelompok. Petani anggota kelompok dan di luar kelompok dapat menyewa alsintan itu untuk menggarap lahan masing-masing. Sejauh ini alsintan prapanen bantuan, khususnya di pertanian padi/jagung berupa traktor roda dua dan roda empat, mesin tanam, pompa air, dan alat semprot. Sedangkan alsintan pascapanennya berupa mesin pemanen (combine harvester), pengering (dryer), dan unit penggilingan pagi (rice milling unit).
Kita tak menafikan terjadi perbaikan produksi dan efisiensinya di kelompok-kelompok penerima bantuan alsintan. Namun kasus mangkraknya alsintan bantuan juga ada. Salah satu penyebabnya adalah alsintan itu tidak sesuai kebutuhan petani, dilihat dari spesifikasi teknis maupun ekonomisnya.
Satu contoh kasus, petani memperoleh bantuan mesin pengering yang harganya berdasarkan katalog elektronik sekitar Rp1,2 miliar. Namun sampai setahun hanya dimanfaatkan untuk uji coba dua kali karena biayanya jauh lebih tinggi ketimbang pengeringan dengan lantai jemur. Sementara di daerah lain, banyak petani membutuhkan sarana tersebut karena skala usahanya lebih besar dan minim tenaga kerja.
Kita menitip pesan agar bantuan alsintan tepat sasaran sehingga produktivitas dan efisiensi meningkat. Dan lebih banyak generasi muda melek teknologi mau menekuni pertanian yang tidak lagi berkonotasi kotor.
Peni sari Palupi