Rabu, 2 Desember 2020

PETERNAKAN : Begini Solusi Peternakan ala Pakar

PETERNAKAN : Begini Solusi Peternakan ala Pakar

Foto: Dok. Pribadi
Suhubdy, peternak rakyat harus menggunakan teknologi

Perlu adanya kerja sama dengan stakeholder agar sapi kerbau tetap eksis.


Universitas Andalas, Padang, mengadakan webinar nasional bertema “Tantangan dan Solusi Perkembangan Sapi dan Kerbau dari Hulu hingga Hilir”.
 
Prof. Dr. Yuliandri, SH, MH, Rektor Universitas Andalas, mengatakan, para pakar menyadari banyak masalah terkait sapi dan kerbau. “Pengembangan peternakan sapi dan kerbau dari hulu hingga hilir merupakan cara paling tepat sehingga masyarakat bisa memanfaatkan potensi yang ada di lapangan,” cetusnya.

Acara tersebut menghadirkan empat pakar, yaitu Prof. Mohammad Winugroho, pakar nutrisi dan pakan, Prof. Suhubdy, Ph.D.,  pakar ternak kerbau, Prof. Dr. Ir. Luky Abdullah, M.Sc.Agr., pakar hijauan pakan ternak, dan Prof. Dr, Ir. Mardiati Zain, M.S., pakar nutrisi ruminansia.


Manfaatkan Lahan Perkebunan

Mohammad Winugroho, Guru Besar Universitas Djuanda, Bogor, berpendapat, untuk mempertahankan eksistensi sapi dan kerbau rakyat perlu sistem pengembangbiakan. Ia merinci kurun waktu lima tahun terakhir, jumlah rumah tangga usaha peternak sapi potong mengalami penurunan.
 
Data tersebut dia ambil dari Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementan, per Juni 2020. Karena itu, “Kami mengajak peternak memulai dengan pembiakan sapi,” lanjutnya.

Lebih jauh Winugroho memaparkan, untuk meningkatkan populasi sapi dan kerbau, pertama, melalui pembiakan atau usaha pemeliharaan ternak dengan tujuan memperbanyak anak.
 
Kedua, penggemukan, yakni usaha pemeliharaan ternak dengan tujuan meningkatkan bobot ternak dengan cara membeli bakalan ternak dan menjualnya bila sudah cukup umur.
 
Selanjutnya, pembibitan, yaitu usaha pemeliharaan ternak dengan tujuan memperoleh anakan, bakalan (ternak muda) yang mewarisi sifat unggul.

“Jika diihat dari data bahwa pembiakan sapi 66% artinya masyarakat fokus pada pembiakan. Disusul penggemukan 34%, dan pembibitan masih kecil 0,1%. Data menunjukkan sentra populasi sapi potong hampir ada di beberapa wilayah Indonesia, sedangkan kerbau hanya beberapa wilayah saja dan harus dipertahankan,” katanya.

Profesor riset di Balai Penelitian Ternak Ciawi itu mencontohkan, populasi sapi bali dan kerbau hampir hilang. Total  sapi bali berjumlah 6.052 ekor pada 2019, sedangkan kerbau 1,1 juta pada 2020 per Juni data Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH).
 
Ia memandang penting pengembangan secara sistematis tetapi ada kendala keterbatasan lahan sebagai tempat hidup sapi dan kerbau.

Keterbatasan lahan, lanjut dia, bisa disiasati dengan memanfaatkan lahan di perkebunan tebu dan sawit. “Integrasi tersebut perlu adanya kerja sama  dengan stakeholder terkait. Sebagai contoh, pengembangan sapi di lahan eks tambang di Kalimantan Timur itu sudah ada. Atau pengembangan sapi di lahan singkong di Kalimantan Tengah,” jelasnya.

Suhubdy juga sepakat, lahan untuk peternakan merupakan masalah yang paling krusial saat ini. Lahan semakin berkurang tapi di sisi lain eksistensi sapi dan kerbau harus tetap dijaga. “Peternak tidak memiliki lahan atau rumah ternak. Lahan untuk peternakan selalu diusir dan tergerus. Belum lagi program cetak sawah baru di Kalimantan, peternakan akan terpinggirkan lagi,” tegasnya.  


Revolusi Industri 4.0

Menurut Suhubdy, kita tidak bisa menafikan perkembangan teknologi yang begitu cepat sehingga mau tidak mau peternakan rakyat harus bisa menggunakan teknologi. Peternak harus siap masuk dalam revolusi industri 4.0, di antaranya mengadopsi aplikasi pertukaran informasi seperti cara beternak hingga memasarkan hasil ternak.

Pakat ternak kerbau Universitas Mataram tersebut menegaskan, peternak harus menggunakan teknologi agar masyarakat yang membutuhkan daging tidak perlu lagi pergi ke pasar. Peternak harus memiliki jejaring yang luas untuk dapat memasarkan hasil ternak.
 
Infrastruktur informasi dan teknologi menjadi keharusan di daerah. “Industri daging sudah memasuki era teknologi karena ibu-ibu sudah tidak lagi sempat pergi ke swalayan tinggal angkat telpon daging langsung datang,” ulasnya.

Suhubdy memaparkan, peternakan harus dilihat dari sisi sistem agribisnis dan mengubah peternakan rakyat jadi efisien bukan industri besar tapi industri biologi.
 
Ia menjabarkan pertama, industri biologi dicirikan oleh peternak sebagai objek yang harus ditingkatkan pendapatan dan kesejahteraannya. Kedua, peternak sebagai objek harus ditingkatkan produksi dan produktivitasnya. Ketiga, lahan sebagai dasar produksi perlu dilestasikan.

Hitungan Suhubdy, hampir 90% usaha peternakan menjadi pekerjaan sambilan sehingga pendapatan yang dihasilkan hanya 30%.
 
“Pengembangan usaha sambilan pendapatan hanya 30%. Kalau ditingkatkan menjadi usaha pokok bisa naik 70%. Kemungkinan kalau ditingkatkan lagi menjadi industri peternakan, maka peternakan rakyat dapat memperoleh pendapatan 100% dari usahanya,” tandasnya.


Prospek Limbah Pertanian

Mardiati Zain, Guru Besar Fakultas Peternakan Universitas Andalas, menyampaikan, hijauan pakan ternak (HPK) begitu penting bagi peternakan. Namun areal penanaman hijauan mulai bergeser menjadi pemukiman dan industri. Hal itu bukan masalah besar karena masih ada limbah perkebunan dan pertanaman padi yang bisa dimanfaatkan sebagai pakan ternak.

Mardiati menjabarkan, pertanian menghasilkan limbah cukup banyak, dari jerami kurang lebih 6 ton/ha, jerami jagung 4,6 ton/ha dan masih ada tambahan tongkol jagung.
 
Sedangkan limbantara dari limbah perkebunan ada kulit buah kakao, pelepah, daun, dan bungkil sawit. “Umumnya petani hanya membakar jerami karena ketidaktahuan bahwa limbah bisa untuk pakan ternak, di sinilah edukasi diperlukan,” ungkapnya.

Lagi-lagi bicara teknologi, lanjut Mardiati, teknologi pengolahan pakan sangat dibutuhkan agar limbah pertanian dapat menjadi pakan berkualitas.
 
“Pengolahan secara kimia dengan menambahkan bahan kimia agar tanaman yang berstruktur keras bisa menjadi lunak hingga dapat dicerna. Sedangkan pengolahan secara biologis dengan menumbuhkan mikro organisme yang dapat mendekomposisi komponen serat atau pakan tersebut menjadi bentuk yang lebih sederhana,” urainya.

Teknologi pakan sangat dibutuhkan dalam meningkatkan produktivitas sapi. Karena itu, Mardiati mengimbau pemerintah dan perusahaan nasional untuk membuka usaha di bidang industri pakan ruminansia yang prospeknya cukup bagus.

Luky Abdullah dari Fakultas Peternakan IPB melihat hijauan pakan ternak (HPT) dari aspek bisnis dan politik. Pemerintah daerah, menurut pendapatnya, tidak paham akan pentingnya HPT.
 
Padahal ini merupakan komoditas yang diperlukan untuk mengembangkan ekonomi daerah dan akan memberikan dampak  positif bagi peternakan nasional. “Kalau hijauan pakan ini dikelola jadi komoditas bisnis dengan pemikiran industri, maka akan berjalan dengan baik pakan ruminansia,” pungkasnya.



Sabrina Yuniawati

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain