Foto: http://clipart-library.com
Peluang pasar halal global yang akan membubung tinggi adalah pangan sehat berlabel halal dan pangan halal organik
Potensi bisnis halal sungguh menggiurkan. Bagaimana tidak, laporan Global Islamic Economy (GIE) 2019/2020 menyebut, pada 2018 konsumen muslim menghabiskan US$2,2 triliun untuk makanan halal, obat-obatan, dan gaya hidup yang dipengaruhi etika Islam.
Pengeluaran ini diproyeksi mencapai US$3,2 triliun pada 2024 dengan Tingkat Pertumbuhan Tahunan Kumulatif (CAGR) 6,2%.
Statista, perusahaan penyedia data konsumen,mengungkap hal serupa. Pasar makanan halal berkembang sangat pesat. Pasar produk halal akan mencapai US$2,6 triliun pada 2024, sebelumnya US$1,4 triliun 2017.
Nilai pangsa pasar terbesarnya datang dari Amerika Utara. Peluang pasar halal global yang akan membubung tinggi adalah pangan sehat berlabel halal dan pangan halal organik.
Pertumbuhan bisnis halal tidaklah mengherankan. Sebab, penduduk muslim sebagai konsumen utama industri halal terus bertambah dan Islam ialah agama terbesar kedua dunia setelah Kristen.
Halal merupakan terminologi Islam yang secara bahasa berarti memperbolehkan atau membebaskan. Secara istilah, halal adalah segala sesuatu atau perbuatan yang diperbolehkan dalam syariat Islam.
Tahun ini populasi muslim globaldiperkirakan sebesar 1,9 miliar jiwadan akan tumbuh terus dengan laju rata-rata 1,5% per tahun. Pew Research Center 2011 memprediksi, populasi muslim pada 2030 akan menjadi 2,2 miliar jiwa.
Indonesia adalah negara muslim terbesar di dunia dengan populasi 229 juta jiwa. Angka ini mencapai 87% populasi nasional dan 13% populasi muslim global.
Industri halal meliputi makanan-minuman halal, kosmetik halal, obat-obatan halal, layanan keuangan syariah, fesyen muslim, pariwisata ramah muslim, hingga media bertema islami.
Wisata halal misalnya, melibatkan hotel atau penginapan, restoran, transportasi, dan lokasi wisata yang menyediakan makanan halal hingga sarana ibadah. Menurut GIE, pengeluaran wisata muslimbernilai US$189 miliar pada 2018 dan akan tumbuh hingga US$274 miliar pada 2024.
Makanan menjadi subsektor halal yang melibatkan banyak pelaku usaha, mulai dari skala mikro hingga industri besar. Belanja makanan dan minuman oleh konsumen muslim yang mencapai US$1,4 triliun pada 2018 akan mencapai US$2 triliun pada 2024.
Kesadaran mengonsumsi makanan halal juga semakin meningkat dengan kehadiran Covid-19 yang dipercaya berawal dari konsumsi hewan liar di pasar basah di Wuhan, China. Konsumen menjadi lebih perhatian terhadap makanan yang tidak halal dan tidak diolah dengan bersih karena berpotensi besar menimbulkan penyakit.
Dengan populasi muslim terbanyak, negara kita menjadi pasar makanan halal terbesar dunia diikuti Turki, Pakisan, Mesir, dan Bangladesh. Indonesia mengeluarkan US$173 miliar untuk makanan halal pada 2018. Eksportir utama makanan halal berupa hewan hidup dan daging ke Timur Tengah, yaitu Brasil sebanyak US$5,5 miliar dan Australia US$2,4 miliar.
Peluang bisnis makanan halal di Tanah Air selayaknya digarap pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Apalagi pemerintah memberikan fasilitas sertifikasi halal gratis untuk pelaku usaha mikro dan kecil (UMK) melalui Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.
Airlangga Hartarto, Menko Perekonomian menegaskan, UMK tidak dikenakan biaya sertifikasi halal. Perusahaan berskala mikro dan kecil pun diberi kemudahan sertifikasi dengan memberi pernyataan halal berbasis sistem ketelusuran.
Dalam UU Cipta Kerja, ada penambahan Pasal 4A ayat (1) UU Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal yang berbunyi kewajiban sertifikasi halal untuk pelaku UMK didasarkan atas pernyataan pelaku usaha mikro dan kecil.
Pasal 4A ayat (2) menyebut, pernyataan pelaku usaha mikro dan kecil dilakukan berdasarkan standar halal yang ditetapkan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
Meski pasal ini menimbulkan pro dan kontra, setidaknya menjadi angin segar bagi pelaku UMK untuk menghasilkan produk halal dengan mudah. Dengan demikian, para pelaku UMK lokal bisa menikmati bisnis pasar halal di “rumah sendiri”.
Windi Listianingsih