Rabu, 2 September 2020

Indonesia Bisa Jadi Produsen Kakao Terbesar

Indonesia Bisa Jadi Produsen Kakao Terbesar

Foto: Pinterest.com
Kakao adalah bisnis, bukan way of life

“Sudah hampir jadi produsen nomor satu dunia, sekarang malah mundur. Hal itu karena ada paradigma yang salah dari semua pelaku bisnis kakao. Sehingga sampai saat ini berputar-putar di situ saja, tanpa ada kemajuan yang berarti,” Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancara AGRINA.
 

Apa yang dimaksud dengan ada paradigma yang salah?

Paradigma tiap pemangku kepentingan tidak sama karena masing-masing punya kepentingan sendiri-sendiri. Contohnya, Kementerian Pertanian membina petani, Kementerian Perindustrian membina industri, dan Kementerian Perdagangan mengurusi ekspor impor, masing-masing sibuk tetapi sering tidak nyambung karena pembinaannya terlalu sektoral.
 
Hal inilah yang membuat industri kakao kita tidak bisa menjadi nomor satu di dunia. Sedangkan Kementerian Pertanian pernah melakukan gerakan besar di petani kakao, yaitu Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao 2009 – 2013.

Kita tetap saja nomor tiga dengan produksi sekitar 700 ribu ton, setelah Pantai Gading (1,9 juta ton) dan Ghana (800 ribu ton). Menurut data BPS 2017, pengusahaan kakao di Indonesia didominasi oleh perkebunan rakyat 1,69 juta ha (97,89%), swasta 22,41 ribu ha (1,29%), dan negara 17,74 ribu ha (0,85%). Dan sentra produksi kakao di Indonesia berturut-turut Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, dan Sumatera Barat.


Bagaimana seharusnya kakao dikembangkan?
 
Seharusnya kakao dikembangkan secara agribisnis dengan pendekatan sistim dan usaha. Jadi kakao adalah bisnis, bukan way of life karena sudah sejak 20 tahun lalu kakao adalah bisnis. Sayangnya, bisnis kakao sangat eksklusif sehingga pengusaha agak sulit atau tidak bisa masuk ke on farm karena dari awal sudah dikuasai petani. Alhasil nasib industri kakao tergantung pada petani. Selayaknya agribisnis kakao bisa meniru sawit yang bisa berkembang jadi nomor satu karena pengusahanya mau mengubah paradigma dengan menjadi inklusif.

Jika tidak inklusif maka industri hanya membuang waktu dan uang saja. Paradigma kapitalistik abad 19 yang mau untung sendiri harus diubah menjadi hidup bersama dengan saling menguntungkan. Dan semua pihak jangan terlalu tergantung pada pemerintah. Peran pemerintah memang penting tetapi tidak semua hal bisa ditangani pemerintah.

Bisnis adalah peran petani dan pengusaha, tanggung jawabnya ada pada mereka. Tugas pemerintah adalah membantu para pebisnis kakao. Pemerintah hanya berperan dalam hal fiskal, moneter dan perdagangan yang berpihak. Peran pemerintah hanya sampai di sini saja karena tanpa keberpihakan pemerintah dalam tiga hal ini maka bisnis tidak akan bergerak.



Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 315 terbit September 2020 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain