Minggu, 2 Agustus 2020

Strategi Sukses Budidaya Udang

Strategi Sukses Budidaya Udang

Foto: Dok. Hardi Pitoyo
Banyak udang mati dini pada umur di bawah 30 hari

Penerapan SOP hingga koordinasi antarpetambak kunci mencegah penyebaran penyakit.


Gejala kematian dini udang di bawah umur 30 hari kembali merebak. Daripada rugi besar, pembudidaya memilih flushing tambak. Bagaimana pengendalian kematian dini yang tepat?


Kematian Dini

Menurut Hardi Pitoyo, Ketua Harian Shrimp Club Indonesia (SCI), kematian dini terjadi di beberapa tambak di Situbondo dan Banyuwangi, Jatim mulai dari udang umur 10-15 hari tapi para petambak langsung flushing (mencuci). Sepetak tambak miliknya di Banyuwangi juga mengalami kematian udang pada umur 25 hari.

“Mulanya itu kematian plankton. Ada pergeseran ekologi, planktonnya mati, vibrio naik. Setelah kejadian itu, (vibrio) tambah naik karena kematian (udang) berlangsung,” ulasnya. Kematian ini tidak umum terjadi pada umur sangat awal sebelum ada kontrol pakan. Udang yang berenang tiba-tiba teler lalu jatuh berceceran. Dari sumber benur yang sama, hanya satu kolam yang mati dini.

Suprapto, Brand Manager Technical Support De Heus membenarkan kematian dini udang yang kembali marak. Tambak udang di Pantai Selatan (Pansela) Jawa bahkan banyak dikosongkan dan diisi ikan untuk memutus mata rantai penyakit yang mirip Early Mortality Syndrome (EMS) atau Acute Hepatopancreatic Disease (AHPND) itu. Ia mengamati, gejala kematian mirip EMS ini sejak 2016. “Ini lebih banyak di daerah yang dua tahun sebelumnya kena WFD (white feces disease). Yang mirip gejala AHPND ini terutama di Pansela Jawa Tengah, Banyuwangi, mirip-mirip semua kejadiannya,” ungkap Prapto.

Gejala kematian dini di Pansela Jawa sejak 2017 dan memuncak pada 2019. Akibatnya, banyak tambak umur dini, 18-20 hari, yang di-flushing. “Di Pansela Jawa, 2019 sangat outbreak (mewabah) gejala AHPND. Kalau kita tarik tahun 2016 sangat luar biasa gejala kotoran putihnya,” ulasnya.

Kejadian di Pansela Jawa persis dengan di Medan, Sumut pada 2018, udang  mati pada umur awal, warnanya pucat, usus terlihat kosong. “Secara kasat mata terjadi mortalitas di sore hari. Biasanya hampir 30%, gejalanya langsung mendadak, tidak mati semua tapi mengalami penurunan SR (survival rate),” jelasnya. Ini lebih banyak disebabkan vibrio, lebih spesifik V. parahaemolyticus ditemukan di perairan Jawa dan aktif berkembang dalam musim kemarau.

Menurut Sidrotun Naim, pakar penyakit udang, sejak 2017 hingga kini banyak laporan kematian dini udang di bawah umur 30-60 hari. “Infeksi kalau sudah masuk ke satu daerah tidak bisa kita musnahkan. Yang bisa kita lakukan memperlambat transmisi, meminimasi dampak. Saat penghujan, kalau ada kematian atau komposisi plankton yang berubah secara drastis, itu bisa dicek saat melakukan sifon,” imbuh Naim. Negara produsen udang banyak melaporkan EMS terjadi selama April-Juli.


Tindakan Awal

Tidak seperti petambak lain yang melakukan flushing saat kematian dini, Pitoyo mencari solusi lain. Ia menghentikan aktivitas tambak atau terminasi dengan mematikan kincir, menyetop pemberian pakan, dan menambahkan bakteri pengurai di kolam lalu diamkan selama beberapa hari. Ia tidak mematikan udang dengan pemberian kaporit 100 ppm karena tidak cukup menghentikan proses pembusukan. Ia memilih pembusukan alami dengan menambahkan bakteri pengurai sampai kondisi normal.

“Setelah 10 hari itu anehnya (udang) yang sisa nggak saya buang, itu sehat lagi,” komentarnya sambil tertawa. Udang yang masih hidup itu pun mau diberi pakan dan kolam lainnya juga dalam kondisi baik.

Setelah terminasi, Pitoyo akan melihat lebih lanjut populasi udang yang tersisa. Jika masih banyak, budidaya bisa dilanjutkan karena kondisi sudah normal dan udang sehat kembali. Sebaliknya, populasi terlalu sedikit bisa flushing tanpa mencemari perairan. “Dengan sehatnya udang di kolam, artinya kalau dibuang tidak membuat penyakit di luar, air sudah normal. Jadi kalau ada kasus seperti itu, jangan terus dibom dan dibuang. Kalau toh dibuang, jangan terburu-buru,” sarannya.

Bila serangan masih awal, ulas Naim, didisinfeksi dengan kaporit 100 ppm lalu diamkan 3-7 hari. “Kalau udang sudah lebih besar, ada yang sampai 60 hari, harus dikubur. Kalau dia mati dan dibiarkan di luar, akan cepat menyebar karena bakteri punya properti yang lebih lengkap daripada virus. EMS memang lebih banyak di dasar tambak. Jadi, pengeringan, pembersihan dasar tambak sangat penting. Bagian yang kotor disemprot kaporit 100 ppm. Pembersihan inlet-outlet pakai kapur tohor 2 ton/ha,” terangnya.  

Cara berbeda dilakukan Jumroni untuk mengatasi kematian dini. Manajer Tambak Udang PT Agroin di Kec. Sragi, Kab. Lampung Selatan, Lampung ini menyetop pemberian pakan selama 24 jam, menyifon tiga hari sekali, mengganti air dengan air yang sudah steril, dan aplikasi probiotik serta mineral. “Seminggu kemudian mulai ada perbaikan, tingkat kematian berkurang,” aku pria yang mengalami kasus kematian dini terjadi pada siklus terakhir.

Untuk mencegah kematian dini pada siklus berikutnya, Roni, sapaannya, menyusun standar operasional prosedur (SOP) berupa penebaran benur dengan kepadatan tebar rendah, 80-140 ekor/m2 sesuai konstruksi kolam. Lalu, mengoptimalkan 6 kolam tandon dengan 3 fase perlakuan.  Tandon fase ke satu berupa kolam endapan 2 ha. Tandon fase kedua diisi nila untuk menyerap patogen. Tandon fase ketiga untuk perlakuan air, termasuk sterilisasi dan aerasi.



Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 314 terbit Agustus 2020 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain