Foto: Dok. Pribadi
Wahyu Darsono, ke depan akan mengejar target populasi induk 1.000 ekor
Pembiakan sapi potong butuh lahan dan pakan. Jutaan hektar kebun sawit berpotensi menyediakannya. Mengapa tidak diintegrasikan saja?
Integrasi sawit-sapi menjadi salah satu alternatif jalan untuk meningkatkan populasi sapi potong nasional. Bahkan pemerintah pun sudah menerbitkan regulasi yang memayungi pelaku usaha sawit dan sapi melalui Permentan 105/2014. Namun sampai sekarang baru segelintir integrasi sawit-sapi yang terdengar. Bagaimana sebenarnya gambaran kelayakan usaha tersebut?
Harga Bakalan Bisa Bersaing
Kalangan pengusaha sapi potong umumnya paham karakter bisnis pembiakan sapi (breeding), yaitu butuh modal besar karena baru bisa panen setelah tiga tahun. Berbeda dari bisnis penggemukan (fattening) yang setiap empat bulan selesai satu siklus. Dengan demikian perputaran modalnya jauh lebih cepat.
Untuk mengkaji kelayakan komersial usaha pembiakan sapi Brahman Cross (BX) asal Australia di Indonesia, proyek Indonesia-Australia Commercial Cattle Breeding Program (IACCBP) menguji empat model pengusahaan di Lampung, Bengkulu, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Menurut Paul GM Boon, Penasihat Strategis IACCB, keempat model itu adalah Sistem Integrasi Sapi Kelapa Sawit (SISKA), Penggembalaan Terbuka (Open Grazing), Kelompok Peternak (Small-holder Cut and Carry), dan SISKA-Breedlot.
“Kelayakan komersial diukur dari produktivitas, finansial, dan organisasi. Kriteria produktivitas meliputi skor kondisi tubuh (Body Condition Score-BCS), tingkat penyapihan, kenaikan bobot harian (Average Daily Gain-ADG). Finansial dilihat dari biaya produksi sapi bakalan, arus kas positif, dan tingkat pengembalian investasi (Internal Rate of Return-IRR). Sedangkan dari sisi organisasi dilihat manfaat sosial, keamanan, dan manajemennya,” urai Paul Boon dalam webinar awal Juni lalu.
Paul menjabarkan, indikator kunci usaha pembiakan, yaitu kebuntingan, kelahiran, penyapihan, dan ADG di Indonesia memadai dibanding dengan hasil pembiakan di Australia Utara. Namun, peternak Australia menang dari sisi luas lahan dan jumlah sapi yang bisa digembalakan sehingga biaya produksi bakalannya lebih murah.
“Biaya produksi lebih murah di sana, tapi sampai di Indonesia kita bisa bersaing bahkan bisa lebih murah. Kenapa? Karena biaya impor ke Indonesia kurang lebih 25% dari harga lokal di sana sehingga sampai di sini harga sapi bakalan mereka lebih mahal daripada harga bakalan lokal. Biaya produksi liveweight per kg semua model dari mitra terbaik antara Rp33.600 – Rp42.300, sedangkan harga impor antara Rp40 ribu – Rp45 ribu (tahun 2019),” jelas alumnus State Industrial University, Belgia, itu.
Khusus tentang SISKA, Paul menjabarkan, ada dua isu penting dalam integrasi sawit-sapi, yaitu pemadatan tanah dan penyebaran penyakit ganoderma yang merugikan perkebunan sawit. Pemadatan tanah tidak terjadi kalau sistem rotasinya satu hari, satu blok, lalu kembali ke blok yang sama tiga bulan kemudian.
Sedangkan penyebaran penyakit ganoderma yang sangat ditakuti pekebun sawit sebenarnya tidak hanya disebabkan oleh pergerakan sapi dari blok ke blok kebun. Traktor dan alat berat lain juga kemungkinan bisa menyebarkan ganoderma. “Kita sedang teliti dengan BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi). Ganoderma yang masuk ke rumen sapi turun efektivitas tumbuhnya dan demikian juga kalau Ganoderma dicampur feses sapi pertumbuhannya terhambat,” ulasnya.
Masih menurut Paul, hasil penelitian dari sisi perkebunan sawit, SISKA menghasilkan penghematan biaya pengendalian gulma (weeding). “Dari penelitian kita, penghematannya antara Rp70 ribu – Rp140 ribu/ha/tahun. Kalau luasan cukup besar, bisa hemat ratusan juta rupiah,” ujarnya.
Kiat Sukses SISKA
Mitra terbaik model pembiakan SISKA adalah PT Buana Karya Bhakti (BKB) yang berlokasi di Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Perkebunan sawit BKB seluas 7.000 ha, sedangkan plasmanya 9.000 ha.
Menurut Wahyu Darsono, Ranch Manager, Palm-Cow Integration Department, BKB mulai merintis SISKA bersama PT Santori pada 2013, lalu menjadi mitra pertama IACCB pada 2016. Pada 2018, Santori menyerahkan sepenuhnya integrasi kepada BKB.
Populasi awal 300 ekor indukan (BX) dan 20 pejantan (BX, Droughmaster-impor dan Limousine, Simmental-lokal). Indukan berumur 2,1 tahun dengan bobot hidup 371 kg dan BCS 3.
“Prinsip kami, sapi adalah tamu karena datang belakangan. Sawit tuan rumah. Supaya kompak antara kebun dan ternak, kami punya prinsip tamu tidak boleh mengganggu tuan rumah. Tuan rumah juga harus melayani tamu dengan baik. Orientasinya bahwa di situ ada efisiensi biaya dan capaian poduktivitas. Sapi masuk dalam kebun, digembala dan memberikan manfaat kepada sawit. Komitmennya sejak awal, kebun sawit itu bukan kandang, tapi kebun sawit adalah pastura atau padang penggembalaan di mana banyak hijauan,” ungkap Wahyu dalam webinar itu.
Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 314 terbit Agustus 2020 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.
Integrasi sawit-sapi menjadi salah satu alternatif jalan untuk meningkatkan populasi sapi potong nasional. Bahkan pemerintah pun sudah menerbitkan regulasi yang memayungi pelaku usaha sawit dan sapi melalui Permentan 105/2014. Namun sampai sekarang baru segelintir integrasi sawit-sapi yang terdengar. Bagaimana sebenarnya gambaran kelayakan usaha tersebut?
Harga Bakalan Bisa Bersaing
Kalangan pengusaha sapi potong umumnya paham karakter bisnis pembiakan sapi (breeding), yaitu butuh modal besar karena baru bisa panen setelah tiga tahun. Berbeda dari bisnis penggemukan (fattening) yang setiap empat bulan selesai satu siklus. Dengan demikian perputaran modalnya jauh lebih cepat.
Untuk mengkaji kelayakan komersial usaha pembiakan sapi Brahman Cross (BX) asal Australia di Indonesia, proyek Indonesia-Australia Commercial Cattle Breeding Program (IACCBP) menguji empat model pengusahaan di Lampung, Bengkulu, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Menurut Paul GM Boon, Penasihat Strategis IACCB, keempat model itu adalah Sistem Integrasi Sapi Kelapa Sawit (SISKA), Penggembalaan Terbuka (Open Grazing), Kelompok Peternak (Small-holder Cut and Carry), dan SISKA-Breedlot.
“Kelayakan komersial diukur dari produktivitas, finansial, dan organisasi. Kriteria produktivitas meliputi skor kondisi tubuh (Body Condition Score-BCS), tingkat penyapihan, kenaikan bobot harian (Average Daily Gain-ADG). Finansial dilihat dari biaya produksi sapi bakalan, arus kas positif, dan tingkat pengembalian investasi (Internal Rate of Return-IRR). Sedangkan dari sisi organisasi dilihat manfaat sosial, keamanan, dan manajemennya,” urai Paul Boon dalam webinar awal Juni lalu.
Paul menjabarkan, indikator kunci usaha pembiakan, yaitu kebuntingan, kelahiran, penyapihan, dan ADG di Indonesia memadai dibanding dengan hasil pembiakan di Australia Utara. Namun, peternak Australia menang dari sisi luas lahan dan jumlah sapi yang bisa digembalakan sehingga biaya produksi bakalannya lebih murah.
“Biaya produksi lebih murah di sana, tapi sampai di Indonesia kita bisa bersaing bahkan bisa lebih murah. Kenapa? Karena biaya impor ke Indonesia kurang lebih 25% dari harga lokal di sana sehingga sampai di sini harga sapi bakalan mereka lebih mahal daripada harga bakalan lokal. Biaya produksi liveweight per kg semua model dari mitra terbaik antara Rp33.600 – Rp42.300, sedangkan harga impor antara Rp40 ribu – Rp45 ribu (tahun 2019),” jelas alumnus State Industrial University, Belgia, itu.
Khusus tentang SISKA, Paul menjabarkan, ada dua isu penting dalam integrasi sawit-sapi, yaitu pemadatan tanah dan penyebaran penyakit ganoderma yang merugikan perkebunan sawit. Pemadatan tanah tidak terjadi kalau sistem rotasinya satu hari, satu blok, lalu kembali ke blok yang sama tiga bulan kemudian.
Sedangkan penyebaran penyakit ganoderma yang sangat ditakuti pekebun sawit sebenarnya tidak hanya disebabkan oleh pergerakan sapi dari blok ke blok kebun. Traktor dan alat berat lain juga kemungkinan bisa menyebarkan ganoderma. “Kita sedang teliti dengan BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi). Ganoderma yang masuk ke rumen sapi turun efektivitas tumbuhnya dan demikian juga kalau Ganoderma dicampur feses sapi pertumbuhannya terhambat,” ulasnya.
Masih menurut Paul, hasil penelitian dari sisi perkebunan sawit, SISKA menghasilkan penghematan biaya pengendalian gulma (weeding). “Dari penelitian kita, penghematannya antara Rp70 ribu – Rp140 ribu/ha/tahun. Kalau luasan cukup besar, bisa hemat ratusan juta rupiah,” ujarnya.
Kiat Sukses SISKA
Mitra terbaik model pembiakan SISKA adalah PT Buana Karya Bhakti (BKB) yang berlokasi di Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Perkebunan sawit BKB seluas 7.000 ha, sedangkan plasmanya 9.000 ha.
Menurut Wahyu Darsono, Ranch Manager, Palm-Cow Integration Department, BKB mulai merintis SISKA bersama PT Santori pada 2013, lalu menjadi mitra pertama IACCB pada 2016. Pada 2018, Santori menyerahkan sepenuhnya integrasi kepada BKB.
Populasi awal 300 ekor indukan (BX) dan 20 pejantan (BX, Droughmaster-impor dan Limousine, Simmental-lokal). Indukan berumur 2,1 tahun dengan bobot hidup 371 kg dan BCS 3.
“Prinsip kami, sapi adalah tamu karena datang belakangan. Sawit tuan rumah. Supaya kompak antara kebun dan ternak, kami punya prinsip tamu tidak boleh mengganggu tuan rumah. Tuan rumah juga harus melayani tamu dengan baik. Orientasinya bahwa di situ ada efisiensi biaya dan capaian poduktivitas. Sapi masuk dalam kebun, digembala dan memberikan manfaat kepada sawit. Komitmennya sejak awal, kebun sawit itu bukan kandang, tapi kebun sawit adalah pastura atau padang penggembalaan di mana banyak hijauan,” ungkap Wahyu dalam webinar itu.
Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 314 terbit Agustus 2020 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.