Kamis, 2 Juli 2020

“New Normal” Buka Pasar Baru Sawit

“New Normal” Buka Pasar Baru Sawit

Foto: Dok. Pinterest
Meskipun volume ekspor sawit berkurang, basis domestik industri sawit sangat kuat

Tahun lalu, komoditas andalan Indonesia ini mengalirkan devisa senilai US$19 miliar. Bagaimana kinerjanya pada masa pandemi?


Sawit terbilang salah satu komoditas yang paling banyak dibahas dalam webinar ataupun diskusi daring selama masa pandemi Covid-19. Banyak pihak bertanya-tanya bagaimana kinerjanya dalam masa yang sulit bagi sebagian pelaku usaha agribisnis ini.

AGRINA juga menggelar webinar Suara Agrina pada 10 Juni 2020 mengangkat tema "Tantangan & Peluang Agribisnis Sawit di Era New Normal". Dalam acara ini, tampil Prof. Bungaran Saragih, M.Ec. dan Dr. Tungkot Sipayung, M.S., Direktur Eksekutif Palm Oil Strategic Policy Institute (PASPI).Sekitar 60% peserta webinar adalah pelaku usaha sawit. Sisanya campuran.

Bungaran, pakar agribisnis yang juga Ketua Dewan Redaksi AGRINA menyebut, “Virus Corona muncul pada akhir 2019 memberikan efek yang sangat luar biasa kepada China dan global. Banyak negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi bisa 5% per tahun tapi sekarang bisa minus. Tidak hanya China tapi AS, Eropa, Jepang, Korea, Malaysia, Singapura, juga kita di Indonesia.”

Kendati demikian, Komisaris Utama PT Sawit Sumbermas Sarana tersebut berpendapat, ekonomi pangan dan agribisnis ibaratnya hanya “tergores” pandemi. “Apalagi, sawit itu hanya tergores saja. Jadi sektor yang lain bisa pesimis, sektor pangan dan agribisnis khususnya sawit, menurut saya, masih normal-normal saja. Kalau normal menjadi new normal, ya hanya memasukkan unsur kesehatan dalam perusahaan,” tuturnya.


Nilai Ekspor Naik

Mengawali presentasinya, Tungkot menjabarkan 10 imunitas industri sawit yang menjadi alas an bertahannya industry ini selama pandemi virus Corona.
 
“Pertama, lokasinya di pelosok, jauh dari kota maka otomatis jumlah manusia tidak banyak. Kedua, sepanjang matahari masih bersinar, sawit masih berproduksi meskipun ada lockdown (karantina). Sawit masih produksi maka minyak sawit masih dihasilkan. Ketiga, rasio antara manusia, lahan, dan ruang cukup besar di perkebunan sawit. Secara natural, physical distancing (jaga jarak fisik untuk mencegah penyebaran virus, Red.) sudah terpenuhi,” ujar Doktor Ekonomi Pertanian alumnus IPB itu.

Volume ekspor sawit memang turun karena negara tujuan ekspor menutup wilayahnya selama pandemi. Menurut Mukti Sardjono, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) yang memberikan komentar dalam acara ini, pada periode Januari-April 2019 volume ekspor kita lebih rendah 12,1%. Namun, “Nilai ekspor 9,4% lebih tinggi, yaitu US$6,96 miliar dibandingkan US$6,37 miliar,” bebernya.

Terbuka Peluang Baru

Tungkot mengatakan, meskipun volume ekspor berkurang, basis domestik industri sawit sangat kuat. Permintaan produk pangan berbahan sawit, seperti minyak goreng, malah meningkat selama wabah Corona. Sebagai langkah pengendalian virus, pemerintah juga menetapkan kebiasaan baru (new normal) masyarakat.
 
Sebut saja memakai masker, menjaga jarak, sering mencuci tangan, menjaga kebersihan pribadi dan lingkungan, juga meningkatkan imunitas. Produk sawit yang paling relevan dengan kebutuhan tersebutadalah kelompok oleokimia untuk memproduksi sabun dan disinfektan.

“Pasar baru bagi produk sawit adalah perhatian kepada kesehatan dan kebersihan pribadi. Konsumsi biosurfaktan akan meningkat cepat dan lebih besar daripada sebelumnya. Kita bayangkan, berubah konsumsinya dan menjadi kebiasaan setiap hari dan setiap jam. Produk biosurfaktan ini dari sawit. Biodisinfektan juga demand-nyaakan besar. Kalau dulu dinas kebersihan barang kali tidak menggunakannya untuk kebersihan lingkungan, ke depan setiap RT memasukkan anggaran untuk disinfektan dan antiseptik,” ulasTungkot.



Peni Sari Palupi, Sabrina Yuniawati

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain