Kamis, 2 Juli 2020

PETERNAKAN : Swasembada Melalui Bermitra

PETERNAKAN : Swasembada Melalui Bermitra

Foto: Windi Listianingsih
Hijauan pakan salah satu kebutuhan mendasar sapi

Kemitraan saling menguntungkan sebagai kerja sama jangka panjang mencapai swasembada susu.


Kemitraan dalam bisnis sapi perah adalah keniscayaan.  “Karena, tidak mungkin melakukan bisnis sapi perah tanpa kemitraan,” tandas Dedi Setiadi, Ketua Umum Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI). Kemitraan akan mendatangakan kepastian pasar bagi peternak sapi perah dan kepastian pasokan buat industri pengolah susu (IPS). Bagaimana nasib kemitraan setelah “ketiadaan“ aturan yang mengikat?
 

Regulasi Susu

Fini Murfiani, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan, Ditjen PKH, Kementerian Pertanian (Kementan) menjelaskan kronologi regulasi susu di Indonesia. Pada 1980’an ada Instruksi Presiden (Inpres) No. 2/1985 Tentang Koordinasi Pembinaan dan Pengembangan Persusuan Nasional.
 
Inpres ini mewajibkan bukti serap (buser) susu segar dalam negeri (SSDN) oleh IPS dan industri pengguna bahan susu. Saat krisis moneter 1998, pemerintah membuat aturan baru Inpres No. 4/1998 Tentang Koordinasi Pembinaan dan Pengembangan Persusuan Nasional. Aturan ini menghapus kewajiban bukti serap.

Nyaris 2 dekade berlalu, Menteri Pertanian membuat Permentan No. 26/2017 Tentang Penyediaan dan Peredaran Susu.
 
Dalam permentan ini, ulas Fini, kemitraan antara kelompok peternak atau koperasi susu dengan IPS dan industri pengguna bahan susu bersifat mandatori atau wajib.
 
Perjanjian kemitraan diketahui dinas terkait dan ada nilai investasi kemitraan dapat diketahui, sebesar Rp751,75 miliar/10 bulan pada 2018.

Kementan juga menelurkan Permentan No. 13/2017 Tentang Kemitraan Usaha Peternakan yang mewadahi Undang-undang (UU) No.18/2009 jo UU No. 41/2014 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
 
“Semua berkomitmen melakukan kemitraan dengan metode atau mekanisme yang dipilih,” kata Fini dalam diskusi daring Belajar Model kemitraan Sapi Perah: Strategi Meningkatkan Produktivitas dan Kualitas untuk Peternakan Berkelanjutan beberapa waktu lalu.        

Sayang, sekejap berjalan Permentan itu direvisi karena penyesuaian menjadi Permentan No. 30/2018 lalu perubahan kedua menjadi Permentan 33/2018 Tentang Penyediaan dan Peredaran Susu.
 
Di aturan baru tersebut, ungkapnya, “Kemitraan dari bersifat mandatory menjadi compulsory, importir melepas kewajiban bermitra, tidak ada sanksi, dan nilai investasi kemitraan tidak diketahui karena (Kementan) nggak dapat laporan.”
 
Sehingga, regulasi kemitraan yang ada saat ini adalah Permentan No. 13/2017. “Kemitraan mau kita kembalikan ke khittah (garis perjuangan), bentuknya bisa bagi hasil, inti-plasma, dan lain-lain,” seru Fini.
 

Implikasi Revisi

Ketika penetapan Permentan No. 26/2017, Fini menerangkan, pada 2018 ada 129 perusahaan bermitra dengan kelompok ternak yang terdiri atas 30 IPS dan 99 importir susu. Nilai investasi kemintraan mencapai Rp751,75 miliar dengan perincian pemanfaatan SSDN Rp667,26 miliar, gerakan minum susu Rp2,99 miliar, bantuan prasarana dan sarana Rp35,13 miliar, peningkatan produksi RpRp15,76 miliar, dan permodalan Rp30,62 miliar.

Kemitraan saat itu dalam bentuk bantuan sapi bergulir, sapi hibah, pakan, bibit rumput, unit pendingin, peralatan susu, pengolahan limbah.
 
Kemudian, inovasi kandang, instalasi biogas, penyerapan susu, pembangunan milk collection point (titik pengumpulan susu), pelatihan dan penyuluhan, studi banding, pinjaman tanpa atau berbunga rendah, hingga program minum susu anak sekolah.
 
“Program susu anak sekolah sangat berpengaruh pada kebiasaan anak tumbuh besar dan kesadaran minum susu,” lanjutnya.

Namun setelah permentan direvisi, tinggal 22 IPS dan 70 importir susu yang masih bermitra pada 2019. Kemitraan IPS misalnya pelatihan, uji lab, serap susu, bantuan konsentrat dan bibit rumput, bantuan wadah tampung susu (milk can), dan biogas.
 
Padahal, urai Dedi, kemitraan yang saling membutuhkan, ketergantungan, dan menguntungkan, sangat membantu peternak dan industri pengguna susu.
 
“Ini akan menjadi kerja sama yang panjang dalam rangka mencapai swasembada susu. Pada dasarnya kalau peternak sejahtera maka produksi susu akan naik,” cetusnya.

Teguh Boedidayana, Ketua Dewan Persusuan Nasional (DPN) menegaskan pentingnya payung hukum setingkat peraturan presiden untuk mendorong peternakan sapi perah nasional.
 
Saat pemerintah melalui Kepala Bulog Bustanil Arifin (1978-1993) memaksa IPS menyerap semua susu koperasi dan menetapkan harga acuan, ungkapnya, peternak bersemangat.
 
“Masa depan peternakan sapi perah sangat-sangat prospektif, tergantung bagaimana kita bisa mengelola peternakan yang ada. Peternak sapi perah harus menjadi tulang punggung peternakan sapi nasional,” ujarnya berapi-api.
 

Model Kemitraan

Dedi memaparkan berbagai bentuk kemitraan yang dijalin peternak sapi perah dengan industri pengguna susu.
 
Dengan PT Frisian Flag Indonesia (FFI) misalnya, Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPBU) Lembang, Jawa Barat menerima bantuan pengembangan desa susu senilai Rp11 miliar selama 2013-2018 meliputi kandang kapasitas 130 ekor, 6 unit bungker silase kapasitas 300 ton, 1 unit tempat pelatihan, 1 unit mesin perah, dan balon untuk limbah cair kapasitas 500 m3.
 
Kemudian, kredit sapi bergulir senilai Rp400 juta serta pelatihan petugas koperasi dan peternak (program farmer to farmer).

KPBS (Koperasi Peternak Bandung Selatan) Pangalengan, Jawa Barat menerima bantuan program farmer to farmer dan milk collection point (MCP) yang terdiri atas bangunan, 2 unit pendingin kapasitas 6.000 l, komputer, timbangan susu, dan tempat pencucian wadah susu peternak.
 
Peternak di Mojosongo, Jawa Tengah menerima bantuan unit pendingin senilai Rp975 juta, peralatan laboratorium Rp700 juta, dan kandang percontohan Rp25 juta.



Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 313 terbit Juli 2020 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di magzter, gramedia, dan myedisi.

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain