Foto: Dok. Freepik
new normal atau AKB dimaknai sebagai kebiasaan baru warga di masa pandemi selama obat dan vaksin Covid-19 belum ditemukan
Pandemi penyakit Corona Virus Disease (Covid-19) tengah berlangsung. Sebagian negara telah memasuki masa pemulihan. Namun, sebagian lainnya mengalami grafik kasus positif yang menanjak.
Rasanya belum ada pakar yang mampu meramal dengan tepat kapan pandemi akibat merebaknya virus Corona ini akan berakhir.
Paling tidak 3 bulan lamanya sejak Januari hingga April 2020, penduduk di negara-negara terdampak Covid-19 lebih banyak beraktivitas di rumah.
Kalaupun terpaksa keluar, mereka diimbau menjalankan protokol kesehatan agar tidak tertular virus dan menulari keluarga serta lingkungan.
Tak pelak hampir semua omzet bisnis terjun bebas, kecuali yang berhubungan dengan produk kesehatan, penyedia komunikasi, ekspedisi, dan layanan daring (online).
Di Indonesia grafik Covid-19 naik tajam hingga di atas seribu kasus positif baru per hari. Namun, pemerintah tidak bisa terus mengurung masyarakat di rumah sehingga bisnis makin “ambyar”.
Di sisi lain, pemerintah juga tidak ingin masyarakat semakin banyak yang tertular virus. Akhirnya diambil jalan tengah, membuka kegiatan ekonomi dengan memberlakukan protokol kesehatan.
Muncullah istilah new normal atau menurut istilah Gubernur Jawa Barat Ridwal Kamil, Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) di zona-zona yang relatif aman mulai 1 Juni 2020.
AKB dimaknai sebagai kebiasaan baru warga di masa pandemi selama obat dan vaksin Covid-19 belum ditemukan.
Tiga protokol kesehatan yang wajib dan perlu menjadi kebiasaan adalah penggunaan masker, sering mencuci tangan, dan wajib menjaga jarak aman minimal 1,5 m dengan orang lain saat aktivitas di luar rumah.
Semua orang perlu menyesuaikan diri selama pandemi belum berakhir. Pun pelaku usaha perlu menyesuaikan produk dan layanannya dengan kondisi para konsumen target pasar.
Menarik mengikuti penuturan Amalia E. Maulana, konsultan branding dalam suatu webinar April silam. Doktor bidang marketing lulusan Australia itu memaparkan bidang-bidang bisnis yang menanjak selama pandemi, yaitu produk kesehatan, jasa kesehatan online, toko online, pasar swalayan, serta penyedia buah, sayuran, herbal, pertanian, dan perikanan.
Pelaku usaha, menurut pendiri Etnomark Consulting itu, sebaiknya mempelajari kebiasaan dan perilaku lama konsumen sebelum pandemi.
Apa saja kebiasaan dan perilaku baru yang bersifat sementara dan akan hilang seiring berlalunya wabah. Cermati pula kebiasaan dan perilaku baru yang akan bertahan lama.
Perilaku yang akan bertahan antara lain belanja online barang kebutuhan selain groseri, training dan coaching online, menjaga kesehatan lebih dari biasanya, perimbangan kerja dan hidup, kembali ke gaya hidup sederhana, mengurangi kumpul-kumpul yang kurang penting, dan bekerja atau rapat dari rumah.
Kesadaran menjaga kesehatan yang terkait agribisnis adalah kebutuhan hand sanitizer (pembersih tangan) lalu konsumsi vitamin, jamu, buah, dan sayuran.
Di sinilah peluang yang bisa digarap dengan mempelajari target konsumen. Contoh buah dan sayur, apakah mau membidik konsumen peminat produk organik, jenisnya apa, beli di mana, dan seterusnya.
Khusus peluang pasar besar bagi produk sanitasi diri, lingkungan, dan kesehatan dibeberkan Tungkot Sipayung, Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) dalam webinar AGRINA, Rabu, 10 Juni. Produk hand sanitizer, sabun, disinfektan, vitamin A dan E bisa digarap industri sawit kita.
Dan itu sudah terbukti dari data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, selama April saja konsumsi olekimia naik 11 ribu ton menjadi 115 ribu ton lantaran bertambahnya permintaan sabun dan hand sanitizer.
Industri andalan Indonesia ini sebaiknya lebih serius mencari inovasi agar produknya kian berdaya saing. Belajar dari krisis 2007-2008, ucap Amalia, 100 perusahaan yang masuk the most innovative company lebih royal dalam belanja inovasi selama krisis daripada sebelumnya. Akhinya, mereka mampu bertahan dan menikmati pertumbuhan baru.
Peni Sari Palupi