Foto: Syafnijal Datuk Sinaro
H. Kusno Waluyo memperlihatkan telur herbal produksinya
Dampak negatif pandemi Covid-19 menjalar ke semua sektor ekonomi, termasuk peternakan unggas. Namun, ada ceruk bisnis ini yang relatif lebih “imun”. Apa itu?
Salah satu ceruk bisnis peternakan yang bertahan di tengah pandemi Covid-19 adalah ayam potong organik yang diproduksi Kelompok Peternak Berkat Usaha Bersama di Kota Metro, Provinsi Lampung.
Saat ini ada 23 anggota kelompok dengan jumlah populasi 25 ribu ekor. Lokasinya tersebar di Kota Metro, Lampung Tengah, dan Lampung Timur.
Yang Organik Makin Meningkat
Menurut Ketua Kelompok Peternak Berkat Usaha Bersama, Yulius Wahyu Hidayanto, sejak pandemi Covid-19, permintaan pasar justru meningkat. Ia menduga, hal itu karena kian banyak warga yang sadar akan pentingnya mengonsumsi bahan pangan sehat.
“Ayam yang kami pasarkan sudah bersertifikat organik yang diterbitkan lembaga sertifikasi organik PT Mutu Agung Lestari pada akhir Desember 2019. Dengan begitu produk kami merupakan satu-satunya ayam potong yang menerima sertifikat organik,” ungkap Wahyu saat AGRINA menyambangi rumahnya di Kelurahan Yosomulyo, Kec. Metro Utara, Kota Metro, baru-baru ini.
Selain itu, ayam beku produksi Kelompok Peternak Berkat Usaha Bersama juga sudah mengantongi sertifikat halal dari Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) dan Nomor Kontrol Veteriner (NKV) dari Kementan.
Selama pandemi berlangsung, lanjut Wahyu, suplai karkas ayam organik ke Jakarta, Bogor, dan Bandung tetap berjalan lancar. “Sebelumnya produk kita masuk juga ke hotel dan restoran, tapi sejak Covid permintaan dari segmen tersebut stop sehingga tinggal untuk konsumsi harian,” urainya.
Repotnya, tempo pembayaran makin molor karena pembeli minta penundaan dengan alasan aliran kas (cashflow) terganggu akibat omzet penjualannya jauh berkurang.
“Dalam kondisi normal, masa tunggu pembayaran sudah tiga bulan. Setelah Covid, pelanggan minta tambah lama lagi sehingga menyulitkan kita yang butuh dana segar untuk membeli DOC (bibit ayam), pakan, dan saprodi lainnya,” tutur Wahyu.
Karena itulah pihaknya tak sanggup memenuhi permintaan yang meningkat karena keterbatasan modal.
Kendati begitu Wahyu merasa masih beruntung lantaran harga ayam organik tidak merosot seperti broiler. Harga ayam organik masih stabil di angka Rp45 ribu/ekor di Jabodetabek, Rp40 ribu/ekor di Bandarlampung, dan Rp35 ribu/ekor di Kota Metro dan sekitarnya.
Harga itu untuk karkas dengan bobot minimal 0,7 kg/ekor tanpa kepala, isi perut, ekor, dan kaki. Perbedaan harga tersebut semata adanya tambahan biaya pengiriman.
Saat ini jumlah ayam organik yang terjual sebanyak 2.000 ekor/minggu. Penjualannya selain di Metro, juga merambah Bandarlampung, Jabodetabek, dan Bandung. Ayam dijual ke pasar swalayan dan komunitas-komunitas sehat yang menjadi reseller.
Tanpa Antibiotik dan Bahan Kimia
Tentang pemeliharaan ayam organik, Wahyu mengakui, pertumbuhan awal DOC agak lambat tapi sebulan ke atas melesat. Pakan yang diberikan tidak mengandung antibiotik dan zat kimia lainnya. Pemeliharaannya selama 35 hari untuk mencapai bobot 2,3 - 2,7 kg/ekor.
Selama pembesaran, peternak tidak memberikan hormon, antibiotik, dan zat kimia lain untuk pencegahan penyakit dan pengobatan. Sebagai gantinya, mereka menggunakan jamu-jamuan herbal yang dibuat dari 12 jenis bahan yang digiling, ditambah air, lalu diperas.
Air perasannya difermentasi dengan Effective Microorganism (EM)-4 selama seminggu. Kemudian dengan dosis tertentu, air fermentasi herbal ini dicampurkan ke dalam air minum ayam.
Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 312 terbit Juni 2020 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di magzter, gramedia, dan myedisi.