Foto: Try Surya Anditya
Peternakan terintegrasi secara vertikal menekankan efisiensi biaya
Beternak secara terintegrasi vertikal berorientasi kepada kebutuhan konsumen, Tak semata-mata berproduksi.
Dalam peternakan ayam petelur (layer), setidaknya terdapat empat faktor yang menentukan daya saing. Pertama, biaya pakan dan buruh. Kedua, iklim usaha yang baik. Ketiga, integrasi secara vertikal dan skala ekonomi. Keempat, penerapan teknologi maju.
Hal tersebut dipaparkan Prof. Budi Tangendjaja, Technical Consultant United States of America Soybean Export Council (USSEC) Indonesia, mengutip Paul Aho, ekonom perunggasan internasional. Mengapa hal-hal demikian diperlukan? Mari kita simak penjelasannya.
Vertikal Terintegrasi
Lebih lanjut ahli pakan dan nutrisi ternak tersebut menjelaskan, pada usaha layer terintegrasi di setiap lininya, yang meliputi input, produksi, dan pemasaran, selalu terpikirkan biaya. Konsepnya, profit berada di paling akhir.
“Rantai pasok dimulai dari bahan baku pakan, bibit, dan vaksin beserta obat-obatan. Kemudian di produksi, ada pabrik pakan (feedmill), farm, dan pengumpulan telur. Hingga pemasaran produk dan nantinya mendapatkan keuntungan di ujung,” rinci Peneliti Utama Balai Penelitian Ternak (Balitnak) Ciawi, Bogor tersebut.
Pada 2019 Badan Pusat Statistik (BPS), total populasi layer yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia mencapai hampir 264 juta ekor. Di Indonesia peternakan layer banyak dilakukan secara individu sehingga terjadi persaingan antara satu dengan yang lain.
Padahal, menurut Budi, peternakan yang terintegrasi bukan berarti memonopoli. Justru akan memudahkan dalam mengontrol produksi.
Selain menguntungkan peternak, semakin banyak usaha peternakan layer yang terintegrasi pun akan menyenangkan konsumen. Sebab, telur yang tersedia di pasar nantinya akan berkualitas dan lebih terjangkau.
Sebagai contoh, ia mengibaratkan sebuah perusahaan peternakan besar yang terintegrasi. Di setiap lini bisnisnya, dari hulu hingga hilir, semuanya mencari untung. Konsep ini, terang Budi, adalah sistem terfragmentasi yang sebenarnya juga terintegrasi.
“Kalau berpikir secara terintegrasi itu seperti pabrik. Di setiap rantai pasoknya ada biaya. Bukan profit center, tapi cost center. Konsepnya bukan keuntungan tiap tahap, tapi ada biaya yang harus ditekan. Jadi prinsipnya kita masukin kedelai atau pakan, yang keluar itu adalah telur dan ayam afkir,” imbuhnya.
Perhitungan Biaya Produksi
Budi menggarisbawahi, keuntungan peternakan diperoleh dari selisih pendapatan dikurangi biaya produksi. Untuk itu, faktor pullet (ayam petelur remaja) juga sangat menentukan.
Ia merinci, pendapatan ditentukan oleh jumlah per kg telur per ekor yang dipelihara hingga afkir. Kemudian jumlah kematian dan kualitas telur, baik pecah ataupun retak. Farm layer yang baik, jelas dia, mampu menekan persentase pecah telur hanya 0,2% per minggu.
Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 312 terbit Juni 2020 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di magzter, gramedia, dan myedisi.