Pandemi penyakit Covid-19 yang disebabkan virus SARS-Cov2 tercatat melanda 209 negara. Statista menampilkan data per 8 April 2020, virus bermahkota itu sudah menginfeksi hampir 1,5 juta orang.
Dampak ekonominya memang luar biasa. International Monetary Funds (IMF) mengatakan, Covid-19 mendorong dunia ke jurang resesi yang lebih buruk ketimbang krisis keuangan global.
Menurut bos IMF Kristalina Georgieva, hampir 80 negara telah meminta bantuan kepada IMF untuk memerangi pandemi global tersebut. Pihaknya pun menyiapkan talangan senilai US$1 triliun untuk dipinjamkan (3/4).
Indonesia juga merasakan dampak negatif pandemi ini. Secara resmi Presiden Jokowi mengumumkan kasus Covid-19 pada 2 Maret 2020. Sampai naskah ini diturunkan (8/4), jumlah kasus positif dan korban meninggal cenderung naik secara signifikan.
Karena itu pemerintah mengambil kebijakan pembatasan sosial, pembatasan fisik, hingga ditingkatkan menjadi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) melalui Peraturan Pemerintah No.1/2020 yang diteken Presiden 31 Maret 2020.
Beleid ini membatasi kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit Covid-19 untuk mencegah kemungkinan penyebarannya. PSBB mencakup peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan/atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
Sejak China mengumumkan kasus pertamanya pada 31 Desember 2019 hingga akhir Februari 2020, data Badan Pusat Statistik menunjukkan ekspor kita masih meningkat.
Baru mulai Maret, guncangan terasa lebih keras karena pemerintah meminta masyarakat untuk tinggal di rumah dan sangat membatasi kegiatan kumpul-kumpul yang melibatkan banyak orang. Perkantoran, hotel, pusat belanja, tempat wisata ditutup. Event olah raga juga ditunda.
Semua itu berimbas ke perekonomian, termasuk agribisnis. Masih menurut BPS, Nilai Tukar Petani (NTP) yang mencerminkan daya beli petani semua subsektor pertanian menurun. NTP per 1 April 2020 menurun 1,22 dari 103,35 (Februari) ke 102,09 (Maret).
Kendati mengalami gangguan, agribisnis khususnya pangan, tidak akan mati selama manusia masih hidup. Memang omzet secara total berkurang karena larangan kumpul-kumpul tadi.
Permintaan produk pangan tetap ada meskipun masyarakat mengalami pembatasan pergerakan ibarat tahanan rumah.
Pun ketika penduduk Wuhan, Provinsi Hubei, China, yang menjadi muasal Covid-19, menjalani masa penguncian total selama 76 hari, bisnis bahan makanan tetap berjalan. Konsumen belanja diwakili para utusan komunitas setempat.
Pemerintah kita sejauh ini belum mengambil kebijakan penguncian total. Pembatasan pergerakan sosial dan fisik saja sudah sangat terasa dampaknya bagi masyarakat.
Apalagi kalau kebijakan PSBB di Jakarta juga diadopsi wilayah-wilayah lain. Para pelaku usaha agribisnis yang biasanya pasif menunggu konsumen datang, mau tidak mau harus mengubah cara bisnisnya. Untunglah bagi para pelapak daring, mereka tinggal menaikkan skala layanannya.
Krisis biasanya melahirkan kreativitas untuk bertahan atau bisa menjadi titik tolak keberhasilan. Pelaku selevel tukang sayur keliling saja tanggap terhadap permintaan konsumen yang lebih besar ketimbang biasanya. Mereka membawa lebih banyak dagangan dan melayani pesanan ibu-ibu rumah tangga lewat aplikasi pesan.
Ibu-ibu rumah tangga juga melihat celah bisnis. Mereka kumpulkan order dari grup-grup whatsapp RT, RW, atau komunitas lainnya. Setelah terkumpul dalam jumlah cukup layak, mereka kemudian belanja ke pemasoknya. Konsumen aman dari kemungkinan terpapar virus, ibu-ibu itu pun bisa meraih laba.
Industri pangan berpartisipasi menawarkan harga khusus untuk membantu masyarakat. Mereka menyebarkan selebaran digital ke berbagai grup pesan instan.
Para petani milenial yang sebelumnya melayani hotel, restoran, dan katering, kemudian mengembangkan layanan antar ke rumah-rumah untuk menjemput omzet. Mereka memanfaatkan lapak daring dan media sosial untuk mempromosikan dagangan mereka. Dalam kondisi pembatasan pergerakan, masyarakat lebih punya waktu membaca termasuk mengecek akun media sosial mereka. Lanjutkan!
Peni Sari Palupi