Foto: Windi Listianingsih
“Banyak ide muncul karena terpaksa. Jangan mudah menyerah, harus terus cari solusi.” - Miselan
Keterpaksaan menghadirkan ide-ide kreatif mengatasi masalah.
Berbagai masalah menghampiri setiap fase kehidupan manusia. Ketika optimis menghadapinya, akan selalu ada solusi yang membawa pada kehidupan yang lebih baik.
Demikianlah Miselan, peternak sapi di Dusun Krajan, Desa Gadingkulon, Kec. Dau, Kab. Malang, Jatim yang optimis menjalani hidup hingga menjadi tumpuan ilmu masyarakat sekitar. Apa saja yang ia lakukan? Simak kisah menariknya kepada AGRINA.
Dorongan Ekonomi dan Sosial
Miselan awalnya seorang pekerja bangunan. Setelah menikah pada umur 22 tahun, kebutuhan memperoleh penghasilan rutin untuk keluarga menggelayut di benaknya.
Pria kelahiran 5 Mei 1967 ini terpikir beternak sapi perah karena mendapat bayaran susu dari koperasi tiap 10 hari sekali. Sambil menjadi buruh, ia memelihara seekor sapi perah untuk menutupi kebutuhan dapur.
Perlahan, sapi beranak jadi 2 ekor. Tuntutan ekonomi membuat Pak Lan, sapaannya memutuskan memelihara sapi dan bertani.
Seiring bertambahnya biaya hidup, sapi Pak Lan yang ada 5 ekor pun dijual satu per satu hingga menyisakan 2 ekor. Sapi itu digunakan untuk biaya sekolah dan kuliah kedua anaknya.
“Kalau usaha ini nggak saya besarkan, nggak kuat membiayai anak sampai lulus S1. Paling tidak, aset bisa melayang,” ucapnya. Saat itu di 2012, Ketua Kelompok Tani Gading Mandiri ini juga menampung keluhan anggota yang ingin beternak Kambing Boer.
“Masa, jadi ketua kelompok nggak bisa bawa perubahan di organisasinya. Walaupun nggak punya pengalaman ya harus cari solusi,” ungkapnya.
Ia lantas mencari informasi Kambing Boer yang dikembangkan Universitas Brawijaya (UB). Kemitraan Kambinng Boer berjalan lancar sementara Pak Lan tetap beternak sapi.
Perjalanan ini kemudian membawanya bertemu Ir. Hermanto, MP, Dosen Fakultas Peternakan UB yang menyarankan beternak pedet sistem koloni.
“Pak Miselan, sampean (kamu) harus jadi pelaku pertama. Bagaimana pelihara sapi ini jadi komoditi utama untuk usaha, berarti jumlah harus banyak. Sampean harus jadi pelaku pertama supaya nanti bisa cerita pengalaman ke anggota yang lain,” ia menirukan Hermanto.
Meski modal membeli pedet disediakan bank BRI, Miselan gudah-gulana.
“Itu masa ketar-ketir nggak karuan. Soalnya megang kartu ATM aja nggak bisa, megang hp yang dipencet-pencet hurufnya aja nggak bisa,” kenangnya.
Karena dijanjikan pendampingan dari UB dan analisis usaha yang jelas, Miselan menurut. Pada 2014 ia memperoleh Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) senilai Rp100 juta dengan bunga 6% selama 18 bulan.
Sapi-sapi ini juga dilindungi asuransi Jasindo agar peternak aman dari kegagalan usaha.
Dana itu dibelikan 18 pedet umur 3 bulan senilai Rp4 juta/ekor dan pakan. Pembuatan kandang dibantu UB.
“Waktu itu nggak bisa tidur, takut nggak balik (modal). ‘Kan utang Rp 100 juta. Makanya peternak jarang yang berani melakukan jejak saya. Takut ya tahu-tahu punya utang Rp 100 juta,” lanjutnya.
Solusi Cacing
Pak Lan mengaku awalnya sulit beradaptasi dengan aturan beternak yang baik, terlebih saat sapi sakit.
“Saya sendiri juga sampai sakit, stres. Terus malah disuruh mengenal pengobatan juga. Bagaimana menangani sapi sakit, harus di suntik obat apa, wah stres nggak karu-karuan itu pertamanya. Akademisi datang membawa dokter ke kandang. Saya disuruh dokter nyuntik sapi sendiri, cuma satu kali dikasih contoh. Jadi pengalaman masuknya saya mendapatkan ilmu di situ nggak mudah,” beber pria yang ketakutan sapi mati saat pertama kali menyuntik.
Hermanto pun kerap inspeksi dadakan ke kandang koloni. Waktu diminta selalu sedia air di kandang, Pak Lan tidak melakukan karena terbiasa memberi jatah minum.
“Makanya ketahuan kalau saya sering “curang” (tidak mengikuti aturan beternak),” ucapnya tertawa. Karena ingin berhasil, Pak Lan mengikuti berupaya mengikuti cara yang dianjurkan.
Berkat pendampingan UB, ia berhasil menerapkan budidaya pedet koloni untuk dijual saat sapi bunting. Dalam waktu 14 bulan, sapi yang dipelihara sudah bunting dan laku dijual ke peternak sapi perah senilai Rp300 jutaan. Masa pinjaman KKPE pun bisa dilunasi lebih awal.
“Itu belum jatuh tempo, sudah kita kembalikan modalnya. Akhirnya, 1 periode kita jalani itu sebagai ilmu dan pengalaman pribadi di lapangan,” katanya.
Sebulan ternak pedet berjalan, timbul masalah kotoran sapi. Karena setiap kandang sapi ada tempat yang kumuh, Suami Rusmiati ini terbesit usaha yang bisa menghasilkan uang.
“Akhirnya ide cacing itu. ‘Kan cacing hidup di tempat yang kumuh, ternyata keuntungannya tinggi juga,” tukasnya semringah. Ia lalu mencari pengusaha cacing dan mengikuti pelatihan budidaya cacing.
Selanjutnya, ia membeli induk cacing dan memasarkan hasil panennya ke pengusaha tersebut. Media hidup cacing bermanfaat pula sebagai pupuk kompos untuk memupuk tanaman jeruk di samping rumah. “Banyak ide muncul karena terpaksa. Jangan mudah menyerah, harus terus cari solusi,” serunya penuh semangat.
Mulanya ia mengangkut kotoran sapi untuk media hidup cacing. “Lama-lama kita berpikir kok sengsara begini. Akhirnya ada ide langsung mengalirkan (kotoran) ke lahan cacing jadi nyaman. Kita bersihin kandang juga beri makan cacing sekaligus,” paparnya.
Saat pemasaran cacing terkendala kelebihan suplai, Pak Lan kembali putar otak. Selain menjual cacing ke pemancing ikan, ia budidaya lele. “Kalau cacing tidak terjual semua, saya harus jual lele. Berikan (cacing) ke lele,” imbuhnya.
Menuju RPL
Budidaya lele dengan cacing sebagai pakan, ternyata bagus perkembangan. Namun, ayah 2 anak ini lagi-lagi menghadapi masalah. Budidaya lele dalam drum ternyata cukup banyak menggunakan air.
Air yang tercampur kotoran lele harus dibuang agar tidak meracuni si kumis. Kotoran yang mengandung nitrogen ini justru dibutuhkan tanaman.
“Saya tarik (air) pakai aerator, nitrogennya ini supaya dimanfaatkan tanaman. Tanaman bisa hidup tanpa tanah,” katanya yang membuat pertanian terintegrasi atau akuaponik ini setelah konsultasi dengan seorang dosen.
Air yang dialirkan ke tanaman menjadi jernih ketika kembali ke drum. Tanaman tumbuh subur dan lele juga sehat. Sementara, penggunaan air jadi hemat sebab tidak lagi terbuang.
“Jadi airnya hanya putar-putar saja. Paling 5 hari sekali tambah air,” jelasnya. Sayuran yang ditanam pada sistem akuaponik misalnya sawi, kangkung, seledri, bawang daun, hingga padi. Padi dipilih untuk menjaga pangan pokok keluarga.
Pak Lan ingin menerapkan rumah pangan lestari (RPL) yang bisa ditiru masyarakat sebagai bentuk ketahanan pangan keluarga. Salah satunya, membuat budidaya lele dalam ember (budamber) yang dirangkai akuaponik.
Budidaya lele dalam ember bervolume 80 l ini sangat mudah dilakukan di rumah untuk pertanian perkotaan (urban farming).
“Saya senang belajar demi orang lain. Saya ingin memajukan desa ini dengan ilmu. Otomatis harus ada masyrakat yang menguasai ilmu dan ini cerita ke temannya dengan bahasa yang sama,” tutupnya yang semangat menggali ilmu dari berbagai pihak dan membaginya pada masyarakat.
Windi Listianingsih, Sabrina Y.