Foto: Selo Sumarsono
Dari kiri ke kanan: Andriko Noto Susanto, Hardinsyah, Frans BM Dabukke (moderator), dan Dhian Probhoyekti Dipo
Apa sih stunting? Tahukah Anda stunting itu apa?
Stunting atau masalah gizi kronis adalah salah satu masalah kesehatan yang paling disorot di Indonesia saat ini. Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan Indonesia menduduki peringkat kelima jumlah anak dengan kondisi stunting. Bahkan di antara negara-negara G20, angka stunting itu yang tertinggi.
Untuk mengedukasi masyarakat mengenai stunting, AGRINA menggelar Forum Diskusi Agrina (FDA) bertema “Wujudkan SDM Unggul Indonesia Melalui Pengendalian Stunting dengan Pangan Bergizi danTerjangkau” di Jakarta (13/2).
Acara tersebut dibuka Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec, Ketua Dewan Redaksi Majalah AGRINA. Diskusi menghadirkan narasumber Prof.
Hardinsyah, pakar gizi dari IPB, Dr. Rr. Dhian Probhoyekti Dipo, Direktur Gizi, Kementerian Kesehatan, serta Dr. Andriko Noto Susanto, SP. MP, Kepala Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan, Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian.
Tiga Poin Penting Penanganan Stunting
Upaya penurunan prevalensi stunting tidak hanya mendorong ketersediaan makanan, tetapi juga mengintervensi sampai tingkat keluarga untuk mengubah pola hidup sehat. Asupan gizi seimbang untuk anak sangatlah penting mulai dari dalam kandungan agar bisa tumbuh normal.
Akar permasalahan stunting, yaitu pendidikan, kemiskinan, dan pendapatan.Stunting terjadi karena kurang makan dan kurang asupan gizi dalam jangka waktu lama.
Ini tak lepas dari kurang beragamnya pola makan anak, masih tingginya angka rawan pangan, kurangnya pendidikan, dan tingginya kemiskinan.
Selain itu, pengetahuan tentang pangan yang sehat dan bergizi menjadi penentu pencegahan stunting dan peran ini dikendalikan oleh seorang ibu dalam rumah tangga.
Menurut Hardinsyah, stunting bukan sekadar fisik yang pendek, tetapi juga mencakup kondisi sel tubuh dan otak. Dalam jangka panjang, stunting bisa menimbulkan kerugian ekonomi sebesar 2%-3% dari produk domestik bruto (PDB) per tahun.
Berdasarkan data Bank Dunia 2016, PDB Indonesia sebesar Rp13 ribu triliun sehingga diperkirakan potensi kerugian akibat stunting mencapai Rp300 triliun per tahun. Padahal PDB Indonesia 2019 lebih dari Rp15 ribu triliun, potensi kerugian bisa makin besar.
Mencegah stunting sangat penting guna mencapai SDM Indonesia berkualitas dan pertumbuhan ekonomi yang merata serta memutus rantai kemiskinan antargenerasi.
Hardinsyah menambahkan, ada tiga poin penting dalam penanganan stunting, yaitu ketersediaan pangan, akses pangan, dan pengetahuan seorang ibu mengenai pangan dan gizi.
“Poin terakhir ini menjadi penentu utama dalam perbaikan gizi karena walaupun pangan ada dan akses mudah namun tidak tahu mana makanan yang sehat dan bergizi, maka stunting akan terjadi,” ungkap Ketua Umum Perhimpunan Pakar Gizi dan Pangan Indonesia ini.
Permasalahan gizi lainnya yang menjadi pekerjaan pemerintah saat ini, menurut Hardinsyah, adalah hidden hunger atau kelaparan terselubung, yaitu kondisi kekurangan asupan gizi, tetapi dampaknya tidak kentara secara fisik seperti stunting atau kekerdilan.
Salah satu contohnya adalah anemia atau kondisi seseorang kekurangan sel darah merah sehat yang cukup. Anemia menyebabkan pucat, lesu, letih dan konsentrasi terganggu.
Pada orang dewasa pekerja anemia akan menganggu produktivitas, sedangkan pada ibu hamil bisa menyebabkan anak yang dilahirkannya mengalami stunting. Anemia ini disebabkan tubuh kekurangan asupan gizi yang cukup, walaupun defisit gizi tersebut tidak berdampak seperti stunting.
Butuh 10 tahun Lagi
Bungaran menyebutkan, pemerintah harus segera membuat kebijakan dan strategi nasional untuk mengatasi stunting meniru rezim Orde Baru yang sukses dengan Program Keluarga Berencana. Menurutnya, Indonesia peta yang detil dan komplet.
“Peta sektoral, intrasektoral dan intraregional, bahkan peta vertikal. Peta mengenai siapa yang menjadi sumber dan penyebab stunting, serta di mana saja lokasinya. Jika saat ini ada 27% balita yang stunting, maka jika targetnya 20% (sesuai permintaan WHO) butuh waktu 10 tahun lagi untuk bisa mencapai target standar nasional,” ujarnya.
Sementara itu Dhian Probhoyekti memaparkan, pemerintah sebenarnya terus berupaya menurunkan angka stunting hingga 2,5% setiap tahun dan sudah membuat Peraturan Presiden. Ada 23 kementerian dan lembaga yang berperan dan masing-masing bekerja dengan titik yang sama, tapi programnya sesuai tupoksinya.
Berkat koordinasi antarkementerian tersebut, lanjut Dhian, pada 2019 prevalensi balita stunting berhasil mencapai angka 27,67%. “Tahun ini, pemerintah menargetkan dari 27,7% kasus stunting menjadi 24,1% di 260 kabupaten/kota. Kemudian pada tahun 2024 target stunting menjadi hanya 14% dengan lokasi semua kabupaten/kota,” tuturnya.
Di samping aspek ketersediaan dan keterjangkauan, aspek pemanfaatan pangan menempati peran sangat penting dalam pemenuhan kualitas pangan.
Berdasarkan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan 2018, masih terdapat 485 wilayah teridentifikasi stunting yang menyebabkan daerah tersebut dianggap rentan rawan pangan.
“BKP memetakan 514 kabupaten/kota di Indonesia yang salah satu indikatornya adalah prevalensi balita stunting. Hasilnya mengejutkan, stunting menjadi pembatas utama dalam pengentasan rentan rawan pangan di Indonesia,” ujar Andriko Noto Susanto.
Karena itu, Andriko berpendapat, perlu upaya strategis dan kolaboratif antarkementerian/lembaga dan lintas sektor terkait termasuk perguruan tinggi dan swasta agar penurunan ini semakin cepat.
Untuk mempercepat penurunan kasus stunting, BKP telah melakukan intervensi dengan mengembangkan Pertanian Keluarga dan Pertanian Masuk Sekolah (PMS).
“PMS menjadi salah satu program utama yang tersebar di 340 titik di 34 provinsi, sedangkan Pengembangan Pekarangan Pangan Lestari tahun ini sebanyak 1.500 titik dan hingga 2024 ditargetkan 3.000 titik,” terangnya.
Andriko menambahkan, pihaknya juga melaksanakan program Pengembangan Industri Pangan Lokal dan Industri Olahan Aneka Ragam Pangan Lokal Berbasis UMKM yang dilaksanakan pada 200 titik, dan gerakan promosi serta kampanye diversifikasi pangan.
Brenda Andriana, Galuh Ilmia Cahyaningtyas