Senin, 10 Pebruari 2020

Waspadai Penyakit Udang 2020 Agar Panen Optimal

Waspadai Penyakit Udang 2020 Agar Panen Optimal

Foto: Windi Listianingsih
Target peningkatan ekspor udang 250% menjadi fokus utama pemerintah

Pola penyakit udang tahun ini serupa tahun lalu. Selain itu, perlu juga mewaspadai beberapa penyakit baru. 
 
 
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menargetkan ekspor udang naik 250% pada 2024 atau menjadi sekitar 530 ribu ton. Saat ini ekspor udang telah mencapai 200 ribu ton yang diproduksi dari tambak seluas 300 ribu ha.
 
Pencapaian target ekspor bukanlah tidak mungkin. Namun, seluruh pemangku industri udang nasional harus memperhatikan berbagai tantangan yang menghadang, salah satunya penyakit. 
 
Menurut Rizky Darmawan, Ketua Petambak Muda Indonesia (PMI), semakin hari serangan penyakit udang semakin sadis. Setiap sentra budidaya udang juga menghadapi kendala penyakit yang berbeda-beda.
 
Selain white spot (WS) yang kehadirannya seperti flu pada manusia, tahun lalu juga diwarnai penyakit miras alias myo rasa WS. Bagaimana peta sebaran penyakit udang 2019 dan prediksi serangannya tahun ini?  
 
 
Penyakit 2019 dan Sebarannya 
 
Dr. Heny Budi Utari, M.Kes, Head of Animal Health Service PT Central Proteina Prima, Tbk. melakukan uji sampel penyakit udang skala nasional pada 2015–2019.
 
Penyakit yang selalu muncul ialah infectious myonecrosis virus (IMNV–myo), white spot syndrome virus (WSSV), enterocytozoon hepatopenaei (EHP), dan white feces syndrome (WFS) atau white feces disease (WFD).
 
Pada 2018 dan 2019 ada sekitar 6.000 sampel PCR (Polymerase Chain Reaction) terdiagnosis mengandung keempat penyakit itu. 
 
Pada 2019 IMNV, WSSV, EHP, dan WFS hampir merata terjadi di sentra budidaya udang meliputi Sumut, Lampung, Jakarta, Jateng, Jatim, NTB, dan Sulawesi. Analisis berasal dari sekitar 7.000 sampel PCR dan 8.000 responden.
 
“White feces itu kita tidak bisa ambil sampel, hanya responden. Kita tanya kena apa nggak, jadi cukup banyak,” ujar Heny di acara “Outlook Penyakit Ikan dan Udang 2020” di Jakarta (30/1). 
 
Serangan myo terbesar ada di Lampung sekitar 30% tes PCR lalu Jatim 15%. Kejadian EHP cukup tinggi di seluruh sentra budidaya yang dipimpin Sulawesi 20%, diikuti NTB dan Jateng.  
 
Ahli penyakit udang itu menjelaskan, WS muncul ketika masih dominan musim hujan. IMNV ada hampir tiap bulan dan puncaknya pada musim kemarau. Sedangkan, EHP dan WFS terjadi setiap bulan.
 
Potensi serangan WS cukup rendah, di bawah 10% dan terjadi di area tertentu yang belum tersentuh plastik, seperti Lampung Timur, Sumut, dan Sulawesi. 
 
Meski IMNV mendominasi di Lampung, Heny mengungkap, ada penurunan prevalensi dari 60% pada 2017 menjadi 30% sepanjang 2019. “Ada penurunan infeksi IMNV nasional di Lampung dan Jakarta tapi ada kenaikan sedikit di Jatim sama Bali,” katanya. 
 
Penurunan tersebut disinyalir karena pengurangan padat tebar dan pergantian air. Sementara, kenaikan sebab fluktuasi plankton. Lalu, prevalensi EHP selalu di bawah 30% namun selama 3 tahun terakhir meningkat di Sulawesi.
 
“Kalau kita mencari sampel EHP, pasti positif. Artinya, EHP nggak akan pernah hilang. Yang menarik, berdasarkan DOC (day of culture) dari 30–90 tetap teramati. Artinya, tetap ada,” urainya. 
 
Selain WFS, Sidrotun Naim, Ph.D., ahli penyakit udang dari Surya University menerangkan, penyakit udang yang mewabah tahun lalu adalah myo rasa WS atau miras. “Kalau myo kita tahu dulu kematiannya 30%–70%. Kalau sekarang seperti white spot, makanya disebut myo rasa WS karena ternyata kematiannya tinggi dan juga lebih cepat,” urainya. 
 
Naim meminta pembudidaya selalu mewaspadai WS. “White spot sudah kayak flu di manusia. Kita kena flu bisa kapan saja. Cuma memang 2019 yang lebih jadi perhatian miras itu,” bebernya yang menyebut serangan penyakit udang 2018 dan 2019 relatif sama, kecuali adanya miras. 
 
 
Terus Waspada AHPND 
 
Naim juga mengingatkan untuk terus meningkatkan kewaspadaan terhadap acute hepatopancreatic necrosis disease (AHPND) atau early mortality syndrome (EMS) kendati sampai hari ini secara resmi tidak ditemukan di Indonesia. Sebab di negara lain yang terdampak EMS, dua tahun sebelumnya terkena WFD. 
 
“Di Indonesia WFD mulai mewabah 2012-2013. Makanya waktu 2015 kita sudah khawatir karena negara lain, dua tahun setelah WFD dapat EMS,” ucap Doktor lulusan Arizona University, Amerika itu kepada AGRINA. 
 
Prof. Dr. Sukenda, Guru Besar IPB menjelaskan kerugian ekonomi akibat penyakit EMS. Pada 2012 sebelum EMS mewabah, Thailand merupakan eksportir utama udang ke Amerika dengan volume 129.455 ton. Jumlah ini anjlok menjadi 50.107 ton pada 2018 dengan posisi ke-7.
 
Menilik laporan Shinn et. al. pada 2018, serangan EMS signifikan memberikan dampak kerugian ekonomi di negara terjangkit, yaitu China, Malaysia, Meksiko, Thailand, dan Vietnam. “Di China sejak 2009–2016 itu turun sekitar US$11 juta. Begitu juga Thailand, kalau dihitung 2010–2016 hampir US$8 juta,” terangnya (Lihat grafik: Produksi Udang dan Kerugian Ekonomi di Beberapa Negara). 
 
Heny menambahkan, EMS berasal dari China pada 2009 lalu ke Vietnam pada 2010, Malaysia 2011, Thailand 2012, dan Filipina 2015. EMS dilaporkan terjadi di 11 provinsi dari 25 provinsi di Thailand, sedangkan di Malaysia hampir semua provinsi terkena EMS.
 
Potensi EMS di Indonesia cukup besar karena sangat dekat dengan negara tetangga. Risiko penularan dari induk, artemia hidup, probiotik, polichaeta, cumi, udang, dan lainnya. “Kita perlu hati-hati karena cirinya sama dengan vibriosis,” ia mengingatkan.
 
 
Jabar, NTB, dan Sulsel 
 
Endon Harto Triatmojo, pembudidaya udang di Karawang, Jabar mengatakan, penyakit yang paling sering menyerang adalah WSSV dan WFD. Awal 2019 hadir WSSV disusul WFD. Lalu, pertengahan hingga akhir 2019 muncul lagi myo. “Di Karawang tahun-tahun sebelumnya sudah ada (myo) tapi munculnya spot-spot. Nah sekarang sudah seperti wabah, merata,” kata pria yang juga memiliki tambak udang di Donggala, Sulteng itu. 
 
Myo yang menyerang termasuk miras. “Myo yang biasa kematian rendah, ini cepat seperti WS. Dulu ekornya agak kemerahan tipis, sekarang langsung ngapas, putih, harus langsung diangkat,” terangnya. Sekitar 13 kolam seluas 5.000 m2/unit dan kepadatan 70–80 ekor/m2, terserang miras. 
 
Hingga kini miras masih menghantui petambak di Karawang. Lingkungan yang kurang mendukung membuat petambak mengurangi budidaya selama musim hujan karena tingkat keberhasilannya sangat kecil. Sementara, tambak di Donggala menghadapi kendala WSSV. “Tapi kalau seluruh Sulawesi sudah macam-macam, ada WSSV, WFD, myo,” tukas Endon.
 
Wardi, pembudidaya udang di Tasikmalaya, Jabar menjelaskan, tidak ada serangan penyakit yang mewabah di lokasinya tahun lalu. Namun, tambaknya yang terletak di Kec. Cikalong pernah terserang WFD pada 2017 saat pertama kali dibuka.
 
“Saat dianalisa itu karena salinitas kolam. Sejak dari itu hingga saat ini, alhamdulillah kita berjalan lancar, nggak ketemu namanya rugi. Tahun 2019 siklus ke-8 dapat profitnya lumayan, 100%,” ucapnya bahagia. 
 
Sementara di Sumbawa, NTB, WFD ada hampir sepanjang tahun di tambak Rizky Darmawan. Sedangkan, myo terjadi pada akhir 2019. Rizky menduga, myo ini adalah miras karena kematiannya banyak. Kehadirannya lantaran fluktuasi plankton. “Akhir tahun ‘kan kadang hujan. Mungkin planktonnya goncang terus udangnya stres kena myo,” jelasnya. 
 
 
Lampung dan Bengkulu 
 
Maryanto, teknisi tambak PT Mitra Pesona Bersama di Kec. Teluk Pandan, Pesawaran, Lampung mengatakan, pada dua siklus tahun 2019, tambak yang dikelolanya terserang myo. Namun siklus kedua lebih ganas dan menyerang saat umur 75 hari. 
 
Bagaimana dengan WFD? “Kalau WFD sudah 3 siklus terakhir tidak muncul sehingga terjadi peningkatan produktivitas menjadi 13 ton/ha dari 13 kolam yang kesemuanya konstruksi plastik HDPE. Sementara, SR (survival rate) 68% dengan rata-rata size 38-42 dan FCR (feed conversion ratio) rata-rata 1,5,” urainya. Menurut Gepeng, sapaannya, myo masih menyerang karena pengelolaan air belum maksimal. Ia memperkirakan Myo sudah ada di lingkungan perairan.
 
Di Bengkulu, ulas Teguh Setiyono, Manajer Budidaya PT Dua Putra Perkasa Pratama (DPPP), awal 2019 serangan penyakit sempat menimbulkan banyak kematian udang pada umur 50-60 hari.
 
Awalnya terjadi serangan myo yang berlanjut ke gejala udang ngapas dengan kematian sporadis. “Secara budidaya sepertinya mewabah di sekitar perairan Bengkulu selatan. Akibatnya terjadi penurunan keuntungan secara drastis meskipun tidak sampai merugi,” ujarnya. 
 
Tambak DPPP terletak di Kec. Kaur Selatan, Kab. Kaur, Bengkulu. Lahannya mencapai 49 ha dengan 18,6 ha kolam dilengkapi 3 ha tandon. 
 
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung, Febrizal Levi Sukmana, SMT mengatakan, pada 2019 ada dua penyakit udang yang menonjol, yakni myo di Teluk Lampung dan Pesisir Barat serta WSSV di Pantai Timur Lampung. Namun, serangannya tidak signifikan mempengaruhi produksi.
 
Secara umum, ia menduga, sudah ada myo dan WSSV di perairan Lampung. Beberapa penyebab berupa berkurangnya hutan bakau yang menetralisasi berbagai racun dan zat organik dari laut dan darat lalu air buangan tambak karena minimnya instalasi pengolahan limbah (IPAL). 
 
Asri, Technical Service PT Suri Tani Pemuka (STP) menuturkan, penyakit yang banyak muncul pada tahun lalu berbeda-beda sesuai kawasan budidaya.
 
Di Pesisir Barat Sumatera (Kab. Pesisir Barat, Lampung dan Bengkulu), Kab. Tanggamus dan Kab. Pesawaran, Lampung banyak muncul WFD dan myo sementara di Kalianda, Lampung muncul WSSV.
 
Namun di siklus akhir, tingkat serangan lebih ringan. “Jadi, pengaruhnya tidak begitu signifikan namun FCR bengkak,” ungkapnya. 
 
Berdasarkan survei yang dilakukan Tim Shrimp Health STP di Teluk Lampung dan Pesisir Barat Sumatera, wilayah ini termasuk zona merah endemis myo. Pada tambak yang didampingi STP, sambungnya, terjadi tren penurunan serangan penyakit. 
 
Dedy Rianto, Manajer Pakan Evergreen Lampung menjabarkan, tren penyakit udang di Lampung pada 2019 cenderung turun sehingga produksi tambak meningkat.
 
Jika awalnya kebanyakan myo sudah menyerang pada umur 40-50 hari, belakangan mundur hingga umur 80-90 hari. Ketika myo datang, pembudidaya langsung panen parsial sehingga serangan myo tidak terlalu berpengaruh terhadap produksi.
 
 
Prediksi 2020 
 
Pada 2020 ini, ulas Naim, penyakit masih belum bergeser dari tahun lalu dan ditambah kewaspadaan terhadap EMS. “Tempat beli benur jadi kunci karena itu sangat menentukan. Jadi, benur yang bebas penyakit itu penting,” tegasnya. 
 
Selain EMS, Heny menerangkan, penyakit baru yang perlu diperhatikan ialah covert mortality nodavirus (CMNV) dan shrimp haemocyte iridescene virus (SHIV). CMNV mirip IMNV dengan kematian di dasar petak tambak sehingga disebut mati tersembunyi. Sementara, SHIV bersama AHPND menyebabkan produksi udang China turun dari 567 ribu ton menjadi 512 ribu ton pada 2018.
 
Senada dengan Naim, Asri memprediksi penyakit yang mengintai udang di Lampung dan Bengkulu masih sama dengan tahun lalu. Sementara, Dedy memprediksi, tahun ini kondisi di Lampung akan lebih baik seiring dengan makin banyak inovasi sistem budidaya yang diaplikasikan para teknisi. “Yang agak berat kelihatannya mengendalikan WSSV di pantai timur Lampung apalagi pada musim hujan. Selain kualitas airnya jelek, juga di kawasan tersebut masih banyak tambak tradisional.” 
 
Febrizal mengungkap, para pembudidaya dan teknisi tambak sudah melakukan berbagai upaya mengendalikan penyakit walau baru sebatas di lingkungan budidaya dan belum komprehensif menyentuh perairan sekitar.
 
Pihaknya pun mengajak para pemangku kepentingan (stakeholder) melakukan budidaya berkelanjutan dengan memelihara lingkungan perairan, merehabilitasi lingkungan tambak dengan menanam bakau, termasuk membangun IPAL yang memenuhi syarat baku mutu. 
 
Masalah penyakit dan penanggulangannya, menurut Tinggal Hermawan, M.Si, Direktur Kawasan dan Penyakit Ikan, Ditjen Perikanan Budidaya, KKP, menjadi sangat penting dalam rangka peningkatan produksi perikanan budidaya.
 
Sebab, target utama peningkatan ekspor udang 250% merupakan tugas dari Presiden sehingga perikanan budidaya menjadi fokus selama 5 tahun ke depan. “Yang pertama, akan kita bentuk Satgas Penanggulangan Penyakit. Selanjutnya komisi-komisi yang kita dulu pernah bentuk bisa diaktifkan kembali. Kita berharap jejaring bisa kita jalin lagi dengan stakeholder,” tandasnya.
 
 
 
Windi Listianingsih, Peni Sari Palupi, Try Surya Anditya

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain